
Geograph.id – Kecerdasan buatan (AI) generatif menjadi sorotan utama akhir-akhir ini. Kemampuannya dalam menciptakan paragraf teks, ilustrasi gambar, bahkan video pendek dalam hitungan detik telah merevolusi berbagai industri. Namun, di balik semua keajaiban digital itu, tersimpan kenyataan yang tak begitu terang: AI generatif adalah teknologi haus energi, dan berpotensi besar memperparah krisis iklim global.
Konsekuensi Lingkungan dari Penggunaan AI Generatif
Belakangan ini, semakin banyak orang berlomba-lomba membuat versi wajah mereka dalam gaya animasi tertentu menggunakan fitur dari ChatGPT. Linimasa dipenuhi dengan AI generatif dan menjadi tren di kalangan masyarakat umum. Sekilas tampak menyenangkan dan harmless, namun ada konsekuensi tersembunyi di balik kecanggihan teknologi tersebut.
Semakin pintar sebuah model AI, semakin besar pula daya komputasi yang dibutuhkan untuk melatih dan mengoperasikannya. Model seperti GPT-3, yang menjadi tulang punggung ChatGPT, memiliki sekitar 175 miliar parameter. Proses pelatihannya saja memakan energi sebesar 1.287 megawatt jam dan menghasilkan emisi karbon sekitar 552 ton CO2. Menurut laporan The Conversation, angka ini setara dengan emisi dari 123 mobil bensin yang beroperasi tanpa henti selama satu tahun.
Laporan lain dari MIT Technology Review mengungkapkan bahwa melatih satu model AI bisa menyumbang lebih dari 626 pon karbon dioksida ke atmosfer. Selain konsumsi listrik, pusat data AI juga membutuhkan air dalam jumlah besar untuk menjaga suhu server tetap stabil. Dikutip dari Sustain Life Today, fasilitas seperti ini bisa menyedot jutaan liter air tiap tahunnya.
Upaya Mitigasi Dampak AI Generatif terhadap Lingkungan
Di tengah sorotan ini, beberapa perusahaan teknologi mulai mengambil langkah mitigasi. Google, misalnya, telah memanfaatkan DeepMind AI untuk mengoptimalkan penggunaan energi di pusat data mereka. AI tersebut secara otomatis mengatur kerja kipas pendingin sehingga konsumsi energi dapat ditekan. Hasilnya, sejak tahun 2016, Google berhasil menurunkan kebutuhan energinya hingga 15 persen.
Namun, langkah-langkah ini belum cukup. Dengan semakin banyaknya model AI yang dikembangkan, perusahaan teknologi diharapkan mulai serius menghitung jejak karbon dari sistem yang mereka bangun, dan mengambil tindakan berkelanjutan untuk mengurangi dampaknya.
Di tengah euforia akan keajaiban AI, kita tidak boleh lupa bahwa bumi sedang membayar harga mahal atas kecanggihan itu. Sudah saatnya masyarakat tidak hanya memuji kecanggihan teknologi, tetapi juga turut serta dalam mengadvokasi praktik digital yang ramah lingkungan. Perusahaan teknologi harus transparan dalam melaporkan jejak karbon dari AI mereka dan mengambil langkah konkret untuk mitigasi.
Sementara itu, kita sebagai pengguna perlu lebih bijak. Penggunaan teknologi seperlunya, mendukung inovasi yang berkelanjutan, dan menyadari bahwa setiap klik memiliki konsekuensi.