
Geograph.id – Di tengah maraknya isu perdagangan ilegal satwa liar, sebuah kasus yang melibatkan empat pemuda dan semut-semut dari Kenya minggu lalu mengungkap dimensi baru dari kejahatan lingkungan, yakni penyelundupan serangga. Kasus ini segera menjadi perhatian di mata dunia. Seperti apa sebenarnya praktik penyelundupan serangga yang jarang diketahui publik?
Praktik Biopiracy dan Perdagangan Ilegal Satwa Kecil
Salah satu kasusnya terjadi setelah dua pria asal Belgia diduga menyelundupkan semut pemanen raksasa Afrika (Messor cephalotes) dari Kenya. Semut ini bukan serangga biasa, harganya di pasar internasional bisa mencapai 100 hingga 220 dolar AS per ekor. Semut sebanyak 5.500 ekor tersebut disembunyikan melalui tabung reaksi dan jarum suntik hasil modifikasi. Akibatnya, mereka perlu membayar denda sebesar $7.700 (sekitar 125 juta rupiah) atau mendekam di penjara selama setahun.
Berdasarkan pernyataan dari Kenya Wildlife Service (KWS), praktik penyelundupan seperti ini merupakan bentuk nyata dari biopiracy, atau pembajakan hayati. Dalam definisinya, Kamus Merriam-Webster menjelaskan biopiracy sebagai “pengambilan atau pemanfaatan sumber daya biologis secara tidak etis atau ilegal untuk kepentingan komersial, tanpa memberikan kompensasi yang layak kepada masyarakat atau pemerintah daerah asalnya.”
Fenomena ini bukan pertama kalinya. Selain semut, serangga lain dan laba-laba juga kerap masuk dalam daftar perdagangan ilegal. Dilansir dari Betahita, survei menunjukkan bahwa serangga dan laba-laba langka kerap diperjualbelikan secara daring. Di situs seperti Amazon.com, burung walet merak Luzon, kupu-kupu yang masuk daftar spesies terancam punah di AS dan internasional, ditemukan dijual seharga $110 (sekitar 1,76 juta rupiah), lengkap dengan kotak pajangannya.
Hasil Penelitian Para Ahli
Serangga bukan hanya korban eksploitasi, tetapi juga krisis konservasi global. Para ahli entomologi memperkirakan dunia kehilangan sekitar 10-20% spesies serangga setiap dekade. Penyebabnya antara lain kerusakan habitat, penggunaan pestisida, perubahan iklim, dan masuknya spesies invasif. Tarantula safir Gooty, kumbang Siprus (Propomacrus cypriacus), dan kupu-kupu langka Ornithoptera allottei ditemukan dijual secara online dengan harga mencapai $3.850 (sekitar 62,4 juta rupiah). Ketiga spesies ini hanyalah sebagian contoh yang dilaporkan oleh John Losey dan timnya dalam jurnal Global Ecology and Conservation.
Hasilnya mengejutkan: mereka menemukan 79 spesies yang diperjualbelikan secara daring, tujuh di antaranya masuk dalam Daftar Merah IUCN sebagai spesies terancam punah. Padahal, serangga seperti semut berperan penting dalam ekosistem. Mereka memperbaiki tanah, membantu penyebaran benih, dan mengendalikan hama.
Jika mereka dipindahkan ke lingkungan yang bukan habitat aslinya, dampaknya bisa berbahaya. Spesies agresif yang masuk tanpa kontrol, seperti melalui buah atau tanah impor, bisa merusak keseimbangan lingkungan secara signifikan, terutama di kawasan seperti Eropa. Tak hanya berdampak pada lingkungan, perdagangan ilegal ini juga berpotensi membawa penyakit menular ke manusia seperti salmonella, flu burung, hingga virus corona.
Kasus semut Kenya menjadi pengingat bahwa ancaman terhadap keanekaragaman hayati tak hanya datang dari perburuan gajah atau harimau. Serangga kecil pun kini berada dalam incaran pasar gelap dunia, dan dunia perlu lebih waspada.