Blue Origin: Eksplorasi Antariksa di Tengah Krisis Eksploitasi Bumi

Enam penumpang roket New Shepard NS-31 dari kiri: Lauren Sanchez, Katy Perry, Aisha Bowe, Kerianne Flynn, Gayle King, Amanda Nguyen. Gambar: Blue Origin
Enam penumpang roket New Shepard NS-31 dari kiri: Lauren Sanchez, Katy Perry, Aisha Bowe, Kerianne Flynn, Gayle King, Amanda Nguyen. Gambar: Blue Origin

Geograph.id– Ketika banyak orang di berbagai belahan dunia berjuang memenuhi kebutuhan dasar, sebagian kecil elit dunia justru meluncur ke luar angkasa untuk sekadar “piknik.” Blue Origin, perusahaan antariksa milik Jeff Bezos, kembali menyita perhatian publik setelah sukses menerbangkan misi wisata luar angkasa terbarunya pada 14 April 2025. Misi NS-31 ini menjadi simbol kemajuan teknologi sekaligus potret kontras akan ketimpangan global yang kian mencolok.

Agenda Piknik Kaum Elit

Misi terbaru Blue Origin mengangkut enam penumpang, termasuk penyanyi pop terkenal Katy Perry. Ia menjadi bagian dari kru perempuan pertama dalam lebih dari enam dekade sejarah penerbangan luar angkasa setelah Valentina Tereshkova. Penyanyi kelahiran California itu menggambarkan pengalamannya sebagai “magis dan menyentuh”. Ia mengatakan bahwa perjalanan membuatnya merasa “sangat terhubung dengan cinta.” 

Roket New Shepard lepas landas dari Texas Barat, membawa penumpang melewati garis Kármán, batas resmi ruang angkasa, sebelum kembali ke bumi dalam waktu kurang dari 15 menit. Pengalaman tersebut dibandrol dengan tiket yang dilaporkan mencapai lebih dari US$200.000 hanya untuk deposit satu kursi. Misi ini bukan tentang pencapaian ilmiah, tapi tentang sensasi merasakan hampa udara dan melihat lengkung Bumi dari luar angkasa.

Jeff Bezos, pendiri Amazon dan Blue Origin, menyebut perusahaannya hadir sebagai awal dari era baru space for all atau ruang angkasa untuk semua orang. Namun benarkah demikian? Ataukah ini sekadar bentuk baru dari eksklusivitas, dimana ruang angkasa menjadi taman bermain para super kaya? 

Wisata antariksa kini hadir menjadi tren di kalangan ultra-kaya. Selain Blue Origin, ada Virgin Galactic milik Richard Branson dan SpaceX milik Elon Musk. Ketiganya menawarkan “pengalaman luar biasa” yang dikemas sebagai pencapaian umat manusia. Tapi yang bisa menikmati pengalaman ini hanyalah mereka yang punya rekening bank berisi angka nol yang tak terhingga.

Eksplorasi atau Memenuhi Ego Diri?

Blue Origin berdalih bahwa misinya merupakan bagian dari masa depan eksplorasi luar angkasa, membuka jalan bagi generasi berikutnya. Namun, yang terjadi saat ini lebih menyerupai ajang eksklusif bertarif miliaran bagi segelintir orang super kaya. Penjelajahan yang dahulu murni demi ilmu pengetahuan, kini berubah menjadi komoditas mewah.  Apalagi jika melihat fakta bahwa para pelancong ini setelah kembali dari luar angkasa tak membawa solusi melainkan sekadar kisah yang menginspirasi beberapa orang, dan memicu rasa frustasi bagi yang lain.

Fenomena wisata antariksa mencerminkan kesenjangan sosial yang kian menganga. Ketika satu kelompok menikmati “pemandangan bumi dari luar angkasa,” kelompok lain di bumi justru kehilangan tanah akibat perubahan iklim, konflik, atau kebijakan ekonomi yang eksploitatif. Alih-alih menjadi lambang kemajuan bersama, wisata luar angkasa justru bisa menegaskan bahwa bumi ini milik yang berkuasa.

Sementara mereka mengorbit sejenak untuk mengambil swafoto dengan latar gelap luar angkasa, jutaan orang di bumi berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa lebih dari 700 juta orang di dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem, bahkan tidak punya akses air bersih atau sanitasi layak. Di Indonesia saja, masih banyak keluarga yang harus memilih antara membeli beras atau membayar sekolah anak mereka. 

Di tengah realitas dunia yang masih diliputi ketimpangan ekonomi, krisis pangan, dan pemanasan global, wisata antariksa seperti ini terasa seperti ironi. Miliaran dolar dihabiskan hanya untuk beberapa menit melayang tanpa gravitasi, sementara di belahan bumi lain, orang antre untuk mendapatkan air bersih atau makanan. Bak satire kelam atas dunia yang makin timpang.

Bibit Eksploitasi

Tidak bisa dipungkiri, ruang angkasa memang menawarkan peluang eksplorasi ilmiah yang luar biasa. Namun, apa yang dilakukan oleh perusahaan seperti Blue Origin sejauh ini lebih mendekati eksploitasi citra luar angkasa demi keuntungan ekonomi dan gengsi. Penelitian ilmiah nyaris tak terdengar dari misi-misi wisata antariksa ini. Alih-alih membawa alat riset atau eksperimen medis, yang diangkut adalah ego dan selfie.

Lebih jauh lagi, privatisasi ruang angkasa mengandung ancaman serius. Jika ruang angkasa dikuasai oleh korporasi, bukan tidak mungkin di masa depan mereka juga akan memonopoli akses terhadap sumber daya luar angkasa seperti asteroid kaya mineral atau air di bulan. Maka, yang terjadi bukan eksplorasi untuk kemajuan umat manusia, tetapi kolonialisasi baru oleh segelintir elit.

Jejak Karbon yang Tinggi

Dampaknya tak hanya pada kesenjangan sosial. Meski hanya berlangsung beberapa menit, peluncuran roket menghasilkan emisi karbon yang sangat besar. Menurut para ahli, satu peluncuran roket bisa menghasilkan antara 200 hingga 300 ton CO₂ (karbon dioksida). Bandingkan dengan rata-rata emisi karbon per orang per tahun yang hanya sekitar 4,5 ton. Artinya, satu kali perjalanan wisata antariksa bisa setara dengan emisi tahunan puluhan orang biasa.

Tak hanya CO₂, roket juga melepaskan partikel karbon hitam (jelaga) ke lapisan stratosfer, tempat yang tidak bisa dijangkau oleh polusi darat biasa. Jelaga bisa mengganggu keseimbangan iklim global dan mempercepat pemanasan bumi. Ironisnya, perusahaan-perusahaan ini justru menyebut misi mereka sebagai bagian dari solusi masa depan.

Meski Blue Origin mengklaim roket New Shepard menggunakan hidrogen dan oksigen cair, bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, para ilmuwan tetap mengkhawatirkan dampaknya terhadap atmosfer. Setiap peluncuran menghasilkan emisi dan partikel yang bisa mengganggu lapisan ozon, meski tidak sejelas cerobong asap pabrik.

Dengan wisata luar angkasa yang diprediksi akan meningkat dalam beberapa dekade ke depan, potensi kerusakan ekologis dari aktivitas ini perlu menjadi perhatian serius. Apalagi saat dunia justru tengah menyerukan pengurangan emisi dan transisi ke energi bersih.

Mau ke Mana Lagi?

Tak ada yang salah dengan mimpi menjelajah semesta. Namun, bagaimana ketika mimpi itu hanya bisa dibeli oleh mereka yang telah memiliki segalanya, dan bahkan meninggalkan jejak kerusakan di bumi? Apakah ini eksplorasi, atau sekadar pelarian dari tanggung jawab di bumi?

Kita mungkin belum bisa melarang wisata luar angkasa. Tapi kita bisa mempertanyakan: siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan ke mana arah peradaban ini sebenarnya melaju? Jika perjalanan menuju bintang harus mengorbankan bumi dan manusia yang tinggal di atasnya, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan apa arti kemajuan sebenarnya? Sebelum menginjak bintang, ada baiknya kita pastikan dulu bumi tetap layak ditinggali. Karena jika rumah satu-satunya ini hancur, tak ada planet lain yang benar-benar mau menampung kita.

 

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *