
Geograph.id – Ironis, negara dengan semboyan gotong royong ini masih bergulat dengan satu masalah klasik, buang sampah sembarangan. Larangan yang terdengar membosankan, tapi tak pernah benar-benar diindahkan. Padahal, imbauan untuk membuang sampah pada tempatnya sudah seperti lagu lama yang tak kunjung usai diputar. Jadi, siapa yang salah?
Fenomena Buang Sampah Sembarangan
Beberapa dari kita mungkin sudah familiar melihat jalanan di Indonesia dengan pemandangan sampah yang kurang mengenakkan. Jangankan di ruang publik, lingkungan kampus yang dikenal sebagai tempat bagi individu berkompeten pun, perilaku membuang sampah sembarangan masih kerap terjadi. Terlebih lagi di area-area yang menggelar festival atau acara besar.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, 70,5 persen desa dan kelurahan di Indonesia masih membuang sampah dengan cara dibakar atau dimasukkan ke dalam lubang tanah. Hanya 16.626 desa atau kelurahan yang memiliki tempat pembuangan sampah sementara. Namun, meskipun ada TPS, sebagian warga tetap memilih jalan pintas, yakni tanam dan bakar. Mengapa? Karena malas, tidak peduli, atau mungkin sudah terlalu terbiasa.
Mindset Buruk Masyarakat Indonesia
Mengutip dari Enviroment Indonesia, sosiolog Drajat Tri Kartono menyebutkan bahwa kebiasaan buang sampah sembarangan muncul akibat kurangnya rasa tanggung jawab dan anggapan bahwa sampah bukan lagi urusan pribadi, melainkan urusan petugas kebersihan. Sebuah pola pikir yang diperkuat oleh pernyataan Ghianina Ahmad, yang menyoroti betapa mudahnya masyarakat kita ikut-ikutan. Ketika satu orang membuang sampah sembarangan, yang lain merasa sah untuk melakukan hal serupa.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah secara tegas melarang tindakan membuang sampah tidak pada tempatnya. Tetapi, penegakan sanksi dan denda masih bersifat longgar. Apa gunanya aturan jika tidak dijalankan?
Masalah lainnya adalah kurangnya fasilitas. Banyak tempat umum yang tidak menyediakan tempat sampah memadai. Dalam riset Allegheny Front disebutkan, orang cenderung meninggalkan sampah karena tidak ingin repot membawa pulang. Hal ini makin terlihat jelas pasca acara-acara besar. Pengunjung menganggap bahwa akan selalu ada “orang bertanggung jawab” yang membersihkan sampah yang mereka tinggalkan.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah pada 2021. Tak cukup sampai situ, Indonesia juga menyandang status negara penghasil sampah plastik laut terbesar kedua di dunia menurut laporan Forbes. Sungai-sungai seperti Citarum dan Ciliwung pun kini lebih dikenal sebagai saluran limbah ketimbang sumber kehidupan. Sungai Citarum bahkan menampung 15.838 ton sampah per hari.
Dampak Buruk Tumpukan Sampah
Bahaya sampah bukan cuma soal estetika atau bau menyengat. Sampah bisa jadi sarang penyakit. Alodokter menyebutkan, sampah dapat menjadi habitat ideal bagi nyamuk, lalat, kecoak, hingga tikus. Hewan-hewan tersebut dapat membawa berbagai penyakit seperti leptospirosis, diare, tifoid, bahkan tetanus dari karat logam. Penumpukan sampah juga menghambat transportasi. KRL jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung pernah dikabarkan lumpuh selama satu jam di 2024 lalu gara-gara ada springbed dilempar ke tengah rel. Miris, bukan?
Sampah bukan sekadar benda mati yang dibuang. Menurut Ghianina, sampah adalah refleksi hidup dari cara pikir dan cara kita memperlakukan ruang bersama. Selama masyarakat merasa hal ini bukan tanggung jawab pribadi, dan selama kebijakan tak dilaksanakan, maka jangan heran bila berita Indonesia darurat sampah akan terus konsisten digaungkan.
Butuh lebih dari sekadar kampanye satu hari untuk mengubah budaya. Butuh ketegasan hukum, edukasi masif, penyediaan fasilitas memadai. Poin terpenting adalah kesadaran kolektif bahwa bumi ini bukanlah tempat pembuangan sampah raksasa. Sebab sebenarnya, yang tercemar bukan hanya lingkungan fisik seperti jalanan, melainkan juga kesadaran kita sebagai manusia.