Daur Ulang vs. Extended Producer Responsibility (EPR): Mana Lebih Efektif Atasi Sampah Kemasan?

Daur ulang sampah
Ilustrasi sampah yang didaur ulang. Gambar: Pexel

“Setiap menit, 6.000 kemasan plastik mengotori lingkungan Indonesia. Siapa yang harus bertanggung jawab?”

Geograph.id – Botol plastik mengapung di sungai. Gunungan sachet kopi bertumpuk di TPA. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan 9,8 juta ton sampah plastik, setara dengan 65 kali berat Monas. Namun hanya 11% yang berhasil di daur ulang.

Di balik krisis ini, daur ulang konvensional bergantung pada 3,7 juta pemulung yang bekerja tanpa jaminan kesehatan. Di sisi lain, Extended Producer Responsibility (EPR) menuntut produsen mengelola sampah mereka tapi hanya 32% yang patuh. Lalu sistem mana yang sebenarnya tepat untuk mengatasi permasalah sampah di Nusantara yang tak kunjung menemukan jalan keluar? 

Daur Ulang, Realita vs Harapan

Sistem daur ulang di Indonesia saat ini menghadapi paradigma antara capaian yang menggembirakan dan realita yang pahit. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menunjukkan Indonesia menghasilkan 9,8 juta ton sampah plastik per tahun, namun menurut data dari World Bank pada 2021, hanya 11-15% yang berhasil didaur ulang. 

Sistem ini bertumpu pada dua pilar utama: jaringan lebih dari 3.800 bank sampah yang berkontribusi mengumpulkan sekitar 1,2% sampah nasional, serta 3,7 juta pekerja informal pemulung yang menjadi tulang punggung pengumpulan sampah bernilai ekonomi seperti botol PET dan kardus menurut data dari Alliance to End Plastic Waste pada tahun 2023. Contoh nyata dapat dilihat pada program daur ulang botol PET oleh PT Veolia Indonesia mitra Aqua. Menurut Laporan Keberlanjutan Danone-AQUA, pada 2023 baru mencakup 63% dari total produksi botol mereka yang didaur ulang. 

Tantangan Daur Ulang Konvensional di Indonesia

Namun, jalan recycle di Indonesia tidaklah mulus. Tantangan utama datang dari rendahnya nilai ekonomi daur ulang, dimana harga plastik cacahan hanya berkisar Rp2.000-Rp5.000 per kg, tidak sebanding dengan usaha pemilahan yang dilakukan. Masalah semakin kompleks dengan hadirnya sampah multilayer seperti sachet dan pouch yang tidak laku di pasaran daur ulang karena membutuhkan teknologi pyrolysis dengan investasi mencapai limapuluh hingga seratus miliar per unit. Infrastruktur yang terbatas juga menjadi kendala serius, menurut data dari KLHK pada tahun 2023, hanya 12% kota/kabupaten di Indonesia yang memiliki fasilitas recycle memadai.

Di tengah berbagai tantangan tersebut, beberapa kisah sukses patut menjadi perhatian. Program “Bijak Berplastik” Aqua yang dimulai sejak 2018 berhasil meningkatkan koleksi botol PET dari 6.000 ton di tahun pertama menjadi 12.000 ton pada 2023. Keberhasilan ini dicapai melalui strategi komprehensif termasuk pembangunan 380 dropbox di lokasi strategis dan kolaborasi dengan 1.200 pemulung melalui mitra pengumpul. Namun demikian, program ini masih menghadapi kendala dimana 70% botol yang terkumpul tetap bergantung pada jaringan pemulung, bukan dari kesadaran konsumen langsung. 

Selain itu, secercah harapan juga datang dari inovasi lokal. Startup seperti Rebricks berhasil mengembangkan material bangunan dari multilayer plastics, sementara MallSampah menciptakan platform digital yang menghubungkan 15.000 pemulung dengan industri daur ulang. Kementerian Perindustrian juga telah meluncurkan program “Roadmap Daur Ulang Nasional 2024” yang menargetkan peningkatan kapasitas daur ulang hingga 25% melalui insentif fiskal.

Analisis kritis menunjukkan bahwa sistem daur ulang konvensional hanya efektif untuk sampah bernilai tinggi seperti botol PET dan kertas, tetapi gagal mengatasi masalah kemasan sachet dan pouch. Ketergantungan yang tinggi pada jaringan pemulung juga membuat sistem ini rentan terhadap fluktuasi harga global plastik daur ulang. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bagaimana meningkatkan profitabilitas daur ulang sampah bernilai rendah. Serta apakah insentif fiskal seperti pajak hijau dapat mendorong investasi teknologi recycle yang lebih maju di Indonesia.

Extended Producer Responsibility (EPR) Solusi Sistemik atau Sekadar Wacana?

Konsep Extended Producer Responsibility (EPR) muncul sebagai jawaban atas keterbatasan sistem daur ulang konvensional. Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), EPR mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab atas pengelolaan produk mereka hingga fase pasca-konsumsi. Di Jerman, penerapan EPR sejak 1991 melalui sistem “Green Dot” berhasil meningkatkan tingkat daur ulang kemasan hingga 72%. Namun di Indonesia, implementasi EPR masih berada pada tahap awal meskipun telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Realitas di lapangan menunjukkan berbagai kendala dalam penerapan EPR. Data KLHK pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa dari 1.852 produsen yang wajib melapor, hanya 32% yang telah menyusun rencana pengurangan sampah. Industri mengeluhkan tingginya biaya implementasi, dimana pembentukan sistem pengumpulan sampah mandiri membutuhkan investasi minimal lima hingga sepuluh miliar per tahun untuk skala perusahaan menengah. Tantangan lain datang dari lemahnya pengawasan, dimana sanksi bagi pelanggar EPR masih bersifat administratif tanpa efek jera. 

Beberapa perusahaan multinasional telah memulai inisiatif EPR dengan pendekatan berbeda. Unilever Indonesia menerapkan skema “waste bank partnership” yang melibatkan 3.500 bank sampah, namun hanya mencakup 8% dari total kemasan mereka. Sementara itu, Nestlé memilih model “plastic credit” dengan mengalokasikan dana Rp120 miliar untuk pengumpulan sampah setara 100% produksi mereka. Namun kedua model ini menuai kritik dari pegiat lingkungan karena dinilai lebih sebagai bentuk “offsetting” daripada perubahan sistemik. 

Perbandingan Dari Segi Biaya 

Perbandingan biaya antara EPR dan daur ulang konvensional menunjukkan perbedaan signifikan. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI pada tahun 2022 menemukan bahwa biaya pengelolaan sampah melalui EPR 2-3 kali lebih mahal dibanding daur ulang tradisional (Rp1.500 vs Rp3.200 per kg). Namun dalam jangka panjang, EPR memberikan nilai tambah melalui pengurangan penggunaan material virgin hingga 40%. Material virgin sendiri merupakan material baru dan belum pernah didaur ulang seperti logam besi dari bijih tambang. Pengalaman Swedia membuktikan bahwa kombinasi EPR dengan “deposit return scheme” mampu meningkatkan tingkat recycle botol plastik menjadi 84% hanya dalam 5 tahun. 

Di tengah kompleksnya implementasi, EPR tetap menawarkan potensi transformatif bagi sistem pengelolaan sampah Indonesia. Kunci keberhasilannya terletak pada tiga faktor: (1) penyederhanaan regulasi untuk UMKM. (2) Insentif fiskal bagi produsen patuh. (3) Mekanisme pengawasan independen yang melibatkan masyarakat sipil. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa transisi ke EPR membutuhkan waktu 5-10 tahun, sehingga komitmen jangka panjang semua pemangku kepentingan mutlak diperlukan.

Rekomendasi & Solusi Integratif untuk Pengelolaan Sampah Kemasan

Untuk menjembatani kesenjangan antara sistem daur ulang konvensional dan implementasi EPR, diperlukan pendekatan terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Beberapa rekomendasi diantaranya:

1. Integrasi Sistem Daur Ulang dengan EPR

Pemerintah perlu mengembangkan model hybrid yang mengkombinasikan kekuatan kedua sistem. Contoh konkret dapat mengadopsi skema “Waste Collection Partnerships” seperti sukses dilakukan Thailand, dimana produsen membiayai 70% operasional bank sampah melalui CSR dengan imbalan hak klaim material daur ulang. Di Indonesia, model ini dapat diimplementasikan melalui kemitraan antara brand FMCG (Unilever, Indofood) dengan 3.800 bank sampah yang ada.

2. Penyederhanaan Regulasi & Insentif 

  • Tax Allowance untuk industri yang berinvestasi dalam teknologi daur ulang kemasan multilayer seperti yang dilakukan di Singapura melalui kebijakan pajak hijau.
  • Simplifikasi perizinan. EPR melalui sistem online single submission untuk UMKM.
  • Penetapan harga dasar bahan daur ulang oleh pemerintah daerah

3. Inovasi Teknologi & Kapasitas SDM

Pengembangan Material Recovery Facility (MRF) modular berbasis komunitas dengan pendanaan APBD dan CSR perusahaan. Selain itu, pelatihan green jobs untuk 3,7 juta pemulung melalui program kartu pra kerja dengan kurikulum khusus ekonomi sirkular juga dapat menjadi sebuah jalan menuju solusi yang tepat

Bukan Pilihan, Tapi Sebuah Kolaborasi

Daur ulang dan EPR bukanlah dua solusi yang harus dipertentangkan, melainkan dua sisi mata uang yang sama. Sistem daur ulang tradisional telah membuktikan ketangguhannya melalui kerja keras jutaan pemulung, sementara EPR menawarkan perubahan sistemik dengan melibatkan produsen. Keduanya saling melengkapi – daur ulang mengatasi sampah yang sudah ada, EPR mencegah timbulan sampah dari hulu.  

Kini saatnya bertindak. Mulailah dari hal sederhana: pilah sampah di rumah, dukung produk ramah lingkungan, dan tuntut transparansi produsen. Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Bagaimana Anda akan berkontribusi hari ini? 

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *