Dilema Ekonomi, Menebar Cantrang atau Pertahankan Karang

Pelabuhan Campurejo, Lamongan.
TPI Weru, Lamongan.

Geograph.id – Lamongan memiliki garis pantai sepanjang 47 kilometer, yang melintang di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Paciran dan Kecamatan Brondong. Dengan alasan tersebut masyarakat Lamongan bagian utara mayoritas berprofesi sebagai nelayan.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lamongan, sebanyak 17.892 masyarakat Lamongan bermata pencaharian sebagai nelayan. Ada sekitar 3.423 unit kapal dan 52.629 alat tangkap yang terbagi di 5 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Diantaranya yaitu TPI Lohgung, TPI Labuhan dan TPI Brondong di Kecamatan Brondong serta TPI Kranji dan TPI Weru di Kecamatan Paciran.

Dari total 52.629 alat tangkap ikan nelayan Lamongan, mayoritas nelayan Lamongan menggunakan cantrang sebagai alat penangkap ikan. Walau ada sedikit perbedaan penyebutan cantrang diantara nelayan Lamongan, antara Payang dan Trawl. Keduanya memiliki dampak yang sangat besar bagi kelestarian ekosistem terumbu karang dan habitat ikan atau biota laut yang lainnya.

Efektivitas dan Kontroversi Cantrang

Cantrang, sebuah jaring besar yang mampu menangkap berbagai jenis ikan dalam jumlah banyak, menjadi alat pilihan banyak nelayan di Lamongan.

“Cantrang sangat membantu kami dalam memenuhi kebutuhan harian,” kata Agus Mulyono, Ketua Rukun Nelayan Desa Kandangsemangkon, Paciran.

Dalam prosesnya, cantrang dilempar oleh nelayan ke dasar laut, diberi pemberat dan blabak atau sejenis papan untuk membuka ruang tangkapan. Cantrang bisa mengeruk sampai ke dasar laut, menabrak karang hingga rusak, menangkap apapun yang dapat ditangkap. Dengan diameter jaring yang sangat kecil, Cantrang menangkap biota-biota laut kecil yang tentu saja merusak ekosistem selanjutnya.

Terumbu karang yang hancur akan membutuhkan waktu yang lama untuk berproses kembali. Terumbu karang seharusnya menjadi habitat bagi ikan dan biota yang lain. Jika dirusak, pada akhirnya populasi ikan semakin menurun, dan justru akan mengancam hasil tangkapan nelayan itu sendiri.

Respons Pemerintah dan Tantangan yang Dihadapi

Pemerintah tidak diam saja menghadapi masalah ini, dengan mengurangi penggunaan cantrang dan beralih ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menekankan pentingnya melakukan langkah tersebut demi menjaga kelestarian lingkungan.

“Kami mendorong penggunaan alat tangkap yang lebih Lestari, namun ini memerlukan dukungan dan adaptasi dari para nelayan,” ujar Sakti Wahyu Trenggono.

Sebelumnya, pemerintah sempat membekukan izin penggunaan cantrang pada era Susi Pudjiastuti. Namun, respon nelayan Lamongan kala itu tidak setuju dan melakukan demonstrasi hingga ke balai kota.

Disisi lain, nelayan justru kurang setuju dengan pernyataan pemerintah untuk beralih ke alat tangkap lain. Peralihan alat tangkap tidak semudah membalikkan telapak tangan. Biaya yang tinggi dan adaptasi kembali menjadi tantangan besar bagi para nelayan.

“Beralih ke alat tangkap yang baru saya rasa tidak semudah itu, kami perlu adaptasi dan mengeluarkan biaya lagi, dan yang jelas tidak seefektif payang (cantrang,red),” keluh Sururi Faruk, nelayan di TPI Brondong.

Pro Kontra di Antara Masyarakat

Meski mayoritas nelayan Lamongan menggunakan cantrang, tak sedikit nelayan yang menggunakan jaring ikan biasa sebagai alat tangkapnya. Masyarakat terbagi menjadi 2 golongan yang mereka namai Miyang Njaring; Miyang yang berati melaut, dan Njaring karena mereka masih menggunakan jaring sebagai alat tangkapnya, dan Miyang Mayang (nelayan yang memakai cantrang/payang).

Cerita dari tengah laut datang dari seorang nelayan bernama Aas, yang masih menggunakan jaring sebagai alat tangkapnya. Meskipun Miyang Njaring tak sebesar pendapatan Miyang Mayang, dan Miyang Njaring juga tidak menggunakan cantrang, namun para pelaku Miyang Njaring juga tak kuasa menahan dampak dari Cantrang.

Dilema Cantrang

Kala itu matahari terik menyengat, selesai sholat jum’at rombongan 3 orang bersiap ke tengah laut, sembari menenteng timba berisi sangu yang sudah disiapkan istri-istri mereka. Laut kala itu sedang bersahabat, ombaknya tidak terlalu tinggi sehingga perahu kecilnya masih mampu untuk berlayar ke tengah laut. Tengah laut itu nampak sepi, hanya ada beberapa perahu yang sejenis mereka. Kapal Miyang Njaring, juga sepintas kapal-kapal besar melintas diantara mereka.

Ditengah terik, 3 orang itu menebar jaring sembari diselipkannya tebaran doa-doa demi menghidupi anak istrinya, 3 jam jala ditebar tak kunjung datang ikan nampak menyangkut di antara jaring mereka, sia-sia. Nampaknya habitat ikan disekitar situ telah rusak, tak ada lagi karang sebagai rumah ikan-ikan besar yang mereka harapkan. Mereka pun berpindah ke tempat lain, mengulangi cara yang sama, menebar jaring dan harapan, dan menunggu lagi dengan waktu yang sama pula, mengejutkannya hasil juga masih sama.

Akhirnya, mereka pulang dengan hasil yang tak seberapa. Ikan dijual lalu hasilnya dibagi, belum dibagi, uang hasil tangkapan sudah tak tersisa karena dipotong biaya bahan bakar. Untungnya, sang pemilik kapal masih baik hati, uang yang seharusnya digunakan menambal biaya solar, dibagikan kepada sang rekan sebagai imbalan keringat yang sudah diteteskan, 40 ribu rupiah pun didapatkan.

“Dulu ikan-ikan masih mudah untuk didapatkan dengan jaring, mungkin masih banyak karang, ikan-ikannya juga masih terjaga,” Ujar Aas, sang nelayan jaring. Imbas penggunaan payang itu ternyata berdampak bagi mereka yang masih peduli dengan lingkungan. Karang-karang yang hilang juga ikan kecil yang menyangkut mati di cantrang membuat ekosistem ikan-ikan tak dapat lagi berputar.

Solusi dan Masa Depan

Untuk mengatasi dilema ini, hendaknya pemerintah gencar melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan demi masa depan berkelanjutan.

Tak hanya itu saja, kesejahteraan nelayan harusnya sampai pada tahap grassroot, memberikan subsidi secara masif dan menanggung beban biaya peralihan alat tangkap.

Selain itu, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penggunaan cantrang yang berlebihan harus dilakukan secara konsisten. Hal ini ditujukan hanya semata-mata sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan.

Akhir Cantrang

Dilema antara kebutuhan ekonomi nelayan dan pelestarian lingkungan laut di Lamongan memerlukan perhatian yang serius. Penggunaan cantrang yang merusak harus segera diatasi dengan solusi yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak. Dengan edukasi, dukungan finansial, dan inovasi teknologi, diharapkan keseimbangan antara ekonomi nelayan dan kelestarian ekosistem laut dapat tercapai. Semua demi memastikan keberlanjutan sumber daya laut bagi generasi mendatang.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *