
Geograph.id– Atas nama investasi, banyak proyek besar dibangun dengan merusak lingkungan dan meminggirkan rakyat. Pemerintah kerap kali mengeluarkan izin-izin konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tambang, membangun pembangkit, atau membuka lahan, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial yang akan timbul. Alih-alih menyejahterakan rakyat, banyak dari proyek ini justru memperkaya segelintir elite.
Bencana Bernama Investasi
Indonesia merupakan rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, jutaan hektar hutan telah hilang. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi penyumbang terbesar deforestasi. Ironisnya, banyak dari izin pembukaan lahan ini dilegalkan melalui kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.
UU Cipta Kerja, misalnya, dinilai menjadi karpet merah bagi industri sawit dan tambang untuk masuk ke wilayah hutan. Alih-alih memperketat pengawasan, pemerintah justru memberikan pemutihan terhadap pelanggaran masa lalu. Akibatnya, hutan-hutan adat yang telah dikelola secara lestari oleh masyarakat lokal selama ratusan tahun kini hilang dalam sekejap.
Di Kalimantan, misalnya, tambang batu bara terus merajalela. Lubang-lubang raksasa bekas tambang menganga dan mengancam keselamatan warga, sementara sungai-sungai tercemar. Di Papua, izin-izin tambang emas dan tembaga terus diperpanjang meski kerusakan alam dan konflik sosial terus membesar. Pembangunan yang semestinya membawa manfaat, justru menambah luka bagi bumi pertiwi.
Lahan Subur Beralih Fungsi
Fenomena alih fungsi lahan subur menjadi ancaman nyata yang terus membayangi Indonesia. Dari hutan adat hingga kawasan gambut yang kaya karbon, semuanya semakin mudah beralih status menjadi proyek-proyek besar berkedok pembangunan. Salah satu contoh paling mencolok adalah proyek food estate yang menyasar lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan, program ini justru mengakibatkan kerusakan ekologis, gagal panen, dan memperburuk krisis air.
Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 saja, lebih dari 200 ribu hektar lahan pertanian produktif telah beralih fungsi menjadi kawasan industri, tambang, dan proyek strategis nasional. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tapi juga menyentuh nasib petani lokal yang tergusur dari tanah garapan mereka.
Alih fungsi lahan ini tidak hanya terjadi di pulau-pulau besar. Di kawasan Bali, misalnya, sawah terasering yang selama ratusan tahun menjadi warisan budaya dan sumber pangan kini banyak berubah menjadi kawasan vila dan resort mewah. Konversi semacam ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tapi juga merusak warisan ekologis dan budaya bangsa.
Privatisasi SDA Sebab Investasi
Ketika pemerintah mengizinkan korporasi besar menguasai tanah dan sumber daya, rakyat kecil harus menanggung akibatnya. Banyak komunitas adat kehilangan tanah ulayat mereka. Nelayan tak bisa lagi melaut karena laut telah diprivatisasi oleh investor. Petani kehilangan sawah karena digusur proyek infrastruktur atau kawasan industri.
Contoh terbaru bisa dilihat di Labuan Bajo, NTT. Pembangunan vila di atas laut oleh investor menyebabkan warga lokal dilarang mengakses pantai. Ada pula kasus pemagaran laut yang terjadi di Tangerang yang berakibat pada menurunnya penghasilan nelayan setempat. Ironis, di negeri sendiri, rakyat harus meminta izin untuk menyentuh tanah dan laut yang seharusnya menjadi hak bersama. Pemerintah yang semestinya menjadi pelindung rakyat, justru bertindak seperti tuan tanah yang menjual aset bangsa kepada pemilik modal.
Rakyat Menggugat
Sudah saatnya publik menggugat arah pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan daya dukung lingkungan dan keberlangsungan hidup rakyat kecil. Investasi semestinya tidak menjadi dalih untuk merampas ruang hidup dan merusak alam. Indonesia tidak kekurangan sumber daya, yang kurang adalah keberpihakan dan keberanian untuk menempatkan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan di atas keuntungan sesaat. Jika terus dibiarkan, negeri ini bukan hanya kehilangan hutannya, tapi juga kehilangan jati diri dan masa depan generasinya.