
Geograph.id – Di tengah hiruk-pikuk transisi energi global, gas bumi berdiri di persimpangan jalan. Diklaim sebagai energi bersih, tapi masih menyisakan jejak karbon. Dipuji sebagai jembatan menuju energi terbarukan, tapi berpotensi menjadi jebakan yang malah memperpanjang ketergantungan pada fosil. Indonesia, dengan cadangan gas melimpah dan target nol emisi di depan mata, terjebak dalam dilema yang sama.
Kilang-kilang gas masih berdiri megah di berbagai penjuru negeri, menyerap anggaran dan tenaga kerja yang tidak sedikit. Pipa-pipa penyalur membentang dari Sumatera hingga Papua, bagai urat nadi yang menghidupi industri dan rumah tangga. Tapi di balik kilau infrastrukturnya, pertanyaan besar menggelayut: benarkah gas bumi adalah energi ramah lingkungan? Atau justru menyimpan risiko tersembunyi yang bisa memperburuk krisis iklim?
Apa Itu Gas Bumi?
Gas bumi atau gas alam adalah salah satu sumber energi fosil yang terbentuk dari sisa-sisa makhluk hidup purba, seperti plankton dan tumbuhan laut, yang terpendam di bawah permukaan bumi selama jutaan tahun. Dalam kondisi tekanan dan suhu tinggi di bawah tanah, sisa organik tersebut berubah menjadi hidrokarbon berupa gas, yang sebagian besar terdiri dari metana (CH₄).
Gas bumi biasanya ditemukan di bawah lapisan batuan bersama minyak bumi. Proses pengambilannya melibatkan pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah, baik di darat maupun di laut (offshore). Setelah diekstraksi, gas tersebut diproses dan dimurnikan agar bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik, industri, kendaraan, dan rumah tangga.
Menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan gas bumi di Indonesia mencapai sekitar enam puluh dua koma empat triliun kaki kubik (TCF) per 2022. Ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan gas terbesar di kawasan Asia-Pasifik. Gas bumi juga menjadi komoditas ekspor strategis, terutama dalam bentuk LNG (liquefied natural gas).
Antara Solusi Energi dan Ancaman Lingkungan
Gas bumi selama ini disebut-sebut sebagai “jembatan energi” menuju transisi energi bersih. Sebagai bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon lebih rendah dibanding batu bara dan minyak, gas bumi dianggap lebih ramah lingkungan. Menurut data International Energy Agency (IEA), pembakaran gas alam menghasilkan sekitar 50–60% lebih sedikit CO₂ dibanding batu bara per unit energi yang dihasilkan.
Namun, meskipun tampak lebih bersih, gas bumi bukan tanpa risiko. Proses eksplorasi dan distribusinya dapat menghasilkan methane leak (kebocoran gas metana), yang memiliki potensi pemanasan global 84 kali lebih besar dibanding karbon dioksida dalam kurun waktu 20 tahun. Studi dari Environmental Defense Fund (EDF) menunjukkan bahwa jika kebocoran metana melebihi 3%, maka dampak iklim gas bumi bisa menyamai atau bahkan lebih buruk dari batu bara.
Di tengah situasi ini, target nol emisi 2060 terasa semakin jauh. Setiap pembangkit gas baru yang dibangun berarti komitmen untuk terus menggunakannya selama 20-30 tahun ke depan. Sementara itu, peluang untuk langsung melompat ke energi terbarukan yang semakin murah dan efisien justru terlewatkan.
Eksplorasi Berujung Merusak Alam?
Eksplorasi dan eksploitasi gas bumi kerap diklaim sebagai solusi energi yang lebih “bersih” dibanding batu bara. Namun, dalam praktiknya, kegiatan ini tetap menyisakan dampak ekologis yang signifikan terhadap lingkungan sekitar.
Salah satu dampak utama adalah kerusakan ekosistem dan deforestasi. Kegiatan pengeboran membutuhkan lahan luas untuk pembangunan rig, akses jalan, dan fasilitas pendukung. Hal ini menyebabkan pembukaan hutan, seperti yang terjadi di Kalimantan Timur dan Papua, yang dikenal sebagai wilayah eksplorasi energi fosil. Data dari Yayasan Auriga Nusantara (2021) menunjukkan sekitar 34 ribu hektare hutan di Kalimantan telah terdampak oleh konsesi migas, termasuk proyek gas bumi.
Selain itu, terdapat risiko pencemaran air dan tanah. Proses eksplorasi menghasilkan limbah kimia berbahaya dari fluida pengeboran dan air terproduksi. Hal ini bisa mencemari sungai dan sumber air warga jika tidak dikelola dengan baik. Menurut laporan Environmental Integrity Project (2022), salah satu risiko terbesar dari operasi gas bumi adalah kebocoran bahan kimia ke dalam tanah dan air tanah, yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun dan sulit dipulihkan.
Kegiatan eksplorasi juga bisa memicu gangguan terhadap keanekaragaman hayati. Pengeboran yang dilakukan di dekat kawasan konservasi atau habitat satwa langka mengancam kelestarian spesies endemik. Di Blok Masela, Maluku, misalnya, proyek gas lepas pantai sempat menuai protes karena berdekatan dengan wilayah migrasi mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba.
Pilihan Ada Pada Tangan Kita
Gas bumi kerap dianggap sebagai jembatan menuju energi bersih karena emisinya yang lebih rendah dibanding batu bara. Namun, dampak eksplorasi dan potensi pelepasan metana tetap menjadi tantangan serius. Maka dari itu, penggunaan gas bumi perlu diiringi dengan kebijakan energi yang bijak.
Pilihan kita hari ini bukan sekadar tentang teknologi atau anggaran. Ini tentang warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Data dan tren global sudah memberikan petunjuk jelas, masa depan energi adalah terbarukan, tanpa syarat dan tanpa kompromi. Setiap dolar yang dialihkan dari gas ke energi bersih adalah investasi pada udara yang lebih segar, laut yang lebih tenang, dan iklim yang lebih stabil.