Geograph.id – Generasi Z tumbuh di era digital, di mana semua hal bisa didapat hanya lewat sentuhan jari. Belanja bukan lagi soal kebutuhan, tapi soal eksistensi. Dalam satu hari, Gen Z bisa terpapar ratusan konten iklan, ulasan produk, hingga postingan influencer yang merekomendasikan barang tertentu. Tak heran jika gaya konsumtif tumbuh subur di tengah kehidupan mereka.
Fenomena fear of missing out (FOMO) menjadi pemicu utama perilaku konsumtif Gen Z. Tak ingin merasa ketinggalan, banyak dari mereka membeli produk viral yang sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan. Entah itu skincare, outfit ala seleb TikTok, atau barang-barang estetik untuk mempercantik feed media sosial. Di balik semua itu, ada tekanan sosial yang memaksa mereka untuk terus terlihat “up to date.”
Meski terkesan sepele, gaya hidup konsumtif dapat berdampak serius pada keuangan pribadi. Banyak Gen Z yang belum memiliki pengelolaan uang yang baik, sehingga seringkali kehabisan uang hanya demi mengikuti tren. Beberapa bahkan mulai tergoda menggunakan paylater atau utang online untuk belanja. Ini berisiko menciptakan pola konsumsi tidak sehat yang berujung pada krisis keuangan sejak dini.
Masalah tidak berhenti di dompet. Perilaku konsumtif juga memperparah kerusakan lingkungan. Produk fast fashion yang cepat dibeli dan cepat dibuang menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar. Kemasan plastik sekali pakai, gadget yang sering diganti, dan barang-barang trendi yang tidak bertahan lama, semuanya mempercepat laju sampah dan degradasi lingkungan.
Mengikuti tren tidak selalu salah, tapi Gen Z perlu belajar menjadi konsumen yang sadar. Mulai dari memilah kebutuhan, mempertimbangkan dampak lingkungan, hingga menahan diri dari pembelian impulsif. Karena harga dari gaya hidup konsumtif tidak hanya dibayar dengan uang, tapi juga dengan masa depan bumi dan kesehatan mental. Mari mulai hidup lebih bijak dan berkelanjutan—untuk diri sendiri dan generasi setelah kita.