Hutan Adat, Identitas yang Dipertahankan Komunitas Dayak Meratus

Ilustrasi: hutan adat meratus. Gambar: Katadata.co.id

Geograph.id – Di jantung Kalimantan Selatan, terhampar gugusan Pegunungan Meratus yang menyimpan salah satu kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa yaitu hutan adat yang dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat Dayak Meratus. Bagi mereka, hutan bukan sekadar tempat tinggal atau sumber penghidupan, melainkan bagian dari identitas, warisan leluhur, dan juga kepercayaan yang dijunjung tinggi.

Namun, seiring berjalannya waktu, tekanan terhadap keberadaan hutan adat ini semakin meningkat. Perluasan perkebunan sawit, tambang batu bara, serta proyek infrastruktur mengancam kelestarian kawasan hutan dan budaya yang melekat di dalamnya. Di tengah derasnya arus pembangunan, komunitas Dayak Meratus memilih untuk tetap bertahan dan menjaga ruang hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Warisan Hutan Adat yang Dijaga

Hutan adat bagi masyarakat Dayak Meratus bukanlah hutan liar yang bebas dieksploitasi. Setiap jengkalnya memiliki aturan, batasan, dan nilai-nilai spiritual. Terdapat hutan larangan yang tidak boleh ditebang pohonnya karena dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh penjaga alam. Ada pula hutan produksi yang dikelola secara bijak untuk kebutuhan pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan.

Model pengelolaan ini membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menciptakan keseimbangan antara manusia dan alam. Masyarakat tidak mengambil kekayaan alam lebih dari yang mereka butuhkan, dan selalu memastikan bahwa alam diberi waktu untuk pulih. Prinsip ini lahir dari pemahaman bahwa kelangsungan hidup mereka bergantung pada kelestarian hutan.

Ancaman dan Perlawanan

Namun selama dua dekade terakhir, berbagai izin konsesi pertambangan dan perkebunan mulai masuk ke wilayah adat. Hutan yang dulu hijau kini berubah menjadi lahan gundul, rusak, bahkan tercemar. Banyak sungai yang menjadi sumber air utama mengering atau berubah warna. Konflik agraria pun tak terhindarkan. Tak jarang, masyarakat adat harus menghadapi kriminalisasi saat mempertahankan tanah leluhurnya.

Meski dalam posisi terdesak, komunitas Dayak Meratus tidak tinggal diam. Mereka membentuk organisasi adat, memperkuat jaringan advokasi, dan menggandeng LSM serta media untuk memperjuangkan pengakuan hak atas tanah adat mereka. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah pemetaan wilayah adat secara partisipatif dan pengajuan pengakuan hutan adat ke pemerintah.

Langkah Menuju Pengakuan

Upaya ini perlahan membuahkan hasil. Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mulai mengakui eksistensi hutan adat di beberapa wilayah. Meski belum semua wilayah Dayak Meratus mendapatkan pengakuan resmi, namun proses menuju legitimasi sedang berlangsung.

Lebih dari sekadar pengakuan legal, perjuangan ini adalah bentuk keberanian dalam mempertahankan jati diri dan masa depan. Hutan adat adalah jantung bagi kehidupan mereka. Jika hutan hilang, maka hilang pula bahasa, pengetahuan, dan sistem kehidupan yang telah terjaga selama ratusan tahun lamanya.

Menjaga Hutan Adat untuk Generasi Selanjutnya

Apa yang dilakukan komunitas Dayak Meratus adalah cermin dari bagaimana kearifan lokal bisa menjadi benteng terakhir bagi pelestarian alam. Di tengah krisis iklim global, model pengelolaan berbasis kearifan lokal seperti ini bisa menjadi inspirasi bagi dunia. Mereka mengajarkan bahwa hidup berdampingan dengan alam bukanlah utopia, melainkan tradisi yang harus dijaga dan diwariskan.

Perjuangan masyarakat Dayak Meratus dalam mempertahankan hutan adat mereka belum usai, namun semangatnya telah menyebar dan menjadi inspirasi bagi banyak komunitas lain di Indonesia. Mereka bukan hanya menjaga hutan sebagai ruang hidup, tetapi juga melindungi warisan budaya, nilai-nilai leluhur, dan hak atas lingkungan yang lestari.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *