Geograph.id – Baru-baru ini, jalur pendakian Gunung Butak di Jawa Timur menjadi perbincangan hangat karena banyak orang yang mengkritik penggunaan ojek untuk mendaki gunung. Penggunaan ojek gunung ini telah memecah belah pendapat masyarakat menjadi pro dan kontra.
Apa yang Menjadi Masalah?
Banyak masyarakat menilai bahwa penggunaan ojek gunung adalah hal yang buruk. Pendapat ini didasari karena adanya dampak negatif yang dirasakan oleh sebagian banyak pendaki. Namun, Tak sedikit juga masyarakat yang berpendapat positif tentang adanya ojek gunung ini.
Ojek gunung sendiri adalah pekerjaan jasa yang mengantarkan pendaki dari basecamp hingga suatu titik tertentu di jalur pendakian. Di Gunung Butak, jasa ini sangat ramai digunakan oleh para pendaki.
Ojek di gunung ini dapat mengantarkan pendaki hingga titik terjauhnya adalah di pos tiga, dengan tarif setiap posnya adalah 50 ribu rupiah. Ini berarti ojek dapat mengantarkan pendaki lebih dari setengah jarak pendakian, karena Gunung Butak mempunyai total 4 pos pendakian.
Jasa ojek yang ditawarkan tentu sangat menarik bagi para pendaki karena dapat menghemat lebih dari setengah waktu pendakian. Tak heran jika jasa ini sangat diminati oleh para pendaki Gunung Butak.
Yang menjadi permasalahan adalah jasa yang mayoritas dilakukan oleh warga sekitar kaki gunung ini justru memberikan dampak yang sangat buruk bagi gunung itu sendiri. Jalur pendakian yang dilewati motor setiap hari dan berulang-ulang ini lama-kelamaan pasti akan rusak. Bahkan saat ini sudah banyak pendaki yang mengungkapkan kekesalannya saat mendaki Gunung Butak karena jalur yang sulit dilewati akibat telah rusak.
Jalur pendakian yang dilewati motor akan menjadi cekung kedalam, sehingga menyulitkan pendaki yang melintas. Cekungan tersebut juga akan menjadi jalan air seperti perosotan di kolam renang. Ditambah lagi pendaki harus menyingkir setiap beberapa menit untuk memberi jalan pada kendaraan ojek yang melintas.
Di musim kemarau panjang, kendaraan ojek yang melintas akan menghasilkan debu tanah yang membuat pendaki menjadi terganggu. Di musim penghujan, jalur yang rusak akan menjadi sangat lembek, sulit dipijak, dan sangat licin menyebabkan risiko tergelincir.
Atas sekian banyak dampak negatif tersebutlah masyarakat jadi mempermasalahkan penggunaan jasa ojek gunung.
Dilema Ojek Gunung di Jalur Pendakian
Masalah ini tentu tak mudah untuk diselesaikan, bahkan hingga saat ini masih belum ada tanggapan resmi dari pihak pengelola. Masalah menjadi rumit karena ojek gunung telah menjadi suatu mata pencaharian tetap bagi warga sekitar.
Dengan melarang adanya jasa ojek gunung maka secara tidak langsung juga akan menghilangkan sumber penghasilan warga sekitar. Tetapi apabila dibiarkan, maka alam yang akan menjadi korban dari dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Kerugian yang dirasakan pendaki juga akan membuat banyak pendaki yang mengurungkan niatnya untuk mendaki ke Gunung Butak. Dilema inilah yang membuat otoritas setempat belum menentukan apa keputusan yang akan diambil.
Otoritas setempat nampak tidak akan mengambil keputusan antara menyelamatkan jalur pendakian atau jalur pemasukan warga sekitar. Permasalahan ini tentu membuat mereka mencari solusi terbaik untuk keduanya.
Apa Upaya Untuk Menyelamatkan Keduanya?
Upaya menyelamatkan keduanya tentu tak akan mudah. Beberapa pendaki menyampaikan solusi berupa pembuatan jalur baru yang terpisah antara pendaki konvensional dan pendaki yang menggunakan jasa ojek gunung. Atau solusi lain seperti ojek gunung diperbolehkan beroperasi di hari-hari tertentu.
Meski begitu banyak solusi yang telah ditawarkan, nyatanya keputusan masih belum juga diambil.
Kelestarian alam dan ekonomi warga setempat tentu adalah suatu hal yang tidak bisa dikorbankan salah satunya. Pihak otoritas harus segera menemukan solusi keduanya agar kelestarian alam bisa tetap terjaga tanpa mengorbankan ekonomi warga sekitar.