
Geograph.id – Pernahkah kamu membayangkan hutan tropis yang semula lebat dan hijau, tiba-tiba gundul dalam waktu singkat? Bukan karena alam, tapi akibat ulah manusia. Selama konflik bersenjata, berbagai bahan kimia dan limbah militer disebar tanpa ampun, merusak pepohonan, mencemari tanah, dan menghancurkan ekosistem. Jejaknya tak hilang begitu saja. Sampah militer, mulai dari sisa senjata hingga zat kimia beracun, masih menyisakan luka bagi lingkungan dan makhluk hidup di sekitarnya. Perang tak hanya meninggalkan korban di medan tempur, tapi juga luka panjang pada alam yang tak bersuara.
Sampah Militer dan Jejak Karbon Perang yang Terlupakan
Dampak lingkungan dari aktivitas militer bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Dari latihan rutin hingga perang besar-besaran, jejak ekologis militer tersebar luas dan mendalam. Bahkan di masa damai, pangkalan militer menghasilkan emisi dan polusi yang tinggi. Mengutip dari akun Instagram @contextdotid, sebanyak 40% pangkalan militer Amerika Serikat masih bergantung pada bahan bakar fosil. Ketika senjata tidak ditembakkan, mereka tetap mencemari lingkungan lewat latihan, uji coba, dan pembangunan infrastruktur.
Secara global, sektor militer menyumbang sekitar 5,5% emisi gas rumah kaca. Angka yang fantastis dan menempatkan aktivitas militer sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia, bahkan melampaui beberapa negara berkembang. Dalam 60 hari serangan Israel ke Gaza saja, emisi yang dilepaskan ke atmosfer diperkirakan lebih tinggi dari total emisi tahunan dari 20 negara dan wilayah.
Duka Ekologis di Balik Konflik Bersenjata
Perang tidak hanya menghancurkan kota dan kehidupan manusia, tapi juga memporak-porandakan alam. Serangan artileri, ledakan ranjau, dan senjata kimia menciptakan racun yang tak mudah hilang. Di Perancis, “Red Zone” di Verdun masih tak bisa dihuni meski perang usai hampir seabad lalu, karena tanahnya masih menyimpan bom aktif dan sisa-sisa bahan kimia.
Afghanistan turut merasakan kehancuran ekologi yang menyentuh titik ekstrem, 95% hutan menghilang, bukan hanya karena konflik tapi juga karena pembangunan militer dan kebutuhan logistik. Di dasar Laut Inggris, satu juta ton amunisi dari Perang Dunia I dibuang, membawa besi beracun yang mengancam biota laut.
Dalam upaya mempertahankan kekuasaan atau memperluas pengaruh geopolitik, militer kerap membuka akses ke wilayah-wilayah terpencil yang sebelumnya tak tersentuh. Hutan-hutan dibabat, jalan-jalan baru dibangun, dan sumber daya alam dieksploitasi. Semua ini memperparah degradasi lingkungan, mempercepat hilangnya satwa liar dan memperburuk krisis iklim.
Meski ada upaya perbaikan, seperti penggunaan bahan bakar bio dan pengelolaan limbah, dampaknya belum sebanding dengan kerusakan yang telah dan masih terjadi. Dalam diam, aktivitas militer terus mencemari bumi. Dan seperti bom yang tak meledak di tanah Verdun, warisan kerusakannya masih akan terasa, bahkan ketika suara tembakan telah lama berhenti.