Kebijakan Ekspor Pasir Laut: Melanggar UU dan Memperparah Kerusakan Ekosistem?

 

Lalu lalang kapal tongkang bermuatan pasir dari Indonesia yang dikirim ke Singapura. Gambar oleh Republika

Geograph.id – Mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang memperbolehkan ekspor pasir laut kembali, Kementerian Perdagangan atau Kemendag, secara diam-diam mengubah aturan ekspor pasir laut dari barang yang dilarang diekspor menjadi barang yang dapat diekspor.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor, yang termasuk pasir laut berkode klasifikasi barang (HS) 25059000, adalah salah satu barang yang dilarang ekspor.

Pasir alam tidak ada lagi di lampiran Permendag No 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang Diekspor dan Permendag No 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan Pengaturan Ekspor.

Mengekspor pasir alam lainnya, seperti pasir laut, harus mendapatkan persetujuan ekspor (PE) dan penelusuran teknis (LS). Pasir alam ini juga digunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, ekspor kembali, dan ekspor produk industri.

Aktivitas penambangan ekspor pasir di Indonesia. Gambar oleh Bisnis Tempo

Selasa (25/7/2023) tahun lalu, Muhammad Suaib Sulaiman, Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, telah dihubungi terkait masalah ini. Tetapi Suaib tidak memberikan keterangan hingga berita ini diterbitkan.

Menurut Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Mohamad Edy Mahmud dalam konferensi pers yang diadakan pada 15 Juni 2023, Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa belum ada ekspor pasir laut pada Mei 2023, meskipun PP No 26/2023 telah berlaku sejak 15 Mei 2023. Komoditas berkode HS tersebut tidak tercatat tertransaksi pada Mei 2023.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyatakan bahwa Kementerian Perdagangan kurang transparan saat mengeluarkan Permendag No. 22/2023 dan No. 23/2023. Karena ketidakterbukaan, peraturan turunan PP No 26/2023 tidak dipublikasikan. Selain itu, PP tersebut tidak disebutkan sebagai pertimbangan kedua dalam permendag itu.

”Padahal, jelas bahwa Permendag No 22/2023 mengubah Permendag No 18/2021 sehingga ekspor pasir alam lainnya, termasuk pasir laut, kembali dibuka. Bahkan di Permendag No 23/2023 diatur pula ketentuan mengekspor komoditas itu,” ujarnya.

Paret berpendapat bahwa kebijakan ekspor pasir akan memperparah keselamatan lingkungan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau kecil karena bertentangan dengan komitmen untuk menjaga ekosistem laut dan pulau kecil.

Selain itu, pemerintah terkesan tidak memperhatikan undang-undang (UU) atau peraturan yang menjadi perhatian PP No. 26/2023. Misalnya, PP tersebut tidak mencantumkan UU pelayaran, keanekaragaman hayati, dan rehabilitasi pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir.

Dia mengatakan, “Padahal, alasan pemerintah menerbitkan PP No 26/2023 adalah untuk menjaga kesehatan ekosistem laut dan mengamankan jalur pelayaran. Namun, UU dan peraturan yang terkait dengan hal itu justru tidak diambil dalam pertimbangan dan justru lebih banyak mengakomodasi kepentingan bisnis, seperti penambangan, ekspor, bea keluar ekspor, dan penggunaan kapal berbendera asing.”

Uji Materi

Timbunan pasir yang siap untuk diangkut ke negara tujuan ekspor pasir. Gamabr oleh The Jakarta Post

Parid menyatakan bahwa nilai pelestarian ekosistem laut, termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, lebih besar daripada manfaat ekonomi dari ekspor pasir laut. Selain itu, hasil tangkapan ikan nelayan dapat dipengaruhi oleh penambangan sedimentasi dan pasir laut. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis penambangan dan ekspor pasir laut tidak akan cukup untuk menutup biaya pemulihan ekosistem laut dan kerusakan pulau-pulai kecil dan wilayah pesisir.

Banyak pulau kecil di Indonesia hilang selama penambangan pasir laut di tahun 1970-an dan 2000-an. Menurut Prof. Zuhal Abdulqadir, Menteri Riset dan Teknologi dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 7 Desember 1998, penggalian pasir laut telah menyebabkan banyak pulau kecil di Indonesia hilang dari permukaan laut. Padahal, ketika pulau-pulau besar semakin menyempit, pulau-pulau kecil di depan dapat berfungsi sebagai lokasi permukiman alternatif.

Otto Ongkosongo, seorang peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa ada 10 pulau yang hilang akibat pengerukan pasir laut hanya di Kepulauan Seribu, termasuk Pulau Nyamuk Besar dan Pulau Ubi Besar. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau juga terus tergerus karena pasir lautnya dikeruk untuk diekspor ke Singapura (10 Desember 1998).

Sekitar 300.000 hingga 500.000 ton pasir dikuras dari Provinsi Bangka Belitung untuk diekspor ke Singapura sebagai bahan bangunan setiap bulan. Kapal tarik mengangkut pasir dari empat pelabuhan di Belitung. Antara dua dan tiga kapal tongkang bertolak ke Singapura setiap minggu atau setiap sepuluh hari. Menurut Kompas (5 Juni 2001), setiap kapal mengangkut antara 12.000-13.000 ton pasir laut.

Harga pasir laut pernah mencapai 15-20 USD per meter kubik, tetapi karena banyaknya eksportir, importir pasir laut Singapura dapat menentukan harganya. Harganya turun menjadi 1,7 USD per meter kubik (8 Februari 2022).

Walhi berencana mengajukan uji materi atas PP No 26/2023 beserta peraturan-peraturan turunannya. ”Kami saat ini tengah mengumpulkan fakta dan data terkait kerusakan pesisir, pulau kecil, dan ekosistem laut di 28 wilayah di Indonesia. Kami akan mengajukan gugatan sebelum akhir tahun ini,” tegasnya.

Point penjelas tentang dampak penambangan pasir laut, gambar oleh Kompas.id
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *