Cantik yang Menjadi Racun

Ilustrasi seorang perempuan yang sedang mengaplikasikan produk kecantikan wajah. Gambar: Pexel
Ilustrasi seorang perempuan yang sedang mengaplikasikan produk kecantikan wajah. Gambar: Pexel

Geograph.id– Industri kecantikan telah lama menjanjikan transformasi dan kepercayaan diri melalui sederet produk dan perawatan kulit. Namun, di balik janji kulit mulus dan tampilan sempurna, tersembunyi kerusakan besar yang tak hanya memengaruhi perempuan secara psikologis, tetapi juga mencederai lingkungan secara masif. Dengan emisi tahunan dari produksi kosmetik di Asia Tenggara mencapai lima juta ton karbon dioksida, dan 98% perempuan urban Indonesia mengaku cemas akan penampilan kulit mereka, kecantikan ternyata bukan sekadar persoalan personal, ia telah menjadi persoalan global.

Mesin Uang yang Tak Kenal Krisis

Pertumbuhan industri kecantikan tak mengenal kata melambat. Market Research Future mencatat bahwa pada tahun 2022, nilai industri kecantikan global mencapai US$ 534 miliar dan diperkirakan akan melonjak hingga US$ 778 miliar pada 2027. Di Indonesia sendiri, nilai pasar kosmetik dan produk perawatan pribadi mencapai US$ 7,5 miliar pada tahun 2023, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 8,7%.

Apa faktor pendorong utamanya? Sistem kapitalisme telah membentuk standar kecantikan yang mendorong kebutuhan akan kulit cerah, mulus, dan awet muda. Iklan dan media sosial secara masif menciptakan serta memperkuat kebutuhan tersebut. Tak heran, perusahaan meluncurkan lebih dari 13.000 produk kecantikan baru di Asia Tenggara sepanjang 2023. Data Mintel mencatat bahwa angka ini melonjak 34% dibandingkan lima tahun sebelumnya.

Keresahan yang Dimonetisasi

Industri kecantikan memanfaatkan rasa cemas perempuan terhadap penampilan. Para beauty influencer yang memiliki ribuan pengikut kerap membuka video mereka dengan kalimat seperti, “Hari ini aku mau review serum niacinamide terbaru!” untuk menarik perhatian dan mendorong konsumsi. Mereka menyajikan perbandingan produk yang secara formula nyaris identik, namun tetap mendorong penonton untuk membeli sebanyak mungkin.

Media sosial pun menjadi ladang subur pemasaran. Survei Nielsen tahun 2023 menunjukkan bahwa 78% konsumen Indonesia membeli produk kecantikan karena terpengaruh konten di media sosial. FOMO (Fear of Missing Out) mendorong siklus konsumsi tanpa akhir. Ketika dimana satu tren belum berakhir, tren baru sudah menanti untuk dikejar.

Sampah Kecantikan

Industri kecantikan global menghasilkan sekitar 120 miliar unit kemasan setiap tahun, menjadikannya salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Sampah tersebut sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lautan. Peneliti telah menemukan mikroplastik dari produk kecantikan di ekosistem terpencil, mulai dari Arktik hingga dasar Palung Mariana.

Zero Waste Europe mencatat bahwa produsen mengemas 76% produk perawatan pribadi menggunakan plastik sekali pakai. Bahkan, satu botol krim wajah bisa membutuhkan hingga 1.000 tahun untuk terurai. Proses manufaktur di Asia Tenggara menghasilkan emisi sebesar 5,3 juta ton CO₂ setiap tahun.

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai sampah kecantikan, Anda bisa mengunjungi artikel berikut, Industri  Kecantikan : Cantik di Luar, Bahaya di Dalam?

Ekstraksi Tidak Etis

Di balik kemasan elegan, banyak produk kecantikan mengandung bahan yang proses ekstraksinya merusak lingkungan dan melanggar etika. Sekitar 70% produk kosmetik global mengandung minyak kelapa sawit, yang telah mempercepat laju deforestasi di Indonesia.

Mica, mineral berkilau yang lazim digunakan dalam makeup, sering ditambang secara ilegal dengan melibatkan pekerja anak di India dan Madagaskar. Mikroplastik dalam produk eksfoliasi juga telah terbukti masuk ke rantai makanan manusia.

Ironisnya, praktik konsumerisme ini sering dibungkus sebagai “self-care.” Survei Kantar Indonesia (2023) menunjukkan bahwa perempuan urban Indonesia rata-rata memiliki 13 produk skincare aktif, naik dari 8 produk pada tahun 2018. Tren seperti “skin cycling” yang mengajak para perempuan untuk mengganti produk perawatan kulit secara berkala bahkan makin mendorong siklus belanja tanpa henti.

Ilusi Daur Ulang 

Banyak merek mengklaim menggunakan kemasan yang “dapat didaur ulang,” namun praktik daur ulang sering kali jauh lebih rumit dari yang mereka nyatakan. UNEP mencatat bahwa masyarakat global hanya berhasil mendaur ulang 9% dari total plastik yang diproduksi. Sementara di Indonesia sendiri, tingkat daur ulang plastik bahkan lebih rendah, yaitu di bawah 7%.

Kemasan kosmetik yang menggunakan kombinasi plastik, kaca berwarna, atau lapisan metalik seringkali menyulitkan proses daur ulang. Bahkan, botol kaca bening pun bisa gagal didaur ulang jika dicampur material lain.

Mencari Alternatif

Namun, harapan tak sepenuhnya pupus. Di tengah arus konsumsi, beberapa merek mulai melawan arus. Brand lokal seperti Sensatia Botanicals dan Skin Game telah memperkenalkan sistem isi ulang serta menggunakan kemasan biodegradable.

Beberapa langkah praktis yang direkomendasikan oleh ahli lingkungan:

  1. Kurangi jumlah produk dalam rutinitas harian (skincare minimalism)
  2. Pilih produk multi-fungsi
  3. Dukung merek yang menawarkan program refill
  4. Perhatikan sertifikasi keberlanjutan yang kredibel
  5. Hindari produk dengan kemasan berlebihan

Redefinisi Kecantikan 

Kini, definisi kecantikan tak lagi bisa berhenti pada visual. Tidak ada yang cantik dari lautan yang tercemar mikroplastik atau hutan yang gundul karena minyak sawit. Kecantikan sejati adalah soal keseimbangan antara perawatan diri dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Transformasi ini tidak instan. Tapi jika satu demi satu konsumen mulai sadar dan bertindak, perubahan bisa terjadi. Pertanyaannya adalah, apakah kita cukup cepat berubah sebelum planet ini telanjur rusak?

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *