
Geograph.id – Nusa Tenggara, yang meliputi provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan wilayah yang secara geografis kering dengan curah hujan rendah. Letaknya di zona iklim tropis kering membuat wilayah ini mengalami musim kemarau panjang, dengan curah hujan yang sangat terbatas hanya terjadi selama 3–4 bulan dalam setahun. Kondisi geografi seperti relief pegunungan dan lahan berbatu juga menyebabkan rendahnya kapasitas tanah untuk menyimpan air. Kombinasi faktor iklim dan kondisi tanah menjadikan Nusa Tenggara sangat rentan terhadap kekeringan.
Kekeringan di wilayah ini bukan hal baru. Hampir setiap tahun, ribuan hektare lahan pertanian gagal panen, dan banyak masyarakat kesulitan mengakses air bersih. Gejala El Niño yang memperpanjang musim kemarau juga memperparah situasi. Ketergantungan pada sumber air tadah hujan membuat kehidupan sehari-hari warga sangat terpengaruh oleh perubahan iklim. Dengan latar belakang geografis seperti ini, penanggulangan kekeringan di Nusa Tenggara memerlukan pemahaman holistik antara aspek alam dan strategi pembangunan yang berkelanjutan.
Dampak Kekeringan terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat
Kekeringan di Nusa Tenggara berdampak langsung terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bekerja sebagai petani dan peternak, yang sangat bergantung pada air untuk irigasi dan kebutuhan hewan ternak. Ketika kekeringan melanda, hasil panen menurun drastis, harga pangan lokal meningkat, dan daya beli masyarakat pun turun. Ketiadaan air juga menyebabkan ternak mati atau dijual dengan harga rendah demi menyambung hidup.
Selain itu, masyarakat desa harus berjalan jauh hanya untuk mendapatkan air bersih, bahkan hingga ke desa tetangga. Anak-anak dan perempuan sering kali ikut terlibat dalam kegiatan mengambil air, yang mengganggu pendidikan dan aktivitas sehari-hari mereka. Di sisi lain, kekeringan yang berkepanjangan mendorong migrasi sementara atau tetap ke daerah lain, memperbesar tekanan di kota-kota kecil.
Kondisi ini bukan hanya bencana alam, tetapi juga krisis kemanusiaan. Kekeringan mengganggu ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, isu ini perlu ditangani secara lintas sektor baik oleh pemerintah, masyarakat sipil, maupun media untuk memastikan masyarakat terdampak tidak terabaikan dalam wacana pembangunan nasional.
Peran Media dalam Mengangkat Isu Kekeringan
Media memiliki peran penting dalam menyampaikan realitas kekeringan di Nusa Tenggara kepada publik luas. Sayangnya, isu ini sering kali kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan bencana yang lebih dramatis seperti banjir atau letusan gunung berapi. Padahal, kekeringan adalah bencana yang berjalan senyap namun berdampak panjang. Ketika media mengangkatnya, narasi yang dibentuk bisa memengaruhi kebijakan pemerintah dan respons masyarakat.
Liputan media lokal kerap lebih detail dalam menggambarkan penderitaan warga, namun cakupannya terbatas. Media nasional cenderung menyoroti kekeringan hanya saat ada aksi demonstrasi warga atau pernyataan pemerintah. Sementara itu, media digital dan jurnalisme warga memiliki potensi besar untuk menjadi ruang alternatif yang menyuarakan pengalaman langsung masyarakat. Foto, video, dan testimoni warga bisa menjadi alat advokasi yang kuat.
Dalam konteks ini, komunikasi publik yang efektif perlu bersifat partisipatif dan inklusif. Mahasiswa ilmu komunikasi dapat berperan dengan menciptakan konten kreatif yang menyoroti isu-isu pinggiran seperti kekeringan, menggabungkan data geografis dan kisah manusia untuk membangun empati dan mendorong perubahan.
Upaya Mitigasi dan Komunikasi Berbasis Komunitas
Menghadapi kekeringan di Nusa Tenggara memerlukan pendekatan jangka panjang yang berbasis komunitas. Upaya teknis seperti pembangunan embung, sumur bor, dan teknologi penampungan air hujan sudah dilakukan di beberapa wilayah, namun belum merata. Di sisi lain, program edukasi tentang pertanian tahan kekeringan, efisiensi air, dan konservasi lahan perlu diperluas. Perubahan tidak hanya bertumpu pada infrastruktur, tetapi juga pada perilaku dan pengetahuan masyarakat.
Dalam konteks ini, komunikasi berperan penting untuk membangun kesadaran kolektif. Penyuluhan berbasis lokal, drama rakyat, radio komunitas, dan media sosial dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan mitigasi yang relevan dengan budaya setempat. Komunikasi bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun rasa memiliki terhadap solusi.
Partisipasi aktif masyarakat dalam proses mitigasi akan memperkuat resiliensi lokal. Dengan memahami bahwa kekeringan adalah tantangan geografis yang berulang, maka adaptasi harus menjadi bagian dari kebudayaan lokal. Komunikasi yang empatik, kontekstual, dan berkelanjutan adalah kunci untuk menghadapi krisis iklim yang terus berkembang di wilayah ini.