Surga yang Tenggelam: Kisah Terumbu Karang Indonesia di Ambang Kepunahan

 

terumbu karang
Ekosistem laut. Gambar: Pexels/Francesco Ungaro

Geograph.id – Terumbu karang Indonesia ibarat perpustakaan raksasa yang sedang terbakar. Setiap karang yang mati adalah ribuan halaman pengetahuan alam yang musnah. Tentang obat kanker, sistem pertahanan pantai, hingga rantai makanan laut yang memberi makan jutaan orang. Dan kita bukan sekadar penonton kebakaran ini; kita adalah arsonis yang tak sadar telah menyalakan korek api.

Terumbu Karang di Lautan Indonesia Sedang Terancam

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kekayaan terumbu karang yang luar biasa. Sekitar 18% dari total luas terumbu karang dunia, atau sekitar 50.875 kilometer persegi, berada di perairan Indonesia. Kawasan ini termasuk dalam wilayah Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), yang mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Segitiga Terumbu Karang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, dengan lebih dari 76% spesies terumbu karang dan 37% spesies ikan terumbu karang yang diketahui.

Namun, kekayaan ini menghadapi ancaman serius. Lebih dari 85% terumbu karang di kawasan Segitiga Terumbu Karang terancam oleh tekanan lokal seperti penangkapan ikan berlebihan, polusi, dan pembangunan pesisir. Ketika ancaman ini dikombinasikan dengan dampak pemanasan global, seperti pemutihan karang akibat peningkatan suhu laut, persentasenya yang terancam meningkat menjadi lebih dari 90%, jauh di atas rata-rata global sebesar 75%.

Di Indonesia sendiri, kondisi terumbu karang menunjukkan penurunan kualitas. Menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam pemantauan terbarunya mengungkap fakta pahit. Faktanya, 36% terumbu karang nasional dalam kondisi rusak berat, dengan hanya 30,4% yang masih tergolong sehat. Kerusakan ini tidak terjadi secara alami, melainkan akibat ulah manusia yang masif dan sistematis. 

Keindahan yang Perlahan Menuju Kepunahan

Perubahan iklim menjadi pembunuh senyap yang paling berbahaya. Studi terbitan jurnal Nature (2022) mencatat, suhu permukaan laut di kawasan Coral Triangle telah naik 1,2°C sejak 1980, memicu pemutihan karang (coral bleaching) lima kali lebih cepat dibanding dekade sebelumnya. Tahun 2016 menjadi catatan kelam ketika 90% karang di Taman Nasional Komodo mengalami pemutihan, dengan 30% diantaranya mati permanen. Yang mengkhawatirkan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi gelombang panas laut akan terjadi 2-3 kali lebih sering pada 2030.  

Di tengah ancaman iklim, praktik penangkapan ikan destruktif (merusak) justru semakin menjadi. Meski dilarang keras, bom ikan masih ditemukan di perairan terpencil Alor dan Sulawesi Tengah. Data Konservasi Indonesia menunjukkan, 40% karang di kawasan wisata seperti Gili Trawangan dan Derawan rusak akibat jangkar kapal dan aktivitas snorkeling yang tidak bertanggung jawab. Ironisnya, kerusakan terparah justru terjadi di lokasi yang seharusnya menjadi contoh konservasi.  

Polusi plastik menambah daftar panjang masalah. Penelitian Universitas Pattimura pada tahun 2023 menemukan 26.000 partikel mikroplastik per kilometer persegi di perairan Raja Ampat. Partikel ini tidak hanya mencekik karang, tapi juga meracuni ikan-ikan yang menjadi sumber makanan masyarakat pesisir.  

Yang paling memprihatinkan, semua ancaman ini saling terkait seperti rantai yang tak terputus. Karang yang stres akibat pemanasan global menjadi lebih rentan terhadap kerusakan fisik. Sementara sedimentasi dari darat yang membawa pestisida dan sampah memperlambat pemulihan alami. Diperkirakan 70% terumbu karang Indonesia akan mengalami degradasi parah pada 2045, sebuah kiamat kecil di bawah laut yang nyaris tak terdengar.

Rusaknya Terumbu Karang Berdampak Luas

Di balik keindahan terumbu karang Indonesia yang semakin rapuh, ada wajah-wajah manusia yang ikut merasakan dampaknya secara langsung. Di banyak daerah pesisir, terutama di wilayah timur Indonesia, terumbu karang bukan sekadar pemandangan bawah laut yang indah, melainkan sumber penghidupan.

Rusaknya ekosistem karang telah menyebabkan penurunan populasi ikan karang, yang selama ini menjadi sumber tangkapan utama bagi nelayan lokal. Di sisi lain, masyarakat pesisir yang sebelumnya mengandalkan kunjungan wisatawan penyelam atau snorkeler juga merasakan kerugian ekonomi. Penurunan kualitas karang membuat beberapa spot diving kehilangan daya tarik, sehingga kunjungan menurun. 

Namun di antara kerapuhan itu, muncul pula kisah resistensi dan harapan. Di beberapa wilayah seperti Wakatobi, Misool, dan Pulau Seribu, anak-anak muda lokal mulai bergerak dengan mendirikan komunitas konservasi. Mereka melakukan pemantauan ekosistem secara berkala, melakukan transplantasi karang, dan memberi edukasi kepada wisatawan tentang bagaimana menjaga kawasan laut. Meski belum dapat sepenuhnya membalikkan kerusakan yang terjadi, langkah ini menjadi penanda bahwa masyarakat pesisir tidak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku perubahan.

Lemahnya Hukum Untuk Pelaku Perusakan

Di tengah upaya pelestarian yang terus digaungkan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan menyelamatkan terumbu karang Indonesia masih jauh dari kata ideal. Salah satu tantangan terbesar adalah lemahnya penegakan hukum terhadap aktivitas merusak laut. 

Faktanya, pemerintah telah menetapkan peraturan-peraturan terkait perlindungan ekosistem laut. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Pasal 73 ayat (1) huruf a undang-undang ini menetapkan sanksi pidana bagi siapa pun yang melakukan perusakan terhadap terumbu karang, dengan ancaman penjara paling singkat dua tahun dan paling lama sepuluh tahun, serta denda antara dua hingga sepuluh miliar rupiah. 

Namun, praktik-praktik seperti penangkapan ikan dengan bom, perusakan karang untuk pariwisata, hingga pembuangan limbah industri ke laut kerap kali terjadi tanpa konsekuensi hukum yang jelas. Bahkan di kawasan konservasi sekalipun, pengawasan sering kali longgar dan pelanggaran dibiarkan tanpa tindakan tegas.

Sudahi dan Benahi

Terumbu karang Indonesia bukan hanya keajaiban bawah laut, tetapi juga fondasi kehidupan bagi jutaan makhluk dan manusia yang bergantung padanya. Ketika kerusakan terus terjadi, bukan hanya keanekaragaman hayati yang hilang, tetapi juga masa depan masyarakat pesisir yang rapuh. Menyelamatkan surga yang tenggelam ini bukan sekadar tugas ilmuwan atau aktivis, melainkan tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan laut yang tak tergantikan.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *