
Geograph.id – Taman Nasional Baluran – Hutan konservasi Taman Nasional Baluran berfungsi sebagai tempat menjaga keanekaragaman flora dan fauna, serta ekosistemnya secara keseluruhan. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menangani kawasan konservasi Taman Nasional Baluran. Zonasi adalah prosedur yang digunakan untuk mengatur ruang di Taman Nasional. Untuk membedakan fungsi setiap wilayah, zona dibuat dengan batas kegiatan yang sesuai dengan fungsi masing-masing. Masyarakat hanya diperbolehkan mengakses zona khusus, zona tradisional, zona rehabilitasi, dan zona hutan maksimal dalam memanfaatkan hutan. Zona pada dasarnya dilindungi, dan masyarakat tidak boleh memasukinya dengan tujuan apa pun.
Tapi tahukah Anda bahwa Taman Nasional Baluran jauh dari yang Anda bayangkan. Sejarah berkelamut menghantui status Taman Nasional Baluran sebagai pusat konservasi alam, yang justru menyimpan potensi kerusakan alam akibat praktik kerja manusia. Berikut narasi panjang perjalanan Kampung Merak yang terjebak di antara Hutan Konservasi Taman Nasional Baluran.
Warisan HGU Kolonial: Perebutan Lahan dan Status Warga Kampung Merak

Kampung Merak terletak di Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Kampung Merak berada di wilayah Taman Nasional Baluran tradisional yang merupakan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Gunung Gumitir pada tahun 1975, yang memiliki masa izin usaha 25 tahun. PT Gunung Gumitir termasuk dalam PT Perkebunan Nusantara XII, yang dikelola oleh pemerintah 10%, dan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) mengelola 90% dari lahan tersebut. Meskipun izin HGU telah berakhir, masyarakat masih menggunakan lahan tersebut sampai saat ini.
Sebelum tahun 1928, Labuhan Merak dan Gunung Masigit dimiliki oleh seorang warga Belanda bernama AH Loedeboer. Labuhan Merak dan Gunung Masigit adalah lahan hak guna usaha perkebunan kolonial. Namun, hak persil dibatalkan oleh pemerintah pada tahun 1957, sehingga lahan dikuasai oleh negara. Pada tahun 1962, bekas perkebunan tersebut diubah menjadi kawasan lindung dan digabungkan dengan Suaka Margasatwa yang sudah ada sejak tahun 1937 oleh Menteri Pertanian. Pada tahun 1974, PT Gunung Gumitir Surabaya mengajukan permohonan hak guna usaha di lahan suaka habitat dengan izin dari Bupati Situbondo. PT Gunung Gumitir menerima izin usaha di wilayah tersebut pada tahun 1975 (Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK. 16/HGU/DA/1975) di lahan seluas 363 Ha.
PT Gunung Gumitir fokus pada penanaman pohon turi untuk mendukung pabrik kertas PT Basuki Rahmat di Banyuwangi. Pengelolaan HGU PT Gunung Gumitir seluas 253 Ha disewakan kepada penggarap, yang berarti karyawan. Mereka mewajibkan penanaman pohon turi dan memiliki izin untuk menanam tumpang sari di sela-sela pohon turi.
PT Gunung Gumitir
Pada tahun 1977, menteri dalam negeri mengirimkan surat kepada PT Gunung Gumitir untuk meminta tanah HGU dikembalikan untuk digunakan sebagai suaka safari sesuai fungsinya. Investasi di perkebunan turi sudah selesai, PT Gunung Gumitir diberi waktu 10 tahun. PT Gunung Gumitir kemudian menuntut ganti rugi sebesar Rp 360.000.000 kepada Departemen Kehutanan karena perjanjian awal izin hak guna usaha mereka dikurangi menjadi 10 tahun dari 25 tahun. Namun, karena wilayah PT Gunung Gumitir adalah hutan suaka safari, tuntutan ganti rugi tersebut ditolak. Izin PT Gunung Gumitir dicabut pada tanggal 31 Desember 2000.
PT Gunung Gumitir meninggalkan Kampung Merak tanpa memberikan kejelasan kepada karyawannya ketika masa izin HGU habis. Karena tidak ada pemutusan kontrak atau pesangon, para pekerja tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mereka. Akibatnya, karyawan yang telah membangun rumah di tanah garapannya memutuskan untuk tetap tinggal dan terus melangsungkan hidup di kawasan suaka satwa liar, hutan konservasi.
Masyarakat dan Taman Nasional Baluran

Warga Kampung Merak dilarang membangun rumah permanen untuk membuat relokasi menjadi lebih mudah. Meskipun terdapat berbagai hambatan yang menghalangi upaya Taman Nasional Baluran untuk merelokasi masyarakat, rencana tersebut akhirnya gagal dilaksanakan. Saat ini, banyak warga di Kampung Merak mulai membangun rumah permanen untuk menghindari relokasi pemerintah yang sulit. Pada tahun 2010, sebanyak 318 Kepala Keluarga tinggal di Kampung Merak; 3% merupakan rumah permanen, 40% bersifat semi permanen, 47% tidak permanen, dan 10% tidak diketahui. Meski begitu, saat ini pemerintah tengah merealisasikan pengadaan listrik untuk masyarakat di kampung Merak. Mereka juga diberi akses jalan oleh pemerintah.
Penduduk Kampung Merak berasal dari berbagai daerah. Mereka bekerja di PT Gunung Gumitir, dan setelah HGU berakhir, masyarakat mulai menghasilkan uang dengan mengembangkan kebun dan mengembara sapi. Warga Kampung Merak tetap bertahan hidup di kawasan Taman Nasional Baluran karena mereka telah membangun identitas sebagai warga Kampung Merak dan memiliki organisasi. Namun faktanya mereka berada di wilayah Taman Nasional Baluran masih menjadi masalah hingga saat ini. Selain itu, mereka tidak dapat kembali ke kampung halaman mereka karena tidak memiliki tujuan untuk tinggal di sana dan tidak memiliki kerabat di sana.
Penduduk Kampung Merak saat ini terdiri dari generasi ketiga dari pekerja yang pernah bekerja di PT Gunung Gumitir. Mereka menempati daerah di mana tidak ada kejelasan antara komunitas dan wilayah taman nasional. Karena mereka bergantung pada ternak sebagai mata pencaharian utama mereka, keadaan ini semakin rumit.
Keseimbangan: Konflik Penggembalaan Liar dan Upaya Konservasi

Di hutan konservasi, penggembalaan liar dilakukan oleh petugas kehutanan. Taman Nasional dilindungi dari penggembalaan sebagai salah satu ancaman, kegiatan ini dilarang di kawasan Taman Nasional, karena seluruh kawasan termasuk flora dan fauna dilindungi dari berbagai ancaman, salah satunya penggembalaan. Masyarakat yang melakukan praktik penggembalaan di kawasan Taman Nasional Baluran tidak memiliki pilihan lain sehingga satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah menggiring ke hutan karena tidak adanya lahan ternak bagi warga. Meskipun penggembala menjaga sapi, kegiatan tersebut membahayakan ekologi wilayah.
Penggembalaan sapi akan merusak satwa dan tumbuhan yang dilindungi di Taman Nasional Baluran. Istilah penggembalaan pembohong digunakan menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Saat ini, penggembalaan pembohong dianggap sebagai pelanggaran hukum. Dari perspektif Taman Nasional Baluran, istilah “penggembalaan pembohong” berkaitan erat dengan bagaimana penduduk Kampung Merak tinggal di wilayah taman nasional. Mereka juga menganggap melanggar hukum karena status kependudukan mereka.
Selain itu, penggembalaan pembohong dianggap melanggar hukum. Konsep penggembalaan liar terkait dengan batas taman nasional dan wilayahnya. Masyarakat tidak boleh tinggal di hutan konservasi, tetapi aturan zonasi memungkinkan mereka menempati zona konservasi mereka sendiri. Meskipun masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan hutan di wilayah mereka, penggembalaan sapi yang melewati batas izin pemanfaatan dianggap sebagai penggembalaan pembohong.
Tarik Ulur Taman Nasional dan Penggembala

Kampung Merak dimasukkan ke dalam sistem zonasi kehutanan yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015 pada tahun 2016. Area khusus adalah tempat di mana kelompok masyarakat tinggal dan melakukan aktivitas kehidupannya. Kawasan tradisional adalah tempat di mana masyarakat bergantung pada sumber daya alam di sekitar hutan.
Revisi zona Kampung Merak pada tahun 2020 dilakukan dengan tujuan untuk memperluas wilayahnya. Untuk memberi akses masyarakat ke beberapa sumber daya hutan yang ada di Baluran. Taman Nasional Baluran menetapkan zona tradisional di lahan yang dulunya merupakan HGU PT Gunung Gumitir di Labuhan Merak, dengan luas 622,06 ha. Kampung Merak termasuk dalam zona rimba yang tidak boleh ada perkampungan di dalamnya sebelum ditetapkan sebagai zona tradisional dan zona khusus. Namun seiring berjalannya waktu, kebijakan nasional mengubah fokusnya ke arah pemberdayaan rakyat, sehingga zonasi harus menyelesaikan semua masalah. Hal ini disebabkan oleh populasi yang tinggal di dalam dan sekitar Taman Nasional, yang menghasilkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Diperkirakan masalah di Kampung Merak akan berubah akibat perubahan status ini. Setelah zona hutan diubah menjadi zona khusus, masyarakat mendapatkan beberapa fasilitas, seperti mengambil biji kemiri yang sudah tumbang, menanam umbi-umbian, menanam rumput gajah di lahan milik taman nasional, dan menggembala sapi sesuai aturan. Masyarakat harus menggunakan hutan sesuai dengan fungsi zonasi. Dengan aturan zonasi ini, taman nasional dapat lebih fokus dalam menilai wilayah dan fungsinya sesuai zonasi.
Tidak Ada Sanksi Tertulis

Dari perspektif konservasi, penggembalaan ternak hanya memiliki dampak yang merugikan: persaingan untuk pakan dan ruang antara sapi dan hewan lain, pemadatan tanah, dan terbentuknya cekungan tanah di jalur sapi yang berubah menjadi sungai saat hujan. Hal ini membahayakan tujuan Taman Nasional. Namun penggembalaan sapi dapat menguntungkan pemerintah desa karena dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan desa. Tidak ada sanksi yang jelas dan tegas yang diberikan kepada penggembala sapi yang mengembala sapi di kawasan konservasi meskipun hal itu berdampak negatif. Sejauh ini, Taman Nasional Baluran hanya mengeluarkan peringatan lisan jika menemukan pelanggaran penggembalaan selama patroli.
Masyarakat mengatakan bahwa taman nasional belum pernah memberikan sanksi kepada pemilik sapi yang masuk ke zona inti. Mereka biasanya hanya diberi peringatan jika mereka masuk ke zona inti. Namun, sapi yang memasuki Savana Bekol lokasi wisata utama Taman Nasional Baluran akan ditangkap dan pemiliknya harus menghadap petugas. Namun, jika peternak mengakui bahwa dia tidak bisa menggembala dengan baik, petugas akan tetap mengembalikan sapinya. Hal ini hanyalah ancaman bagi peternak yang lebih teratur.
Petugas biasanya hanya memberikan peringatan kepada peternak agar mereka menjaga lingkungan Baluran, terutama tentang sampah. Penggembala yang membawa bekal dari rumah diingatkan untuk menghindari membuang sampah bekalnya di hutan. Hal ini tentunya untuk menjaga kawasan bebas sampah. Untuk mencegah kebakaran hutan, penggembala yang merokok juga diharapkan sangat berhati-hati, terutama selama musim kemarau.
Kandang Komunal Sebagai Jalan Tengah

Taman nasional Khawatir tentang persaingan pakan dan ruang hidup antara sapi dan hewan lain seperti banteng dan rusa muncul sebagai akibat dari penggembalaan 3.600 sapi di Kampung Merak. Dengan banyaknya sapi yang tertinggal di hutan, satwa liar yang dilindungi khawatir bahwa mereka tidak akan mendapatkan pakan karena pakan sudah habis dimakan sapi. Kondisi ini pasti akan mengancam kehidupan mereka. Pihak taman nasional telah berusaha beberapa kali untuk menemukan solusi yang menguntungkan. Namun, banyaknya sapi yang menghalangi upaya ini.
Dengan diluncurkannya program penggemukan ternak di kandang komunal, Taman Nasional saat ini sedang mengambil tindakan. Taman Nasional memberikan contoh penggemukan sapi agar masyarakat dapat membandingkan harga jual sapi yang dikandangkan dan yang dilepas ke hutan. Program ini adalah salah satu contoh untuk mengubah cara masyarakat Kampung Merak menggembala.
Semua ternak Ditempatkan dalam kandang komunal, yang merupakan bangunan milik bersama. Kandang komunal lebih luas, memiliki atap dan tempat pakan. Masyarakat Kampung Merak membentuk Koperasi Wana Baluran Merak untuk melaksanakan program ini. Diharapkan bahwa kandang komunal akan mengurangi jumlah sapi yang digembalakan ke hutan.
Kandang komunal ini dibangun sekitar 500 meter dari Merak di pos masuk Kampung Merak. Untuk memudahkan peternak, kandang komunal tersebut memiliki mesin pencacah pakan. Peternak memberikan pakan sapi setiap pagi dan sore. Mereka melakukannya dengan mengambil rumput hijau dari ladang atau dari limbah pertanian, seperti tanaman jagung yang dikeringkan setelah dipanen. Sapi putih dan merah adalah jenis sapi yang berbeda yang dipelihara.