
Geograph.id – Kualitas udara di Jakarta membaik drastis selama libur Lebaran 2025, dengan penurunan polusi hingga 75%. Namun, hanya empat hari setelah masyarakat kembali beraktivitas, ibu kota kembali masuk daftar kota dengan udara terburuk di dunia.
Kualitas Udara di Jakarta Membaik
Selama periode libur Lebaran 2025, kualitas udara di Jakarta menunjukkan perbaikan signifikan. Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, konsentrasi polutan seperti PM2.5, PM10, dan NO2 mengalami penurunan yang cukup drastis, yakni antara 43–75% dibandingkan periode yang sama tahun 2024, dan 18–69% dibandingkan tahun 2023.
“Maka dari itu, dari sisi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), Jakarta berada dalam kategori ‘Baik’ saat Hari Raya pertama, sedangkan pada periode pemantauan hari kedua masuk ke dalam kategori ‘sedang’. Data juga menujukan bahwa konsentrasi polutan saat Idul Fitri tahun 2025 lebih rendah dibandingkan tahun 2023 dan 2024,” ujar Asep Kuswanto, kepala dinas DLH DKI Jakarta. Ini menjadi momen langka bagi Jakarta, yang dalam beberapa tahun terakhir sering masuk daftar kota dengan udara terburuk di dunia.
Penurunan ini terjadi seiring dengan menurunnya aktivitas masyarakat, terutama karena jutaan warga Jakarta melakukan mudik ke kampung halaman. Jalan-jalan yang biasanya padat menjadi lengang, lalu lintas kendaraan bermotor jauh berkurang, dan aktivitas industri serta konstruksi juga menurun drastis.
Kembali Memburuk Pasca Libur
Sayangnya, perbaikan kualitas ini tidak berlangsung lama. Pada H+4 Lebaran atau Rabu, 9 April 2025, kualitas udara kembali memburuk. Berdasarkan data dari situs pemantauan kualitas udara IQAir, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta mencapai angka 153, masuk dalam kategori tidak sehat. Jakarta pun menempati peringkat kedelapan kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada hari tersebut.
Peningkatan polusi udara ini berkaitan dengan kembalinya aktivitas warga ke Jakarta pasca mudik. Volume kendaraan melonjak, kantor dan industri kembali beroperasi, serta proyek konstruksi yang sempat berhenti kini aktif kembali. Semua itu kembali menyumbangkan emisi dalam jumlah besar ke atmosfer Jakarta.
Fenomena membaiknya udara Jakarta saat libur Lebaran membuktikan bahwa perubahan kecil dalam mobilitas dan aktivitas manusia mampu membawa dampak besar bagi lingkungan. Pertanyaannya kini, beranikah kita mengubah kebiasaan demi udara yang lebih layak dihirup setiap hari?