Makanan Bergizi Gratis, Bumi Kian Menjerit

Presiden Prabowo Subianto bersama Bill Gates saat meninjau langsung jalannya program MBG di sekolah pada (7/5/2025). Gambar: Biro Pers Kepresidenan
Presiden Prabowo Subianto bersama Bill Gates saat meninjau langsung jalannya program MBG di sekolah pada (7/5/2025). Gambar: Biro Pers Kepresidenan

Geograph.id– Di balik piring nasi bergizi yang kini bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh ribuan pelajar di Indonesia, ada cerita lain yang tak kalah penting yaitu limbah makanan yang terus menggunung. Program makan bergizi gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah sebagai bagian dari komitmen menurunkan angka stunting dan ketimpangan gizi memang patut diapresiasi. Namun, di sisi lain, muncul tantangan baru yaitu sampah makanan (food waste) yang kian tak terkendali.

Inisiasi Memberi Makan Bergizi Gratis

Program makan bergizi gratis telah resmi dilaksanakan dalam skala nasional sejak awal tahun 2025. Program MBG bertujuan untuk menjamin bahwa anak-anak sekolah, terutama dari keluarga kurang mampu, dapat mengakses makanan bernutrisi setiap harinya. Dengan menu yang dirancang oleh ahli gizi, anak-anak bisa mendapatkan asupan karbohidrat, protein hewani-nabati, sayur, buah, dan susu.

Bagi banyak keluarga, program ini menjadi angin segar. Bukan hanya soal hemat pengeluaran harian, tetapi juga peluang untuk memberi anak-anak kesempatan tumbuh lebih sehat dan cerdas. Namun, seperti halnya setiap program besar, tantangan tak dapat dihindari. Tanpa perencanaan yang matang, program MBG justru bisa menjadi bumerang yang menyulut polemik baru. Salah satu risiko jalannya program MBG adalah kualitas pangan yang tidak terstandar.

Sudah Siapkah Pemerintah Kita?

Sejak awal peluncurannya, banyak insiden yang telah terjadi di mana ditemukan ayam busuk, makanan belum matang, bahkan keracunan massal di beberapa sekolah penerima bantuan pangan. Hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan rantai distribusi dan minimnya kapasitas logistik di banyak daerah. Belum lagi, banyak siswa, entah karena tidak suka menu atau tidak terbiasa dengan jenis lauk tertentu, memilih tidak menyentuh makanannya sama sekali.

Produksi makanan massal dalam waktu terbatas cenderung mengabaikan aspek keberlanjutan, menghasilkan sampah makanan dalam jumlah besar yang berakhir sia-sia. Belum lagi potensi korupsi anggaran dan penunjukan vendor abal-abal. Tanpa sistem pengawasan terpadu, edukasi gizi, dan kesiapan infrastruktur, Indonesia sejatinya belum benar-benar siap menggelar program makan gratis dalam skala luas tanpa risiko besar terhadap kesehatan, lingkungan, dan keuangan negara.

Insiden yang terjadi di Bombana, Sulawesi Tenggara, di mana puluhan siswa mengalami gejala keracunan setelah menyantap ayam yang diduga sudah membusuk, banyak juga terjadi di sekolah lain. Adapula di Surabaya, Ombudsman RI menemukan makanan tidak layak konsumsi, seperti buah melon busuk dan sayuran yang sudah tidak segar, disajikan kepada siswa.

Ironisnya, kejadian-kejadian tersebut hanya dianggap sebagai angka statistik semata oleh pemerintah. Presiden Prabowo bahkan baru-baru ini dengan bangga menyatakan bahwa keberhasilan program MBG mencapai 99,99 persen. Seolah indikator seperti kelengkapan gizi dalam sajian, peningkatan kualitas belajar anak, atau penurunan angka stunting tak eksis dalam indikator penilaian mereka. Hanya persentase siswa yang tak keracunanlah indikatornya.

“Yang rawat inap hanya 5 orang. Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya nggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta kalau tidak salah adalah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya adalah 99,99 persen,” ujarnya seperti dilansir dari laman detik.com.

Sisa Makanan di Piring

Selain masalah keamanan pangan, program MBG juga menghadapi tantangan dalam pengelolaan limbah makanan. Penyajian massal tanpa perhitungan konsumsi membuat banyak makanan terbuang karena basi atau tak layak makan, memicu pola konsumsi boros dan memperburuk krisis limbah makanan yang sejatinya sudah menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA). Proses pembusukan sampak organik yang terakumulasi kemudian menghasilkan gas rumah kaca.

Menurut Global Hunger Index, Indonesia berada di peringkat 77 dari 121 negara, tanda bahwa kelaparan masih jadi persoalan. Ironisnya, FAO mencatat Indonesia juga membuang lebih dari 13 juta ton makanan setiap tahun. Pada tahun 2020 saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 40% dari total sampah masyarakat ialah sampah makanan. Angka tersebut berpotensi naik seiring bertambahnya volume makanan yang dibagikan melalui MBG. Ketika program makan gratis berjalan semakin menyeluruh dalam skala nasional, potensi food waste akan semakin masif jika tidak dikelola dengan baik.

Gas metana (CH₄) yang dihasilkan dari pembusukan sampah makanan di TPA merupakan ancaman serius bagi iklim. Metana adalah gas rumah kaca yang 84 kali lebih kuat dibanding karbon dioksida dalam menjebak panas dalam jangka waktu 20 tahun. Ketika limbah organik seperti sisa makanan membusuk tanpa pengelolaan yang tepat, metana dilepaskan ke atmosfer dan mempercepat pemanasan global.

Makan Bergizi Tanpa Merusak Bumi

Pemerintah tentunya perlu berbenah. Pengawasan distribusi, pelatihan penyedia makanan, dan sistem umpan balik dari sekolah menjadi elemen penting untuk menghindari makanan terbuang sia-sia. Selain itu, diperlukan standarisasi yang ketat dalam penyediaan dan distribusi makanan, serta pelatihan bagi mitra penyedia makanan untuk memastikan kualitas dan keamanan pangan.

Edukasi gizi tak cukup bila tidak dibarengi dengan edukasi lingkungan. Edukasi siswa soal pengelolaan dan pemborosan makanan bisa mengurangi dampak lingkungan program ini. Implementasi program kompos sekolah dan integrasi kurikulum pendidikan lingkungan dapat menjadi langkah positif menuju keberlanjutan.

Program makan bergizi gratis adalah langkah revolusioner untuk masa depan anak-anak Indonesia. Namun, kita tak boleh membiarkan sisa-sisa makanan berakhir di tempat sampah tanpa benar-benar diolah. Kita perlu menjamin anak-anak kenyang tanpa membuat bumi lapar akan kepedulian.

Sebab sejatinya, sepiring makanan bukan hanya tentang rasa kenyang yang dihasilkan. Ia adalah buah dari kerja keras alam dan manusia. Maka, setiap suapan yang dibuang juga merupakan bentuk ketidakadilan. Saat kita menyia-nyiakannya, kita mencederai petani, merusak lingkungan, dan menambah beban bumi yang kian rapuh.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *