Menduduki Posisi Keempat, Sampah Makanan di Indonesia jadi Permasalahan Kompleks

Tumpukan sampah makanan. Foto: Hops.id
Tumpukan sampah makanan. Foto: Hops.id

Geograph.id – Isu sampah makanan di Indonesia sepertinya belum mendapat banyak perhatian jika dibandingkan dengan isu lingkungan lainnya. Padahal, Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara penghasil limbah makanan terbanyak di dunia.

Mengutip dari data United Nations Environment Programme (UNEP) 2021 lalu, Indonesia tepat berada di belakang China, India, dan Nigeria yang menempati posisi pertama, kedua, dan ketiga secara kuantitas limbah makanan setiap tahunnya.

Berdasarkan data yang dikutip sebelumnya, Indonesia menghasilkan sekitar 20,9 Ton limbah makanan pertahun. Bahkan dalam kurun waktu dari tahun 2000-2019, Indonesia mencetak angka 28-40 juta limbah makanan per tahun. 

Jenis Sampah Makanan

Sampah makanan terbagi menjadi 2 kategori. Pertama, left over, yang dihasilkan saat kegiatan produksi, penyimpanan atau pascapanen, dan pemrosesan. Kedua, food waste, yang dihasilkan saat proses pemasaran atau distribusi dan sisa konsumsi.

Kedua jenis sampah tersebut memiliki efek yang negatif bagi lingkungan sebab mengandung bahan kimia yang tidak dapat didaur ulang. 

Dampak Sampah Makanan

Mengutip World Resources Institute (WRI), emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh limbah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Mayoritas, gas yang dihasilkan merupakan gas metana yang memiliki kekuatan 25x lebih besar untuk meningkatkan pemanasan global dibandingkan dengan karbon dioksida. 

Tak hanya berdampak pada lingkungan, permasalahan sampah makanan ini pun berimbas pada sektor ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, Indonesia merugi sekitar Rp 231 – Rp 551 Triliun untuk 20,9 Ton makanan yang terbuang. Ironisnya, jumlah tersebut dapat memberi makan sebanyak 30% hingga 40% dari populasi manusia di Indonesia.

Apa penyebab sampah makanan di indonesia tinggi?

Dapat dikatakan, penyebabnya sesederhana dari pola hidup dan preferensi makanan masyarakat indonesia. Disini, masyarakat lebih menyukai bahan baku makanan yang segar seperti daging segar, buah segar, dan sayur segar.

Pasalnya, masyakat masih awam dengan makanan yang tidak segar. Mereka akan memilih daging segar dibanding daging beku. Masyarakat juga lebih memilih cabe segar daripada cabe kering yang sengaja disimpan untuk meminimalisir sampah makanan akibat kelebihan pasokan saat proses produksi.

Selain itu, kendalanya juga terletak pada jarak yang harus ditempuh bahan baku saat proses pendistribusian dari petani ke pasaran. Sehingga usia kesegaran bahan baku akan habis dimakan oleh waktu tempuh. 

Di samping itu, pada proses konsumsi, masyarakat indonesia bisa dibilang termakan gengsi jika membeli makanan dengan porsi yang “cukup”. Seringkali, orang menilai hal tersebut sebagai tindakan yang pelit dan tidak menghargai diri sendiri jika membeli dan mengambil porsi makanan yang sedikit. Sayangnya, Harga diri dirasa lebih penting daripada harga sisa makanan yang terbuang. 

Lalu, apa yang harus yang kita lakukan?

Kita bisa mulai mengurangi sampah dengan menerapkan “food preparation” untuk memastikan makanan apa dan berapa jumlah (kuantitas) yang hendak dimasak. Hal ini akan membawa dampak yang cukup signifikan untuk sampah rumah tangga.

Selain itu, untuk konteks membeli makanan, masyarakat bisa memulai komitmen dengan diri sendiri untuk tidak kalap membelanjakan makanan hanya karena lapar mata. kita harus tahu berapa banyak porsi makanan yang dapat kita konsumsi. Untuk tindakan lebih lanjutnya, pemerintah dapat menggaungkan darurat sampah makanan menjadi isu nasional yang perlu untuk diminimalisir.

Selain tindakan preventif membuang sisa makanan secara sia sia, pemerintah Indonesia mungkin bisa berkiblat pada Italia. Menjadi negara pertama di Eropa, Italia telah mengambil tindakan tegas dengan meresmikan undang undang tentang sampah makanan sebagai bentuk pencegahan atas isu tersebut.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *