
Geograph.id – Apa yang tersisa dari janji hijau ketika asap pabrik masih memenuhi langit, sungai masih tercemar limbah, dan hutan terus terkikis demi kepentingan korporasi? Kapitalisme hijau, yang katanya solusi, justru menjadi tameng baru bagi perusak bumi untuk terus mengeruk keuntungan di balik label “ramah lingkungan.”
Realita Kapitalisme Hijau
Di tengah gencarnya kampanye perusahaan-perusahaan raksasa tentang “komitmen hijau” dan “keberlanjutan,” Coqi Basil, Ketua NGO (Non-Governmental Organization) Trash Hero Tumapel yang sempat diwawancara oleh tim Geograph beberapa waktu lalu, menyodorkan realita pahit: “Kenapa para perusahaan itu berani membuat alih fungsi lahan? Karena mereka sudah mencemarkan lingkungan sejak dulu.” Pernyataan ini bukan sekadar luapan kekesalan, melainkan gambaran sebuah sistem yang akarnya telah membusuk. Keberanian korporasi mengubah fungsi lahan secara besar-besaran adalah akibat dari sejarah panjang pencemaran yang mereka lakukan, yang kini berubah menjadi “hak” untuk terus berkembang.
Logika yang mendasarinya adalah “logika pasar” yang tak kenal ampun. Dalam sistem ini, alam bukan ibu yang harus dijaga, melainkan komoditas yang harus dieksploitasi demi akumulasi keuntungan. “Masalah lingkungan itu akarnya, ya, karena orang-orang hidup dengan prinsip-prinsip kapitalisme, mengakumulasi keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya,” tegas Basil. Dampaknya pun tak pernah sedikit. Polusi dan kerusakan lingkungan, seperti diingatkan Basil, “akan berkelindan dengan masalah lain,” misalnya kemiskinan, kesehatan, ketimpangan sosial, membentuk jaring masalah yang semakin sulit diurai.
Apa Itu Kapitalisme Hijau?
Di tengah kegelapan ini, muncul narasi penyejuk “Green Capitalism” atau Kapitalisme Hijau. Gilang Mahadika dalam tulisannya di Indo Progress mengurai bagaimana wacana global memaksa korporasi mengadopsi praktik “berkelanjutan”. Industri dituntut tidak hanya mengejar laba, tapi juga memikirkan kelangsungan bisnis di masa depan dengan meminimalisir dampak lingkungan, atau sering disebut eco-capitalism.
Namun, wajah elok ini ternyata hanyalah topeng. Adrienne Buller, dalam bukunya “The Value of a Whale: On the Illusions of Green Capitalism” (2022), seperti dikutip Mahadika, membongkar ironi besar: “korporasi saat ini memang sering kali menggunakan narasi-narasi aktivisme lingkungan dan iklim demi memperkuat kedudukan bisnis mereka.” Klaim “peduli lingkungan” itu tak lebih dari strategi untuk memperlambat krisis iklim dan lingkungan demi memastikan mesin pencetak uang mereka bisa terus berputar. Tujuannya bukan menyembuhkan bumi, tapi sekadar memperpanjang napas industri yang rakus.
Antropolog Stuart Kirsch, melalui analisis Benson dan Kirsch (2010) yang dirujuk Mahadika, bahkan memperkenalkan istilah tajam: “corporate oxymorons” (kontradiksi perusahaan). Klaim “perusahaan tambang berkelanjutan” atau “industri ramah lingkungan” adalah sebuah kemustahilan. “Klaim-klaim mengenai keberlanjutan yang dibuat oleh industri pertambangan sangat dapat dipertanyakan,” tegasnya. Perusahaan yang mengklaim sebagai “industri hijau” justru lebih berbahaya. Sebab, mereka bisa menyembunyikan risiko dan bahaya di balik narasi lingkungan. Lebih dari itu, membungkam kritik dengan label “hijau” sebagai tameng untuk melanjutkan praktik bisnis seperti biasa.
Berbagai Faktor Kapitalisme Hijau
Akar masalahnya, seperti dijelaskan Novianti di Wacana Edukasi, bersarang pada jantung kapitalisme itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas mampu memicu eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Proses industrialisasi yang digenjot demi angka pertumbuhan mengorbankan lingkungan, teknologi, dan manusia. Menurut penuturan Leslie Mabon, dosen The Open University, emisi karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil menjadi penyumbang utama polusi udara. Apalagi diperparah oleh liberalisasi keuangan yang mendorong pertumbuhan industri secara besar-besaran. Kerusakan lingkungan, termasuk polusi udara, menjadi cerminan nyata dari rapuhnya sistem kapitalisme.
Korupsi politik kerap menjadi faktor pendorong bagi kerusakan lingkungan. Sistem yang korup menciptakan masalah ganda, di mana kebijakan pemerintah lebih dipengaruhi oleh kepentingan pemodal daripada kepentingan rakyat dan lingkungan. Akibatnya, regulasi lingkungan menjadi rapuh, dan penegakan hukumnya pun tak kalah lemah.
Lalu, di mana solusi sejati? Basil skeptis terhadap komitmen perusahaan besar yang mencemari lingkungan, ia percaya bahwa perusahaan kecil lebih berpotensi untuk peduli. Menurutnya, semakin besar perusahaan, semakin besar kemungkinan mereka melakukan penindasan. Ia merujuk pada teori Robin Dunbar yang menyatakan bahwa 150 orang adalah batas ideal untuk menjaga harmoni. Model komunitas kecil ini, yang dulu ada saat alam mulai terbentuk, dinilai lebih selaras dengan lingkungan.
Fakta kemiskinan juga dimanipulasi untuk membenarkan kerusakan. Misalnya beberapa perusahaan yang menggunakan narasi kemiskinan untuk membenarkan produksi kemasan sachet sekali pakai, seolah-olah itu solusi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal, ini hanya membenarkan praktik bisnis yang berpotensi merusak lingkungan. Solusinya bukan membanjiri bumi dengan sampah sachet, tapi memutus lingkaran setan kemiskinan dan eksploitasi.
Memutus Lingkaran Eksploitasi Demi Masa Depan
Kapitalisme Hijau, dengan segala topeng dan retorika semunya, terbukti bukan jawaban. Ia hanyalah cara sistem yang sakit untuk bertahan lebih lama dengan membungkus racunnya dalam kemasan organik. Seperti lagu Iwan Fals, “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi“, bumi mengaduh sementara para elite di panggung kekuasaan sibuk mengeksploitasi alam, memeras bumi demi keuntungan semu yang hanya menguntungkan segelintir.
Kini saatnya melepas kepercayaan pada janji manis yang hanya beredar di iklan. Fokus pada aksi nyata yang mampu mengakhiri kerakusan sistemik yang terus merenggut masa depan. Sebab, seperti yang telah terungkap dari kegagalan kapitalisme hijau yang palsu ini, bumi tidak memerlukan kata-kata indah yang kosong makna, melainkan kejujuran dan keberanian untuk benar-benar berubah.