Ilustrasi mikroplastik di laut. Gambar: Pinterest
Geograph.id — Setiap kali kita menyeruput air mineral dalam botol plastik atau menyantap ikan laut kesukaan, mungkin kita tak menyadari bahwa ada partikel kecil yang ikut masuk ke tubuh, yaitu mikroplastik. Partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter ini kini telah menyusup ke dalam sistem kehidupan laut dan secara perlahan merambat ke meja makan kita. Bukan lagi sekadar pencemaran lingkungan, mikroplastik adalah ancaman nyata dan kompleks terhadap kesehatan ekosistem dan manusia.
Jejak Mikroplastik Dari Daratan ke Lautan
Mikroplastik berasal dari dua jenis utama yaitu primer dan sekunder. Mikroplastik primer adalah partikel plastik yang secara khusus diproduksi dalam ukuran mikro, seperti microbeads pada produk kosmetik atau serat sintetis dari pakaian. Sedangkan mikroplastik sekunder terbentuk dari degradasi plastik berukuran besar, seperti kantong belanja, botol, jaring ikan, dan kemasan makanan.
Setiap tahun, dunia memproduksi lebih dari 400 juta ton plastik, dan sekitar 11 juta ton di antaranya mencemari laut menurut penelitian UNEP tahun 2022. Di Indonesia, pencemaran semakin mengkhawatirkan. Sungai-sungai besar seperti Citarum, Bengawan Solo, hingga Sungai Musi menjadi jalur utama limbah plastik menuju lautan.
Mengancam Kehidupan Laut
Begitu sampai di laut, mikroplastik tidak menghilang. Ia memasuki rantai makanan sejak dari plankton. Hewan-hewan kecil seperti zooplankton mengonsumsi partikel ini, lalu dimakan ikan kecil, ikan besar, hingga predator puncak, termasuk manusia. Menurut jurnal Science tahun 2020 lebih dari 114 spesies hewan laut telah diketahui mengandung mikroplastik, termasuk ikan konsumsi seperti makarel, tuna, cumi-cumi, dan udang. Di Indonesia, studi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB menunjukkan lebih dari 70% ikan tangkapan di Teluk Jakarta mengandung mikroplastik.
Krisis Mikroplastik di Laut Indonesia
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena tingginya konsumsi plastik sekali pakai dan kurangnya pengelolaan limbah yang efektif. Sri Dwi Hastuti, S.Pi., M.Aqua, dosen bidang perikanan Universitas Muhammadiyah Malang, menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia, yakni rata-rata 15 gram per orang per bulan, terutama dari seafood.
“Mikroplastik kini bukan hanya ditemukan di laut, tapi juga di sungai, bahkan lahan pertanian. Di Kali Surabaya, mikroplastik ditemukan dalam plankton, udang, dan kepiting air tawar,” ujar beliau.
Bahaya di Balik Ukurannya yang Kecil
Mikroplastik membawa zat beracun seperti logam berat, PCB, DDT, dan Bisfenol A (BPA). Racun ini masuk ke tubuh hewan laut, lalu ke manusia yang mengonsumsinya. Penelitian dari University of Newcastle tahun 2019 memperkirakan manusia rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 gram mikroplastik per minggu, setara berat sebuah kartu kredit.
Peneliti dari Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini, menegaskan bahwa limbah plastik tanpa pengelolaan memadai telah menyebarkan mikroplastik ke tanah, air, udara, bahkan produk konsumsi seperti ikan, daging, dan garam.
Efek Mikroplastik pada Kesehatan Manusia
Dampak mikroplastik terhadap manusia sangat serius. Penelitian bersama Greenpeace dan FKUI menemukan mikroplastik dalam darah, urin, dan feses partisipan, yang dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat. Dosen ahli menjelaskan bahwa mikroplastik dapat menyebabkan gangguan hormon, neurotoksisitas, kanker, bahkan peradangan kronis dan penurunan kekebalan tubuh jika terus-menerus dikonsumsi.
Penelitian dalam jurnal Environmental International tahun 2022 bahkan mendeteksi mikroplastik dalam plasenta bayi baru lahir, mengindikasikan paparan sejak dalam kandungan. Mikroplastik juga ditemukan dalam air kemasan, garam laut, dan udara yang kita hirup.
Rantai Makanan yang Terkontaminasi
Dampak mikroplastik merusak integritas rantai makanan laut. Selain menyebabkan gangguan kesehatan pada ikan, udang, kerang, dan hewan lainnya, kontaminasi ini juga mempengaruhi ekonomi dan ketahanan pangan.
Di sektor perikanan, penurunan kualitas dan nilai jual hasil tangkapan menjadi tantangan tersendiri. Beberapa nelayan di daerah pesisir seperti Banten dan Kalimantan Timur mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang menurun kualitasnya karena pencemaran laut. Lateks dan polikarbonat juga terdeteksi pada sampel ikan dari Teluk Jakarta. Jika dibiarkan, mikroplastik bisa memicu krisis pangan laut dan kepercayaan konsumen terhadap produk laut lokal.
Dari Dapur Rumah ke Kebijakan Negara
Penanganan mikroplastik harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Edukasi publik penting agar masyarakat berhenti menggunakan produk sekali pakai, sabun ber-microbeads, atau deterjen sintetis. Sri Dwi Hastuti, juga menambahkan, strategi lainnya termasuk menggunakan tas kain, wadah makanan stainless, serta teknologi filtrasi air minum untuk menyaring mikroplastik.
Di tingkat industri, dibutuhkan inovasi seperti bioplastik dan bahan alternatif. Pemerintah telah menetapkan target penghentian plastik sekali pakai pada 2029, namun pelaksanaannya masih penuh tantangan. Pemerintah telah menetapkan beberapa regulasi, seperti Permen LHK No. 75 Tahun 2019 dan Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang penanganan sampah plastik. Namun, pelaksanaannya sering terkendala oleh rendahnya kesadaran masyarakat dan kuatnya kepentingan industri plastik.
Peran Generasi Muda Menyelamatkan Laut
Generasi muda memiliki kekuatan dalam advokasi dan inovasi lingkungan. Sri Dwi Hastuti, menyoroti peran penting mereka dalam menyuarakan bahaya mikroplastik melalui kampanye media sosial, pengembangan teknologi daur ulang, hingga robot pembersih pantai. Selain itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sampah juga menjadi langkah nyata.
Laut bukan hanya sumber ikan dan wisata, tetapi juga penopang hidup miliaran manusia. Mikroplastik mencerminkan gaya hidup manusia yang tak selaras dengan alam. Jika dibiarkan, generasi mendatang mungkin hanya akan mengenal ikan dan terumbu karang lewat gambar.
Mikroplastik mungkin tak terlihat mata, tapi dampaknya nyata bagi laut, tubuh manusia, dan masa depan bumi. Mengubah pola konsumsi, memperkuat regulasi, dan melibatkan seluruh pihak adalah kunci melawan krisis mikroplastik.