
Geograph.id – Di balik hamparan hutan yang mulai menyusut dan tanah-tanah adat yang terus diperebutkan, berdirilah sosok-sosok kuat yang kerap luput dari sorotan: perempuan adat. Mereka bukan hanya penjaga bumi, tapi juga penjaga budaya, kehidupan, dan keberlanjutan. Namun di tengah krisis iklim dan laju pembangunan, suara mereka justru semakin dikecilkan, bahkan diabaikan.
Perempuan adat di berbagai wilayah Indonesia kini menghadapi ancaman berlapis: penggusuran, eksploitasi sumber daya alam, hingga tekanan sosial dan kultural yang membuat mereka terpinggirkan. Tanah leluhur mereka dirampas untuk pertambangan atau perkebunan skala besar. Pengetahuan tradisional yang selama ini turun-temurun menjadi pondasi kehidupan mereka dipaksa lenyap.
Kenyataan Pahit Perempuan Adat
Dikutip dari Green Network, sekitar 55% dari luas hutan Indonesia diprediksi akan musnah akibat ulah manusia, mulai dari pembakaran, pertambangan, hingga eksplorasi energi. Bencana ekologis ini tidak hanya berarti hilangnya pohon atau tanah, tapi juga lenyapnya ruang hidup wanita adat yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan.
Dalam pandangan Walter Fernandes dan G.S. Menon, perempuan adat memiliki peran sentral dalam perladangan berpindah, pengolahan hasil hutan, serta pelestarian alam. Dengan kata lain, ketika bumi dilukai, merekalah yang pertama kali merasakan perihnya. Sayangnya, dalam hampir semua keputusan penting tentang wilayah adat, perempuan adat jarang diajak bicara. Survei Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) mencatat 67,4% perempuan adat tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi pembangunan di tanah mereka sendiri.
Krisis iklim yang terjadi saat ini semakin memperparah ketimpangan. Kelompok paling rentan, termasuk perempuan adat, merasakan dampaknya paling dalam. Kekeringan, banjir, dan hilangnya biodiversitas langsung menyasar kehidupan mereka, tanpa mereka pernah benar-benar memiliki ruang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Keteguhan Perempuan Adat
Di balik kesenyapan dan penindasan itu, perlawanan terus tumbuh. Para perempuan di Gunung Kendeng membentuk pagar betis, rela memasung kaki mereka demi melindungi tanah-tanah leluhur. Di Papua, “mama-mama” di Kabupaten Keerom dengan tegas menolak perkebunan yang mencaplok tanah adat. Di Kalimantan, masyarakat Dayak Benawan berulang kali menolak larangan membakar lahan yang menjadi bagian dari kearifan lokal mereka.
Gerakan mereka bukan sekadar simbol, tetapi perlawanan nyata terhadap ketidakadilan. Meski ditekan dari berbagai sisi, oleh negara, perusahaan, bahkan sistem patriarki, mereka tetap bersuara. Harapan mereka hanya dilibatkan, dihormati, dan diakui hak-haknya. Mereka menuntut ruang inklusif, dukungan tulus dari berbagai pihak, serta pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari solusi atas krisis iklim, bukan penghalang pembangunan.
Mereka bukan hanya korban dari kehancuran lingkungan, mereka adalah pemimpin perubahan yang tangguh. Dunia perlu berhenti membungkam suara mereka, dan mulai belajar dari keberanian mereka menjaga bumi. Sebab di tangan mereka, masa depan yang lebih adil dan lestari masih mungkin diwujudkan.