Perjalanan Aeshnina Azzahra Menjadi Aktivis Lingkungan Muda Dunia

Nina, seorang aktivis lingkungan muda saat menghadiri INC-4 di Ottawa, Kanada. Gambar: Instagram @aeshnina

Geograph.id – Di usia 18 tahun, banyak remaja sibuk memikirkan ujian masuk kuliah atau tren terbaru di media sosial. Namun, berbeda halnya dengan Aeshnina Azzahra Aqilani, atau akrab disapa Nina, sang aktivis muda lingkungan. Remaja asal Gresik ini justru tengah sibuk berbicara soal krisis lingkungan ke panggung dunia, dari Ottawa hingga Amsterdam, dari Jakarta hingga Busan. 

Jejak Awal Sang Aktivis Muda

Bagi Nina, suara air sungai di masa kecil adalah kenangan yang melekat dalam. Sungai di dekat rumahnya di Gresik, Jawa Timur, dulu adalah tempatnya bermain dan menjelajah. Namun satu hari, yang ia lihat bukan lagi aliran jernih, melainkan tumpukan limbah plastik yang menyumbat aliran dan mencemari air.

Ia masih duduk di kelas empat SD saat hatinya terusik oleh pemandangan itu. Alih-alih diam, Nina memilih menulis surat kepada Bupati Gresik, menyampaikan keresahannya atas sungai yang tercemar. Surat itulah awal dari perjalanannya sebagai seorang aktivis lingkungan yang kini dikenal dunia.

Kini, di usianya yang ke-18, nama Nina telah dikenal hingga lintas benua. Ia bukan sekadar remaja biasa. Ia adalah suara lantang yang menyuarakan keprihatinan atas krisis lingkungan, bahkan di hadapan para pemimpin dunia. 

Perjuangan Nina tak lepas dari didikan orang tuanya. Ia tumbuh di tengah keluarga yang mencintai alam. Ayahnya, Prigi Arisandi, dan ibunya, Daru Setyorini, adalah pendiri ECOTON, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan yang berfokus pada pelestarian ekosistem air. Sejak kecil, Nina diajak menyusuri sungai, diajari melihat hubungan antara air, kehidupan, dan manusia, bahkan hingga hutan mangrove. 

Momen Menggugah Aktivis Muda

Salah satu momen paling menentukan dalam kesadaran lingkungan Nina adalah ketika ia diajak ke Desa Bangun, Mojokerto. Di sana, ia melihat gunungan sampah impor yang memenuhi desa. Sampah-sampah itu datang dari negara-negara Eropa dan Amerika yang dikirim dengan dalih ‘untuk didaur ulang’. Padahal kenyataannya, industri daur ulang di Indonesia belum mumpuni, banyak sampah justru dibakar atau mencemari lingkungan. Ia menyaksikan sendiri warga desa yang memilah sampah plastik tanpa alat pelindung, menghirup bau menyengat dari pembakaran limbah, dan hidup berdampingan dengan polusi.

Pengalaman itu meninggalkan luka sekaligus semangat di hati Nina. Ia tahu, diam bukan pilihan. Ia mulai mengunggah edukasi dan seruan lingkungan di akun Instagram pribadinya, @aeshnina. Tak hanya itu, ia membuat akun edukatif bernama Info Mistic yang secara konsisten membahas isu sampah plastik, polusi sungai, hingga bahaya mikroplastik yang tak kasatmata.

Nina bersama sang Ayah saat menyerukan aksi di Kanada. Gambar: Instagram @aeshnina

Suara Nina di Kancah Internasional

Langkah Nina pun semakin jauh. Ia menulis surat kepada Presiden AS saat itu, Donald Trump, menyuarakan keresahannya terhadap praktik ekspor sampah. Tak hanya itu, ia juga mengirim surat serupa ke Perdana Menteri Kanada, Australia, dan bahkan Uni Eropa.

Responnya? Positif. Para pejabat tersebut menerima dan mengapresiasi surat Nina. Di satu kesempatan, ia bahkan menyerahkan surat langsung kepada Kepala Delegasi Uni Eropa, mendesak agar mereka berhenti menjadikan Indonesia tempat pembuangan sampah dan mulai bertanggung jawab atas limbah mereka sendiri.

Dunia mulai mendengar. Tahun 2021, Nina diundang ke Amsterdam untuk berbicara di Plastic Health Summit. Ia menjadi pembicara termuda di antara para ahli lingkungan dan ilmuwan internasional. Ia berbicara tentang Sungai Brantas yang tercemar dan risiko mikroplastik terhadap tubuh manusia.

Nina di acara Plastic Health Summit. Gambar: Instagram @aeshnina

“Youth’s voices are so powerful and impactful. We have the right to speak up and to be heard. So, don’t be afraid to express yourself and fight for the planet.” – Aeshnina Azzahra

Kiprah dan Konsistensi Nina

Tahun berikutnya, ia mengarungi dunia menuju Shaw Centre di Ottawa, Kanada, untuk menyuarakan aksinya bersama para aktivis senior. Semua itu tak membuatnya gentar, justru memperkuat suaranya. Perjalanannya tersebut kerap ia abadikan dalam akun Instagramnya. 

Pada akhir 2023, Nina mewakili Indonesia di Global Plastic Treaty di Busan, Korea Selatan. Di forum itu, ia bicara langsung tentang pentingnya regulasi plastik global dan dampak limbah impor terhadap kesehatan masyarakat. Ia berbicara sebagai delegasi muda, tapi pesannya jelas dan kuat. 

Tak hanya itu, Nina juga pernah diundang ke Inggris untuk menghadiri United Nations Climate Change Conference (COP26). Di sana, sebuah film dokumenter yang dibintanginya diputar di hadapan peserta konferensi dari seluruh dunia. Dokumenter tersebut menampilkan perjuangannya dalam memperjuangkan sungai yang lebih bersih dan keadilan lingkungan bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Januari 2025 lalu, Nina menerima penghargaan Youth Climate Warrior dari IDN Times, sebuah pengakuan atas kiprahnya yang luar biasa sebagai aktivis muda yang tak hanya vokal, tapi juga konsisten dan berdampak. Ia juga aktif menjadi relawan, kerap hadir dalam talkshow, dan terus terlibat dalam penelitian mikroplastik bersama tim ECOTON.

Hari ini, di usianya yang masih belia, Nina menjadi simbol harapan bahwa perubahan tidak selalu datang dari mereka yang berkuasa, tapi bisa muncul dari anak muda yang punya keberanian untuk bersuara. 

Ia adalah pengingat bahwa menjaga bumi bukan tugas satu generasi saja, tetapi tanggung jawab kita semua. Dari sebuah sungai kecil di Gresik, suara Nina kini mengalir ke seluruh dunia.

 

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *