Geograph.id – Kehidupan merupakan suatu nikmat yang Tuhan berikan pada makhluknya, setiap makhluk yang Tuhan ciptakan tidak dapat diintervensi oleh makhluk lain, namun seringkali tangan-tangan nakal merenggut sumber kehidupan kemudian tak bertanggung jawab. Alam yang sudah Tuhan ciptakan sebagai sumber kehidupan, terkadang hanya memberi sumber kehidupan kepada konglomerat dan memberi kematian bagi masyarakat.
Alam sebagai sumber kehidupan kadang kala menimbulkan petaka, faktornya bukan hanya kejadian alami namun yang lebih parah justru datang dari manusianya sendiri.
Kabupaten Lamongan memiliki bentang alam yang unik, pada bagian selatan merupakan pegunungan kapur yang masih termasuk dalam Pegunungan Kendeng, sejajar dengan itu di daerah utara pula memiliki pegunungan kapur yang terbentang hingga ke kabupaten Blora dan Pati, dengan kedua pegunungan kapur tersebut membentuk sebuah cekungan pada tengah kabupaten Lamongan.
Kerusakan alam tentu bisa datang dari mana saja, tak terkecuali tangan-tangan nakal manusianya sendiri. Ekskavator dan truk-truk berat dikerahkan untuk mengeruk gunung kapur menuju kantong masing-masing pecundang. Pecundang ialah mereka yang merusak lingkungan hanya untuk kepentingan perut sendiri dan keluarganya. Melihat potensi gunung kapur Lamongan yang besar, tangan jahil pun datang dan masyarakat tak bisa menghindar, hingga hari ini penambangan masih masif terjadi, mereka yang hidup di sisi gunung kapur tak kuasa terdampak polusi.
Pada 2018, masyarakat desa Weru dan sekitarnya terkena dampak polusi yang dihasilkan oleh PT. Galatta Lestarindo yang berlokasi di desa Banyutengah, Gresik. Antara desa Weru dan lokasi perusahaan pertambangan gunung kapur tersebut hanya berjarak 1 kilometer ke utara, masyarakat merasa dirugikan dengan debu pengolahan kapur yang masuk ke paru-paru mereka, mereka memprotes pengolahan pabrik dan meminta kepala desa untuk menuntut perusahaan tambang tersebut.
Gunung Kapur Lamongan
Kegiatan penambangan gunung kapur di Kabupaten Lamongan tak hanya menimbulkan polusi, namun juga kerusakan jalan hingga tercemarnya kebun-kebun jagung dan singkong masyarakat sekitar.
Masyarakat pesisir Weru dan sekitarnya dulu menggunakan penanda Gunung Kapur di selatan desa mereka sebagai “ancer-ancer” untuk bersandar ke daratan. Namun semenjak masifnya pertambangan, lambat laun gunung tersebut hilang dan menjadi cekungan bekas galian tambang batu kapur.
Karena skala pertambangan yang cukup kecil dibanding dengan tambang lain seperti timah atau emas, pertambangan batu kapur seringkali dianggap kurang serius. Padahal dampak dari pertambangan batu kapur cukup merugikan masyarakat sekitar. Tak hanya pada proses penambangannya, bekas tambang batu kapur juga merugikan masyarakat setempat. Bekas galian tambang bisa saja menimbulkan longsor sewaktu-waktu dan tentu sangat merugikan masyarakat.
Sebagai contoh, bekas tambang batu kapur yang saat ini dijadikan objek wisata berada di Setigi, desa Sekapuk kecamatan Panceng, Gresik. Area bekas galian kapur yang kini dijadikan wisata buatan. Namun dibalik keindahannya yang semu, wisata dengan landscape tebing-tebing tinggi ini rawan mengakibatkan longsor sehingga tentu saja berbahaya bagi wisatawannya.
Sudah sangat jelas, dibalik kokohnya gunung kapur yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi manusia, tersimpan banyak keresahan masyarakat sekitar aktivitas pertambangan gunung kapur. Kehendak untuk menentukan takdir memang datang dari Tuhan yang Maha Kuasa. Namun, takdir juga akan sejalan dengan apa yang dilakukan manusianya. Aktivitas pertambangan gunung kapur yang menguntungkan “mereka” akan menjadi petaka bagi masyarakat sekitarnya.