
Geograph.id – Ketika membicarakan dampak perubahan iklim, banyak orang cenderung memikirkan banjir, kekeringan, atau suhu yang ekstrem. Namun, satu konsekuensi yang sering terabaikan adalah peningkatan populasi tikus di kota-kota besar. Di Indonesia, fenomena ini mulai menarik perhatian serius karena hewan tersebut tidak hanya dianggap sebagai hama, tetapi juga sebagai pembawa penyakit yang berbahaya. Di berbagai lokasi seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar, keberadaan tikus semakin meningkat. Dari pasar tradisional hingga kawasan pemukiman yang padat, tikus tampak berkeliaran dengan bebas, terutama pada malam hari. Masalah ini tidak dapat dianggap remeh lagi karena berkaitan langsung dengan kesehatan, sanitasi, dan kenyamanan hidup masyarakat perkotaan.
Mengapa Tikus Mudah Berkembang di Perkotaan?
Tikus merupakan hewan yang sangat cepat beradaptasi dengan lingkungan manusia. Kota-kota besar menyediakan banyak sumber makanan, mulai dari sisa makanan di tempat sampah, limbah pasar, hingga kotoran di saluran air terbuka. Selain itu, banyaknya bangunan tua, gorong-gorong, dan celah di dinding rumah menjadi tempat berlindung yang ideal bagi hama tersebut. Di Indonesia, musim panas yang lebih panjang dan suhu udara yang meningkat akibat perubahan iklim memberikan tikus lebih banyak waktu untuk mencari makan dan berkembang biak. Dalam kondisi yang menguntungkan, seekor tikus betina dapat melahirkan puluhan anak dalam setahun. Tanpa pengendalian yang efektif, jumlahnya dapat meningkat secara drastis dalam waktu singkat.
Tikus dan Urbanisasi yang Tidak Terkelola
Pertumbuhan pesat kota-kota besar tanpa perencanaan sanitasi yang baik merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya populasi tikus. Di berbagai daerah, pengelolaan sampah masih dilakukan secara manual dan sering kali terlambat. Penumpukan sampah rumah tangga menjadi sumber makanan yang ideal bagi hama tersebut. Urbanisasi yang tidak terencana juga menghasilkan pemukiman kumuh dengan fasilitas sanitasi yang buruk. Dalam kondisi seperti ini, tikus berkembang biak dengan cepat, sulit untuk dikendalikan, dan sering kali tidak menjadi prioritas dalam agenda penataan kota.
Salah satu contoh nyata terjadi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Hama ini dilaporkan sering mengejar pengunjung, dan sampah berserakan di banyak tempat. Kondisi ini merusak citra proyek besar tersebut. Meskipun pembangunan infrastruktur terus berjalan, pengelolaan sanitasi dan limbah yang kurang baik menyebabkan populasi tikus melonjak. Hal ini tentu mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat.
Ancaman Nyata bagi Kesehatan Masyarakat
Bukan hanya sekadar hewan pengganggu, tetapi juga pembawa berbagai patogen yang berbahaya bagi manusia. Salah satu penyakit yang sering ditularkan oleh tikus adalah leptospirosis, yang menyebar melalui urin tikus yang mencemari air atau tanah, terutama saat banjir terjadi di daerah padat penduduk. Gejalanya dapat bervariasi dari yang ringan seperti demam dan nyeri otot, hingga yang parah yang dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, bahkan kematian. Selain itu, tikus juga dapat menularkan penyakit lain seperti tifus, salmonellosis, dan pes jika tidak ditangani dengan baik.
Butuh Strategi Pengendalian yang Terpadu
Mengatasi masalah populasinyadi kota memerlukan lebih dari sekadar metode pembasmian yang sporadis. Diperlukan pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan. Kota-kota besar di Indonesia harus mulai mengembangkan sistem pemantauan populasi tikus yang berbasis data, melibatkan masyarakat dalam pelaporan, serta memperbaiki sistem sanitasi kota. Edukasi publik juga sangat penting. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa menjaga kebersihan lingkungan bukan hanya untuk kenyamanan, tetapi juga untuk mencegah pertumbuhan tikus dan penyakit yang mereka bawa. Peningkatan populasi tikus dapat menjadi indikator bahwa suatu kota belum dikelola dengan baik dalam hal kebersihan dan sanitasi. Hama ini adalah makhluk oportunis yang memanfaatkan setiap celah dalam sistem perkotaan kita. Jika tidak segera ditangani, mereka dapat menjadi bagian dari krisis kesehatan lingkungan yang lebih besar.
Saat ini, merupakan waktu bagi pemerintah kota, pengelola lingkungan, dan masyarakat untuk berkolaborasi dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan. Sebuah kota yang bersih tidak hanya akan terbebas dari keberadaannyatetapi juga akan menjadi tempat tinggal yang lebih layak, sehat, dan manusiawi.