
Geograph.id – Di negeri yang sepanjang tahun disinari matahari dan dikelilingi angin sepoi, jutaan rumah masih bergantung pada listrik dari batu bara. Padahal, bumi Indonesia menyimpan kekayaan energi baru terbarukan (ETB) yang bisa jadi kunci menghadapi krisis energi global.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Indonesia memiliki potensi energi terbarukan lebih dari 3.600 gigawatt, namun baru sekitar 0,3% yang dimanfaatkan. Angka ini menunjukkan betapa besar jurang antara potensi dan realisasi energi hijau di negeri ini.
Potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia
Potensi terbesar energi baru terbarukan berada pada tenaga surya. Letak geografis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa membuat negeri ini mendapatkan paparan sinar matahari sepanjang tahun. Bahkan di beberapa daerah, seperti Sumba, Nusa Tenggara Timur, energi matahari sudah mulai dimanfaatkan lewat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala kecil untuk menopang kebutuhan listrik rumah tangga dan fasilitas umum.

Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki kekuatan dari perut bumi melalui panas bumi (geothermal). Cadangan panas bumi Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, dengan potensi sekitar 24 GW. Wilayah yang dilalui jalur Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) seperti Sumatera, Jawa, Bali, hingga Sulawesi. Wilayah ini menyimpan sumber energi panas bumi yang stabil dan ramah lingkungan. Dan kini mulai dimanfaatkan lewat sejumlah pembangkit listrik, seperti di Dieng, Kamojang, hingga Lahendong.
Selain panas bumi dan matahari, kekuatan angin juga hadir sebagai peluang energi ramah lingkungan. Kawasan seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan pesisir selatan Pulau Jawa menjadi daerah dengan kecepatan angin yang stabil, sangat cocok untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Salah satu bukti nyatanya adalah PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan, yang telah beroperasi sejak 2018 dan menjadi pembangkit tenaga angin pertama berskala besar di Indonesia.

Selain itu, energi air melalui sungai-sungai besar seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Papua menyimpan kapasitas besar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terakhir, bioenergi yang berasal dari limbah pertanian, limbah kelapa sawit, bahkan sampah organik, bisa diolah menjadi sumber listrik maupun bahan bakar nabati.
Langkah Pemerintah Kembangkan Energi Baru Terbarukan
Dilansir dari ESDM, pemerintah Indonesia sedang berupaya mengembangkan Energi Baru Terbarukan. Saat ini pengembangan EBT mengacu kepada Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi Bahan Bakar Nabati sebesar 5%, Panas Bumi 5%, Biomasa, Nuklir, Air, Surya, dan Angin 5%, serta batubara yang dicairkan sebesar 2%.
Untuk itu langkah-langkah yang akan diambil pemerintah adalah menambah kapasitas terpasang. Antara lain Pembangkit Listrik Mikro Hidro menjadi 2,846 MW pada tahun 2025. Kapasitas terpasang Biomasa 180 MW pada tahun 2020. Kapasitas terpasang angin (PLT Bayu) sebesar 0,97 GW pada tahun 2025, surya 0,87 GW pada tahun 2024, dan nuklir 4,2 GW pada tahun 2024. Total investasi yang diserap pengembangan EBT sampai tahun 2025 diproyeksikan sebesar 13,197 juta USD.
Kekayaan energi baru terbarukan Indonesia adalah harta karun yang menunggu untuk digali dengan bijak. Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, negeri ini tak lagi dikenal hanya sebagai negara penghasil batu bara, melainkan sebagai pemimpin dunia dalam inovasi energi hijau.
Kini tinggal pertanyaan besar yang menggantung di udara: kapan harta karun ini benar-benar dimanfaatkan untuk masa depan energi Indonesia?