
Geograph.id– Sebuah cuitan akun auto base anonim yang membagikan tips untuk meminta spare food saat di pesawat tiba-tiba viral dan jadi diskursus warga X (dulunya Twitter). Di satu sisi, ada yang menganggap itu sebagai bentuk kejelian dalam menghindari pemborosan makanan. Di sisi lain, ada yang menilainya sebagai tindakan memalukan yang mencoreng citra orang Indonesia di mata dunia.
Batas Antara Life Hack dan Etika
Berawal dari unggahan seseorang yang membagikan tip untuk meminta spare food saat penerbangan, warganet pun terpecah. “Kalau kalian masih ngerasa laper di pesawat, tanyain ke pramugarinya apakah ada leftover food. FYI aku dikasih tau pramugari, makanan pesawat yg ga kemakan akan dibuang saat sampe, daripada jadi food waste mending dimakan kan?” adalah bunyi cuitan yang kemudian memantik diskursus hangat.
Banyak netizen yang turut membagikan pengalaman mereka yang sama dan ikut menganjurkan kepada orang lain agar tidak sungkan untuk meminta kepada awak kabin. Namun, beberapa netizen menyebut perilaku itu “memalukan” dan “norak.” Bahkan ada yang menulis, “…. Uda passport lemah, jgn sampe indo terkenal juga gara2 doyan craving leftover gini.”
Pertanyaannya kemudian menggelinding menjadi diskursus etika: apakah meminta makanan tambahan berarti tidak sopan?
Suara Cabin Crew: dengan Senang Hati Kami Beri Makanan Lebih
Menariknya, banyak cabin crew justru angkat bicara dan mendukung kebiasaan ini. Menurut mereka, makanan yang tidak terbagi akan dibuang ketika pesawat mendarat. Jadi, jika ada penumpang yang meminta dan masih tersedia, mereka dengan senang hati memberikannya.
Bagi mereka daripada makanan berakhir dibuang, lebih baik diberikan ke penumpang yang butuh. Selama meminta dengan sopan pasti akan dilayani sepenuh hati. Hal ini juga diamini oleh beberapa penumpang frequent flyer. Mereka merasa bahwa tindakan tersebut dapat sedikit membantu mengurangi masalah food waste.
Sampah Makanan di Balik Langit
Mungkin yang tidak banyak orang sadari, industri penerbangan menjadi salah satu penyumbang besar food waste global. Menurut International Air Transport Association (IATA), maskapai penerbangan menghasilkan lebih dari 5,7 juta ton limbah makanan per tahun, sebagian besar berasal dari makanan tak tersentuh oleh penumpang.
Makanan yang disiapkan dengan sistem bulk catering memiliki kelebihan stok sebagai standar keamanan. Namun jika makanan tersebut tidak dibagikan atau dikonsumsi, maka akan dibuang begitu saja karena alasan higienitas.
Di sinilah letak ironi: saat sebagian orang enggan meminta makanan tambahan karena takut dianggap “malu-maluin,” sebagian lain justru melihat peluang untuk mengurangi pemborosan.
Standar Ganda dan Beban Moral Sosial
Diskursus ini pun membuka luka lama tentang inferioritas sosial dan beban citra nasional. Seolah-olah, tindakan seseorang dalam penerbangan harus selalu mempertimbangkan “apa kata orang,” khususnya orang asing. Jika itu seorang turis asing yang minta akan dianggap berani. Tapi di mata saudara setanah air kalau warga sendiri yang meminta akan dicap memalukan. Aneh kan? Ada standar ganda yang tak kasat mata, di mana tindakan kecil yang berniat baik justru dipelintir sedemikian rupa.
Hidup seolah setiap tindak-tanduk kita sedang membawa reputasi 270 juta jiwa, padahal kenyataannya: kita bukan pusat perhatian dunia. Penumpang dari negara lain juga melakukan hal serupa dan tidak ada yang meributkan. Selama tidak mengganggu, memaksa, atau melanggar aturan penerbangan, permintaan sopan untuk makanan tambahan bukan aib nasional. Justru rasa malu berlebihan inilah yang seharusnya dipertanyakan.
Perdebatan ini seharusnya tidak berhenti pada siapa yang benar dan salah, tapi pada bagaimana kita bisa membangun budaya sopan dan berdaya secara bersamaan. Minta makanan tambahan bukanlah kejahatan. Justru, selama dilakukan dengan sopan dan tanpa paksaan, itu bisa menjadi bentuk aksi sadar lingkungan. Daripada membuang nasi, daging, dan roti ke tong sampah, kenapa tidak memberikannya kepada penumpang yang masih lapar?
Mencontoh Luar Negeri
Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, kesadaran akan food waste telah melahirkan berbagai inovasi. Aplikasi seperti Too Good To Go memungkinkan masyarakat membeli makanan mendekati masa kedaluwarsa dari toko, restoran, hingga hotel dengan harga lebih murah. Tujuannya bukan sekadar hemat, tapi mengurangi limbah makanan dan jejak karbon.
Bayangkan jika mentalitas seperti ini ditanamkan secara luas, bukan hanya di darat, tapi juga di udara. Maskapai penerbangan bisa mulai mempertimbangkan sistem distribusi makanan sisa secara bijak, bukan langsung buang. Dan penumpang yang sadar akan isu ini seharusnya mendapat apresiasi, bukan cibiran.
Saat “Malu” Menghalangi Aksi Baik
Dari perdebatan ini, kita melihat bagaimana rasa malu yang salah tempat bisa membuat kita tertinggal jauh dari solusi konkret yang sudah dijalankan di luar negeri. Di era krisis iklim dan kelaparan global, menghindari food waste seharusnya jadi kebiasaan, bukan sesuatu yang dipermalukan. Meminta makanan tambahan di pesawat, selama dilakukan dengan empati dan etika, bukan hanya soal kenyang, tapi juga soal menghargai sumber daya. Jika kita menahan diri dari tindakan baik seperti mencegah pemborosan makanan hanya karena takut dinilai “kurang ajar,” bukankah kita sedang mempertahankan bentuk kesopanan yang justru menghambat kemajuan?
Budaya sopan santun itu penting, tetapi tidak boleh mengorbankan keberanian untuk peduli. Sudah saatnya kita membuang rasa malu yang keliru dan menggantinya dengan keberanian untuk bersikap bijak. Karena menyelamatkan makanan dari sampah bukan hanya tindakan cerdas, tapi juga sebuah langkah kecil menuju dunia yang lebih adil.