
Geograph.id – Di balik rekor penjualan 80 juta album K-pop tahun 2023, tersembunyi gunungan sampah album yang tak terlihat. Album-album fisik tak terbuka yang berakhir di tempat pembuangan, dibuang setelah fans mengambil photocard langka di dalamnya. Industri yang menggantungkan profit pada strategi “beli banyak untuk dapat kartu acak” ini menghasilkan limbah ribuan ton setiap tahun. Sementara klaim ramah lingkungan perusahaan hanyalah ilusi ketika mereka tetap memproduksi 4-5 versi berbeda untuk satu comeback.
Wajah Lain Hallyu Wave
Inilah wajah lain dari demam K-pop, sebuah budaya konsumsi berlebihan yang dipicu oleh obsesi akan photocard, kartu foto acak anggota grup yang menjadi barang koleksi bernilai tinggi. Fans rela membeli 10-20 kopi album yang sama hanya untuk mendapatkan versi photocard langka, sementara album fisiknya sendiri berubah menjadi sampah yang tak diinginkan. Sebagai contoh, sebuah photocard Jungkook BTS edisi limited bisa dijual seharga Rp12 juta, sementara album yang membuatnya hanya bernilai Rp300 ribu. Inilah ekonomi absurd yang mendorong fans membeli album bukan untuk musiknya, melainkan sebagai “tiket lotre” mendapatkan member favorit.
Sistem random dan variasi versi album menjadikan perilaku pembelian sebagai bentuk lotre terselubung. Fans tidak membeli satu album untuk mendengar lagu, tetapi puluhan demi meningkatkan peluang mendapatkan photocard bias mereka, atau sekadar mengoleksi semua versi. Ini bukan konsumsi karena kebutuhan, tapi karena skema yang sengaja didesain untuk menciptakan kelangkaan, urgensi, dan kecemasan sosial bila “tidak punya semua”.
Bukan rahasia bahwa album fisik yang tidak terpakai kerap dijual kembali tanpa CD, hanya menyisakan photocard-nya saja. Bahkan lebih ekstrem, di beberapa komunitas daring, para penggemar terang-terangan mengaku membuang album yang tidak diinginkan. Yang dicari bukan musik, tapi status koleksi. Tren ini bahkan memiliki istilahnya sendiri di kalangan fandom, seperti album dumping, bulk buying, atau photocard-only sale.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kapitalisme budaya K-pop bisa mengaburkan batas antara cinta dan konsumerisme. Para penggemar, yang semula ingin mendukung idolanya, justru terjebak dalam siklus pembelian tak berkesudahan.
Photocard Dikoleksi dan Album Jadi Sampah
Di tengah era digital, musik K-pop dapat diakses dengan mudah di berbagai platform streaming. Namun ironisnya, penjualan album fisik justru melonjak. Di balik kegembiraan fans yang memborong puluhan album demi photocard, ada realitas yang lebih sunyi namun mencolok. Tumpukan album yang tak dibuka, dijual tanpa isinya, atau lebih buruk, dibuang begitu saja.
Sebuah investigasi terbaru mengungkap bahwa setiap album dirancang dengan material kompleks – mulai dari plastik PVC, kertas berlapis metalik, hingga lem khusus – yang justru membuat sampah album mustahil didaur ulang secara konvensional. Ironisnya, di era dimana 92% fans lebih memilih streaming musik, CD yang menjadi komponen utama album justru berakhir sebagai barang yang paling tidak terpakai.
Fakta memilukan terungkap dari laporan Korea Waste Association 2023, dimana pabrik daur ulang di Incheon terpaksa menolak 70% album K-pop karena materialnya terlalu kompleks. Setiap comeback besar yang menghasilkan 1 juta album fisik ternyata menyumbang sekitar 300 ton sampah – setara dengan limbah yang dihasilkan 50 rumah tangga selama setahun penuh. Bahan-bahan mewah seperti stiker hologram justru membutuhkan proses daur ulang khusus yang menghasilkan emisi karbon lebih tinggi dibanding material biasa.
Yang lebih mengkhawatirkan, tren edisi eksklusif justru semakin memperburuk keadaan. Album limited edition yang menggunakan plastik jenis PET-G yang tidak bisa terurai secara alami, sementara kemasan mewah dari beberapa grup K-pop mengandung mikroplastik berbahaya yang berpotensi mencemari tanah. Stiker hologram seperti pada album NewJeans yang diminati kolektor ternyata menyimpan kandungan logam berat berbahaya jika dibuang sembarangan. Di pusat daur ulang Seoul, tumpukan album K-pop yang menggunung menjadi saksi bisu. Hanya 20% materialnya yang bisa dipisahkan untuk didaur ulang, selebihnya terpaksa dibakar dan melepaskan dioksin beracun ke atmosfer.
Klaim Eco Friendly Album K-pop oleh Perusahaan
Seiring dengan meningkatnya kesadaran lingkungan global, industri K-pop pun mulai merespons. Beberapa agensi dan grup mulai merilis album yang disebut “ramah lingkungan.” Kemasan tanpa plastik, penggunaan kertas daur ulang, atau pengurangan elemen non-esensial menjadi poin jual baru yang terdengar menjanjikan. Namun dibalik itu, muncul pertanyaan, benarkah ini bentuk tanggung jawab lingkungan, atau sekadar narasi hijau untuk melapisi praktik lama?
Salah satu contoh yang sering disebut adalah mini album debut ILLIT yaitu “SUPER REAL ME” akan menjadi album pertama yang menggunakan bahan tersebut lalu diteruskan ke grup-grup lainnya. HYBE akan membuat album Weverse dengan bahan materialnya ramah lingkungan yaitu bahan daur ulang dan biodegradable, hingga sebut photocard dapat larut dengan baik di air.
Eco Friendly yang Ternyata Hanya Sekedar Klaim
Di tengah gelombang kritik tentang limbah album, industri K-pop mulai bersolek dengan jargon-jargon ramah lingkungan. Namun bila ditelisik lebih dalam, janji-janji hijau ini lebih sering berakhir sebagai greenwashing, pencitraan lingkungan yang menyesatkan.
Fakta-fakta berbicara lebih keras daripada press release perusahaan. Investigasi dari Greenpeace mengungkapkan 30-40% kemasan “ramah lingkungan” di industri K-pop masih menggunakan plastik multilayer .Album yang diklaim ramah lingkungan itu masih menggunakan plastik multilayer pada pembungkus photocard-nya. Sementara Weverse Albums dari HYBE, meski tanpa CD, tetap diproduksi dalam berbagai versi dengan photobook mewah yang menggunakan kertas berlapis bahan kimia.
Semuanya semakin jelas saat melihat angka produksi. Meski mengeluarkan edisi hijau, SM Entertaiment justru meningkatkan variasi versi album aespa dari 3 menjadi 5 jenis dalam sekali comeback. Data Circle Chart menunjukkan total penjualan album fisik malah naik 18% pada 2023. Ini artinya lebih banyak sampah yang dihasilkan, bukan berkurang.
Greenwashing dalam industri K-pop muncul bukan hanya dari kemasan yang sedikit berubah, tapi dari narasi yang dipoles sedemikian rupa agar terdengar progresif. Album disebut ramah lingkungan tanpa transparansi soal rantai produksi, distribusi logistik, atau nasib akhir dari produk yang tidak dikoleksi. Bahkan penggunaan kertas daur ulang bukan jaminan bahwa proses produksinya bebas emisi atau tidak menyisakan limbah baru.
Hijau di Permukaan, Sampah Album di Balik Layar
Dalam budaya fandom yang dibentuk oleh eksklusivitas dan kelangkaan, keberadaan album “eco–friendly” sering kali justru memperkuat alasan untuk membeli lebih banyak. Alih-alih mengubah pola konsumsi, pendekatan ini hanya membuat konsumsi itu terasa lebih bisa dimaklumi. Padahal dampaknya tetap sama, jika tidak lebih buruk karena ditutupi oleh klaim palsu.
Industri hiburan, sebagaimana industri lainnya, harus dihadapkan pada tanggung jawab nyata terhadap lingkungan. Mengurangi kemasan hanyalah langkah kecil. Langkah besar sesungguhnya adalah meninjau ulang seluruh sistem produksi, distribusi, dan terutama budaya pemasaran yang mendorong overconsumption. Jika tidak, maka klaim keberlanjutan hanya akan menjadi lapisan hijau di atas tumpukan sampah yang terus membesar.