
Geograph.id – Tepat satu bulan yang akan datang, dunia akan merayakan Hari Mangrove Sedunia, tak terkecuali negeri kita tercinta, Indonesia.
Hari Mangrove Sedunia ditetapkan oleh UNESCO pada 2015 silam, hal ini didasari akan pentingnya kelestarian mangrove sebagai ekosistem yang mewadahi berbagai makhluk hidup. Hutan mangrove telah berperan penting untuk menjaga kelestarian berbagai macam jenis kepiting pantai dari kepunahan.
Bukan hanya bagi kepiting, namun bagi manusia hutan mangrove juga sangat penting. Bagi sebagian orang mangrove memang tak memiliki arti, namun dalam satu akar mangrove, juga tertanam doa doa mereka yang terancam dari ancaman abrasi.
Hutan mangrove adalah benteng pantai dari ancaman abrasi yang disebabkan oleh ombak. Hutan mangrove mampu memecah ombak yang besar yang mampu melarutkan pasir pantai menjadi ombak yang tenang.
Indonesia adalah negara agraris yang memiliki kurang lebih 54.716 km garis pantai, tentu dengan garis pantai sepanjang itu abrasi merupakan ancaman yang besar bagi pantai Indonesia. Dengan garis pantai sepanjang itu pula, puluhan juta masyarakat kita menggantungkan hidupnya pada pantai.
Hutan mangrove merupakan solusi yang tepat untuk masalah abrasi, data 2021 mencatat luas hutan mangrove di Indonesia mencapai angka 3,36 juta hektar. Namun dengan angka sebesar itu, deforestasi hutan mangrove Indonesia juga tak kalah besar angkanya. Sekitar 800.000 hektar luas hutan mangrove hilang akibat deforestasi selama 30 tahun terakhir.
Deforestasi hutan mangrove di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti alih fungsi lahan ke lahan sawit atau tambak, pembakaran hutan mangrove untuk dijadikan arang, hingga menjadi perladangan ilegal.
Masalah Tahunan Setiap Hari Mangrove Sedunia
Alih fungsi hutan mangrove tersebut menimbulkan beberapa konflik lahan antara mafia lahan dengan masyarakat sekitar pantai yang mengharap hidup dari hutan mangrove. Beberapa konflik yang terjadi bahkan sampai berakhir di bui atau bahkan tak bernyawa.
Di pulau Sumatra tepatnya di desa Kwala Langkat kabupaten Langkat, masyarakat harus berkonflik dengan para mafia-mafia lahan yang akan mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi perkebunan sawit.
Masyarakat yang menolak keras hal tersebut justru dipersekusi dan berakhir dibui. Hingga sampai saat ini seorang aktivis, Ilham Mahmudi dan beberapa warga lain masih berada dalam tahanan Polda Sumut.
Sementara di pulau Kalimatan, ribuan hektar hutan mangrove akibat pembakaran hutan unntuk dijadikan arang. Arang-arang tersebut diekspor ke berbagai negara seperti China, Jepang hingga negara-negara Eropa.
Padahal hutan mangrove tersebut telah menjadi rumah bagi puluhan satwa langka endemik pulau Kalimantan. Ironi ini terjadi akibat dilemma krisis ekonomi masyarakat sekitar hutan mangrove di Batu Ampar, Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Persoalan mangrove semacam ini tidak hanya terjadi di Kwala Langkat dan Batu Ampar saja. Setiap daerah memiliki masalah yang sama dengan ancaman deforestasi hutan mangrove dan abrasi. Harapannya konflik sosial-ekologi atau semacamnya bisa hilang dari negeri ini. Terutama pada masyarakat sekitar mangrove yang sudah menanam harapan hidupnya pada masing-masing akar mangrove.