Satu Photocard, Seribu Sampah: Realita Konsumsi K-pop

sampah album k-pop
Tumpuka sampah album grup K-pop. Gambar: Kpopchart

Geograph.id – Tangan-tangan bersemangat merobek plastik bening dengan hati berdebar. Satu per satu album K-pop dibuka, isinya dicek dengan saksama. Tak peduli lagunya bisa didengar di semua platform digital, album fisik tetap diburu demi satu benda kecil: photocard sang idola. Jika kartu itu bukan yang diincar, album ditumpuk. Kalau sudah terlalu banyak, dijual murah tanpa CD. Atau lebih buruk, dibuang begitu saja. Di balik kilauan Hallyu Wave yang membanggakan, ada sisi gelap yang jarang dibicarakan. Gunungan sampah dari industri K-pop yang semakin menumpuk, semuanya atas nama cinta dan koleksi.

Hallyu Wave 

Dalam dua dekade terakhir, gelombang Hallyu atau Korean Wave telah menjadikan K-pop sebagai kekuatan budaya global yang tak terbantahkan. Grup-grup seperti BTS, BLACKPINK, SEVENTEEN, dan Stray Kids tidak hanya mendominasi tangga lagu internasional, tetapi juga menciptakan komunitas penggemar yang sangat loyal di seluruh dunia. Di Indonesia, misalnya, konser K-pop selalu disambut antusias, dan merchandise resmi maupun tidak resmi laris manis di pasaran.

Namun, di balik euforia ini, terdapat sisi lain yang jarang disorot, dampak lingkungan dari budaya konsumsi yang menyertai popularitas K-pop. Salah satu aspek yang paling mencolok adalah penjualan album fisik. Meskipun era digital telah mengubah cara kita mendengarkan musik, penjualan album fisik K-pop justru mengalami peningkatan signifikan. Menurut data dari Circle Chart, penjualan album fisik K-pop di Korea Selatan mencapai lebih dari 74,2 juta unit pada tahun 2022, meningkat hampir dua kali lipat dari 57 juta unit pada tahun 2021.

Sampah Menggunung di Balik Gemerlap Kpop

Data dari Circle Chart tahun 2023 menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Data tersebut menunjukkan, rata-rata penggemar K-pop membeli 3,2 salinan album yang sama, jauh lebih tinggi dibandingkan industri musik global lainnya. Angka ini melonjak drastis untuk grup-grup top seperti BTS dan BLACKPINK, di mana fans kerap membeli 10 hingga 20 salinan sekaligus. Alasannya sederhana, sistem photocard acak yang membuat peluang mendapatkan member favorit seperti undian berhadiah.  

Perusahaan hiberman punya rumus rahasia. Setiap album dirilis dalam berbagai versi. Edisi reguler, edisi terbatas, versi platform tertentu. Tentu saja dengan photocard eksklusif yang berbeda. SM Entertainment, misalnya, merilis album aespa “MY WORLD” dalam 14 varian kemasan berbeda. Strategi ini terbukti manjur. 

Namun, euforia penjualan ini menyimpan dampak lingkungan yang jarang dibahas. Sebuah studi oleh Greenpeace Asia Timur pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa produksi album K-pop menyumbang 58.000 ton sampah kemasan setiap tahun. Yang lebih memprihatinkan, 85% bahan kemasan ini menggunakan plastik PVC dan lapisan metalisasi yang sulit didaur ulang. 

Jejak Karbon Tak Kasat Mata dari Produksi Album 

Di balik desain menarik dan kemasan penuh warna dari setiap album K-pop, tersembunyi proses industri yang menyisakan jejak karbon tak kecil. Mulai dari produksi bahan baku seperti plastik dan kertas, proses pencetakan massal, distribusi global, hingga pembuangan limbah pasca-konsumsi, seluruh siklus hidup sebuah album menyumbang emisi karbon yang signifikan.

Setiap keping CD, misalnya, membutuhkan kombinasi material polikarbonat dan logam aluminium yang diproses melalui pemanasan tinggi. Sebuah laporan dari Green Music Australia menyebutkan bahwa satu CD fisik rata-rata menghasilkan sekitar 500 gram emisi karbon, belum termasuk kemasan dan transportasi. Dengan angka penjualan album K-pop yang mencapai lebih dari 74 juta unit pada tahun 2022 saja, jumlah total emisi dari album fisik bisa mencapai setidaknya 37.000 ton CO₂e. Angka yang setara dengan emisi tahunan dari lebih dari 8.000 mobil.

Belum lagi jika memperhitungkan shipping footprint. Banyak penggemar membeli album melalui pengiriman internasional, yang menambah beban emisi dari sektor logistik. Album yang dikirim dari Korea ke berbagai belahan dunia, terutama menggunakan pesawat, berkontribusi pada emisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan distribusi domestik. Menurut data, 1 kilogram barang yang dikirim via udara dari Seoul ke Jakarta, misalnya, menghasilkan sekitar 4–5 kg CO₂e. Satu pengiriman bulk order bisa berarti ratusan kilogram emisi gas rumah kaca yang tidak kasat mata, tapi nyata dampaknya.

Ironisnya, sistem distribusi ini berlangsung di tengah popularitas musik digital. Lagu-lagu yang tersedia di platform streaming seharusnya sudah cukup untuk mendengarkan musik, tapi sistem penghargaan industri yang masih menghitung penjualan fisik sebagai indikator kesuksesan justru mempertahankan dan bahkan memperbesar produksi album fisik.

Kpopers, Buka Mata dan Lindungi Bumi Kita

Industri K-pop telah membangun istana megah di atas fondasi budaya konsumerisme, sebuah istana yang perlahan retak oleh tumpukan sampahnya sendiri. Setiap comeback, setiap versi album baru, setiap photocard langka yang dirilis, bukan hanya menambah koleksi penggemar, tetapi juga mengikis daya dukung lingkungan.

K-pop memang tentang cinta. Cinta pada musik, pada idol, juga pada komunitas. Tapi mungkin kini saatnya mencintai dengan lebih sadar. Karena sebelum memutuskan membeli album kesepuluh hanya untuk photocard, ada baiknya kita ingat: Bumi tidak punya versi alternatif.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *