Sungai Brantas Bukan Tempat Sampah: Aksi Nyata Ecoton

Ecoton bersama River Cities Network Menyusuri Sungai Brantas Gambar: Ecoton, 2024

Geograph.id – Sungai Brantas, yang membelah 11 kota di Jawa Timur, adalah urat nadi kehidupan bagi lebih dari 17 juta penduduk. Namun, di balik nilai strategisnya, sungai ini terancam oleh pencemaran limbah industri, rumah tangga, dan pertanian. Ironisnya, masyarakat yang menggantungkan hidup pada sungai ini justru menjadi korban utama dari kerusakan ekosistem yang kian parah. Di tengah kondisi ini, muncul sebuah gerakan yang konsisten memperjuangkan kesehatan Sungai Brantas yang bernama Ecoton.

 

Awal Mula Ecoton: Dari Prihatin ke Aksi Nyata

Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) didirikan pada tahun 1996 oleh sekelompok mahasiswa Biologi Universitas Airlangga yang prihatin terhadap menurunnya kualitas lingkungan, terutama di lahan basah dan sungai brantas. Awalnya, mereka melakukan penelitian sederhana tentang keanekaragaman hayati di bantaran Sungai Brantas. Namun, seiring waktu, mereka menyadari bahwa ancaman sungai bukan hanya dari pencemaran, tetapi juga dari lemahnya kesadaran masyarakat dan kurangnya penegakan hukum.

Hal inilah yang memicu terbentuknya Ecoton sebagai lembaga yang fokus pada riset, edukasi, dan advokasi lingkungan. “Kami merasa saat ini juga harus bergerak lebih jauh tidak hanya meneliti saja, tapi juga mengedukasi dan mengadvokasi kebijakan sungai brantas ini,” menurut keterangan narasumber tim Ecoton.

 

Sungai Brantas Kehidupan yang Terancam

Sungai Brantas bukan hanya sekadar aliran air saja. Namun, ia adalah sumber air minum, irigasi pertanian, kebutuhan industri, dan aktivitas domestik bagi jutaan orang. Di hilir Surabaya, 90% air Sungai Brantas dimanfaatkan PDAM untuk kebutuhan masyarakat. Namun, sungai ini juga menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan pertanian.

Data dari ekspedisi sungai nasional yang dilakukan Ecoton pada 2022 menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah provinsi dengan pencemaran mikroplastik tertinggi di badan sungai 636 partikel per 100 liter air. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lain seperti Sumatera Utara (520 partikel/100 liter) dan Sumatera Barat (508 partikel/100 liter). Kondisi ini memperlihatkan betapa kritisnya ancaman terhadap Sungai Brantas saat ini.

 

Tiga Pilar Perjuangan Ecoton

Ecoton menjalankan misinya melalui tiga pilar utama:

  1. Riset: Ecoton secara rutin melakukan pemantauan kualitas air, identifikasi pencemar, riset mikroplastik, dan kajian biodiversitas pada sungai brantas. Data hasil riset dipublikasikan secara berkala agar dapat diakses masyarakat dan pemangku kebijakan. “Kami percaya, data yang akurat adalah senjata utama untuk mendorong perubahan untuk kebersihan beberapa sungai brantas,” menurut keterangan narasumber tim Ecoton.
  2. Edukasi: Program sekolah sungai, citizen science, pameran, film dokumenter, workshop, dan kampanye media sosial menjadi sarana utama Ecoton untuk mengedukasi masyarakat. “Perubahan perilaku harus dimulai dari pengetahuan,” tambahnya.
  3. Kampanye & Advokasi: Ecoton aktif menyuarakan isu lingkungan melalui aksi teatrikal, pameran sampah plastik, kampanye stop sampah impor, serta audiensi dengan pemerintah. Mereka juga membangun kolaborasi dengan komunitas lokal, akademisi, dan lembaga internasional seperti Both ENDS untuk memperkuat upaya penyelamatan sungai.

 

Tantangan Besar: Ketimpangan Kekuasaan dan Budaya Membuang Sampah

Tantangan terbesar yang dihadapi Ecoton dalam menyelamatkan Sungai Brantas adalah ketimpangan kekuasaan dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran. Masalah ini terutama terjadi pada sektor industri. Berdasarkan riset Ecoton melalui Ekspedisi Sungai Nusantara tahun 2022, Sungai Brantas tercatat sebagai salah satu sungai dengan pencemaran mikroplastik tertinggi di Indonesia. Kadar mikroplastik yang terdeteksi mencapai 636 partikel per 100 liter air. Selain itu, ribuan ton sampah dan limbah industri serta rumah tangga terus mengalir ke sungai ini setiap tahunnya.

Pemerintah telah menetapkan regulasi ketat untuk melindungi lingkungan. Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran masih sangat lemah. “Kami sering menemukan kasus pencemaran yang sudah jelas pelakunya, namun proses hukumnya mandek atau tidak pernah sampai ke pengadilan,” menurut keterangan narasumber tim Ecoton.

Tantangan lain yang tak kalah besar adalah budaya masyarakat yang masih membuang sampah ke sungai. Banyak warga yang menganggap sungai sebagai tempat sampah, sehingga perubahan pola pikir ini menjadi hambatan serius dalam upaya penyelamatan Sungai Brantas. Ditambah lagi, pendanaan untuk riset dan kampanye lingkungan juga masih sangat terbatas. Hal ini menjadikan perjuangan Ecoton semakin berat, meski semangat dan komitmen mereka tetap tinggi demi masa depan sungai yang lebih baik.

 

Momen Bersejarah: Kemenangan Hukum Ecoton

Salah satu momen paling bersejarah bagi Ecoton adalah kemenangan gugatan hukum terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Gubernur Jawa Timur, dan Menteri PUPR. Gugatan ini diajukan karena kematian massal ikan dan pencemaran berat di Sungai Brantas yang terjadi sejak 2015.

“Kami mengajukan gugatan karena pemerintah tidak mengambil tindakan nyata untuk menghentikan pencemaran dan memulihkan ekosistem sungai,” ujar narasumber dari tim Ecoton.

Pada Desember 2019, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan gugatan tersebut. Majelis hakim menyatakan para tergugat bersalah karena lalai mengelola dan mengawasi Sungai Brantas. Mereka diperintahkan untuk meminta maaf kepada masyarakat di 15 kabupaten/kota yang dilalui sungai. Selain itu, mereka wajib memasukkan program pemulihan kualitas air Sungai Brantas ke dalam APBN 2020 dan memasang kamera pengawas di outlet limbah cair untuk memperkuat pengawasan.

Pemerintah sempat mengajukan banding, namun upaya itu ditolak oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada 2023. Mahkamah Agung juga menolak kasasi pada 2024. Putusan ini menegaskan kewajiban pemerintah untuk memulihkan Sungai Brantas dan menjalankan seluruh poin keputusan pengadilan.

Koordinator Advokasi Ecoton, Alaika Rahmatullah, menyatakan bahwa kerusakan Sungai Brantas masih belum terkendali. Pencemaran dari limbah industri dan sampah plastik terus terjadi karena pengabaian pemerintah.

Proses hukum ini berjalan sangat panjang, dari 2019 hingga Ecoton akhirnya menang di tingkat kasasi. Saat ini, proses masih berlanjut ke tahap Peninjauan Kembali (PK).

“Ini bukan hanya perjuangan hukum, tapi juga perjuangan moral. Kami ingin menyuarakan hak sungai dan masyarakat yang bergantung pada sungai,” tegasnya.

Kemenangan ini membawa harapan besar sekaligus tanggung jawab besar. “Kami menuntut agar keputusan itu tidak berhenti di atas kertas. Harus ada tindakan nyata, mulai dari pemulihan ekosistem, penegakan hukum terhadap pencemar, hingga perlindungan hak masyarakat atas air bersih,” tambahnya.

 

Perubahan Perilaku: Dari Apatis ke Aktif

Tanggapan warga terhadap gerakan Ecoton semakin positif seiring waktu. Banyak komunitas yang awalnya apatis kini mulai terlibat aktif. Pada tahun 2022, Ecoton berhasil mengajak partisipasi masyarakat untuk melakukan peningkatan dan pemulihan kualitas air Sungai Brantas melalui program “AKSI BRANTAS”. Program ini berhasil menginisiasi 12 komunitas lokal Sungai Brantas dari hulu sampai hilir untuk bersinergi membentuk garda utama penjaga sungai.

“Kami juga melihat peningkatan minat generasi muda untuk ikut sekolah sungai dan citizen science,” menurut keterangan narasumber tim Ecoton. Mereka juga memiliki program sekolah ekologis atau zero waste school untuk membangun komunitas dan local hero yang berani berbicara dengan pemangku kebijakan.

 

Kolaborasi Internasional dan Inisiatif Lokal

Ecoton tidak bekerja sendirian. Mereka membangun kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu contohnya adalah kerja sama dengan Both ENDS, lembaga asal Belanda, dalam program restorasi ekologis di daerah aliran Sungai Brantas.

“Pelajar, mahasiswa, penduduk desa, dan pelaku usaha di sepanjang sungai ikut terlibat. Mereka memantau kualitas air, membersihkan sungai, dan memastikan pemerintah daerah menjalankan tanggung jawabnya menjaga kebersihan sungai,” menurut keterangan Both ENDS.

Selain itu, Ecoton juga memfasilitasi pertukaran pengetahuan dengan organisasi dari Indonesia, Peru, dan Afrika. Tujuannya adalah memperkuat komunitas lokal melalui pendekatan negosiasi dalam pengelolaan air terpadu.

“Kami juga membangun Fish Sanctuary Area (FSA) di empat desa di sepanjang Sungai Brantas. FSA ini menjadi tempat pembelajaran sekaligus area pemulihan ekosistem sungai,” tambahnya.

Harapan untuk Masa Depan Brantas

Harapan Ecoton terhadap masa depan Sungai Brantas sangat besar. “Kami ingin melihat Sungai Brantas kembali sehat. Airnya bisa diminum tanpa diolah, dan ikan-ikan lokal kembali hidup bebas,” ujar narasumber dari tim Ecoton. Mereka ingin generasi muda tidak tumbuh dengan warisan sungai yang rusak. Sebaliknya, mereka berharap sungai menjadi sumber kehidupan dan kebanggaan.

“Oleh karena itu, kami berharap semakin banyak anak muda bergabung dalam gerakan penyelamatan sungai. Gunakan pengetahuan, kreativitas, dan teknologi untuk menciptakan perubahan nyata. Masa depan Brantas ada di tangan anak-anak muda,” tambahnya.

 

Brantas Bukan Tempat Sampah

Perjuangan Ecoton menyelamatkan Sungai Brantas adalah cermin dari semangat kolaborasi, edukasi, dan advokasi yang tak kenal lelah. Sungai Brantas bukan tempat sampah, melainkan nadi kehidupan yang harus dijaga bersama. Dengan dukungan masyarakat, pemerintah, dan generasi muda, Brantas yang sehat dan lestari bukan lagi mimpi, melainkan tujuan nyata yang bisa dicapai.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *