
Geograph.id – Ketika terbangun di pagi hari, kita langsung mengambil ponsel tanpa berpikir lama. Seolah-olah dunia berada dalam genggaman, notifikasi berdering, pesan berdatangan. Namun, di balik kemudahan itu ada cerita yang jarang terdengar tentang bumi yang menjadi semakin penuh dengan beban teknologi yang dibawa oleh manusia itu sendiri.
Jejak karbon yang nyaris tidak terlihat perlahan menggerogoti bumi di balik layar perangkat yang kita gunakan setiap hari. Meskipun teknologi digital menawarkan banyak kemudahan, bumi juga membawa konsekuensi lingkungan yang signifikan.
Ketika Pusat Data Menjadi Pemicu Krisis Energi
Seiring meningkatnya kebutuhan akan penyimpanan dan kecepatan akses data, pusat data atau data center menjadi tulang punggung dari segala aktivitas digital. Tetapi keberadaan mereka memiliki masalah yaitu mereka sangat menghabiskan energi. Sebuah pusat data besar membutuhkan jumlah listrik yang sama dengan ribuan rumah tangga setiap hari. Lebih banyak emisi karbon disebabkan oleh penggunaan energi yang signifikan untuk mempertahankan suhu server.
Laporan dari Jurnal Post menunjukkan bahwa Internet of Things (IoT), video streaming, dan cloud computing terus berkembang pesat, dan pusat data sekarang bertanggung jawab atas hampir 2% dari emisi karbon global. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan jumlah pengguna internet dan kebutuhan penyimpanan digital yang meningkat. Menurut laporan dari International Energy Agency (IEA), dalam sepuluh tahun mendatang, emisi karbon yang dihasilkan dari pusat data dapat menyamai total emisi industri penerbangan global jika tidak ada tindakan yang efektif untuk mengkonsumsi energinya.
Limbah Elektronik Warisan Beracun dari Era Teknologi
Di era komputer dan internet saat ini, kita sudah terbiasa mengubah ponsel kita setiap beberapa tahun sekali. Selain itu, perusahaan teknologi terus mengeluarkan produk baru yang lebih canggih dan menarik. Namun, ke mana perangkat tua yang tidak digunakan lagi? Menurut laporan Renovables Verdes, jawabannya merupakan bagian dari 53,6 juta ton limbah elektronik yang dibuat di seluruh dunia setiap tahunnya.
Faktanya, hanya 17,4 persen limbah elektronik di dunia yang dapat didaur ulang. Sebagian besar yang tersisa dibuang ke tempat pembuangan sampah atau dikirim ke negara-negara berkembang yang tidak memiliki sistem pengolahan yang memadai. Akibatnya, bahan berbahaya seperti timbal dan merkuri yang berasal dari perangkat elektronik tercemar di tanah dan air. Hal ini berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Peran Ganda Media Sosial dalam Lingkungan
Di sisi lain, kesadaran baru telah muncul melalui platform media sosial. Sekarang, masalah lingkungan lebih mudah tersebar dan menjadi viral. Bukti bahwa teknologi juga dapat membantu lingkungan adalah kampanye online seperti #FridaysForFuture dan gerakan untuk mendaur ulang perangkat elektronik.
Sebaliknya, praktik greenwashing adalah salah satu tantangan baru yang ditimbulkan oleh media sosial. Perusahaan menggunakan strategi pemasaran yang dikenal sebagai “greenwashing” untuk mengiklankan barang dan jasa mereka yang tidak ramah lingkungan. Misalnya, ada perusahaan teknologi yang mengklaim menggunakan energi terbarukan, tetapi tetap menggunakan sumber daya yang tidak berkelanjutan. Masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang salah tentang keadaan sebenarnya karena informasi yang bias atau menyesatkan ini.
Lalu, apa solusinya?
Digitalisasi yang bertanggung jawab diperlukan, kata pakar lingkungan Puskomedia. Ini termasuk penggunaan teknologi hijau, mengelola limbah elektronik dengan benar, dan mengoptimalkan konsumsi energi pusat data.
Dengan memilih perangkat yang hemat energi, memperpanjang masa pakai perangkat, dan mendukung kebijakan energi terbarukan, kita sendirilah yang dapat membawa perubahan.