Tergusur di Negeri Sendiri: IKN ‘Magnet Ekonomi Baru’ yang Mengusik Masyarakat Lokal.

Prosesi Prosesi Penyatuan Tanah dan Air di IKN Nusantara, gambar oleh ID Tirtayasa.

Masyarakat asli “merasa diusir dan disingkirkan” dari wilayah mereka karena pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) , yang dipromosikan menjadi kota “inklusif”. Sebaliknya, IKN juga berfungsi sebagai “magnet ekonomi baru” bagi mereka yang mengalami kesulitan finansial.

Geograph.id – Warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Sukini menyatakan bahwa mereka tidak ingin melihat kota itu.

“Di sini mau jadi kota, kalau kami mau diusir sama saja. Ndak melihat kami kota itu,” kata Sukini, salah satu warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Perempuan berusia 50 tahun itu juga mengaku tidak senang dengan pembangunan IKN. Desanya berdekatan dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Desa Bumi Harapan saat ini dihadiri oleh orang-orang yang datang dari seluruh dunia dan suku Balik dan Paser.

Seorang wanita berusia 48 tahun, Syarariyah, yang berasal dari Suku Paser dan keluarganya telah tinggal di wilayah itu dari generasi ke generasi, menyatakan rasa terima kasihnya. Syarariyah dan suami adalah salah satu orang yang menyambut bahwa ibu kota negara akan pindah ke Penajam Paser Utara. Namun, perasaan itu telah berubah menjadi kecemasan karena dibuang.

Semua warga Desa Bumi Harapan telah digusur untuk pembangunan infrastruktur IKN , dan beberapa dari mereka adalah kerabat Syarariyah. Dia dan Sukini hanya tinggal menunggu waktu untuk pindah. Menurut Syarariyah, permasalahannya adalah bahwa warga menghadapi kesulitan mengumpulkan kekuatan untuk memperjuangkan hak-haknya karena proses ganti rugi diberikan kepada mereka secara individu.

Ada saat-saat ketika dia tidak tahu kapan tetangganya pindah. Karena kenaikan harga tanah yang signifikan, beberapa orang harus meninggalkan IKN .

“Sedih lah, dijauhkan dari keluarga kita yang tadinya dekat bisa ngumpul, bisa tahu kabar, dan lagi orang tua juga jauh. Sedikit-sedikit masyarakat di sini sudah tersingkir dengan IKN ini,” Kata Syarariyah.

Hal ini juga berlaku pada Rini dan Hamidah.

Pembebasan Lahan

Warga Desa Bumi Harapan telah meninggalkan rumah mereka yang kosong setelah mereka menerima uang ganti rugi pembebasan lahan dari pemerintah. Istana Presiden berjarak sekitar empat kilometer dari rumah tersebut. Gambar oleh BBC Indonesia.

Setelah pindah ke Batu Engau, yang berjarak sekitar sembilan jam perjalanan dari IKN, wanita berusia 26 tahun bernama Hamidah, kini hidup terpisah dari keluarganya. Saat ini, Hamidah tinggal di wilayah Waru, dua jam perjalanan dari IKN. Dia membeli rumah baru dengan uang ganti rugi dan membuka warung sebagai cara untuk bertahan hidup. Setelah meninggalkan IKN selama berbulan-bulan, kehidupan ekonomi Hamidah agak membaik, dan dia melakukannya sendiri tanpa bantuan pemerintah.

“Saya diusir suruh pindah, dipindah itu ke mana? Ndak dibawakan,” ujar Hamidah.

“Kalau memang disuruh, ‘Kamu bangun di situ lagi, ndak usah jauh-jauh’. Ya, aku bikin di situ kan. Tidak banyak bicara, diam. Yang penting segera pindah, sudah.”

Oleh karena itu, janji-janji Otorita IKN untuk membangun kampung adat atau menyediakan lahan untuk relokasi warga yang tergusur hingga saat ini tidak terwujud. Warga Desa Bumi Harapan menunjukkan masalah sosial yang rumit dan belum selesai terkait dengan pembangunan IKN.

Seorang sosiolog dari Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, mengatakan bahwa kekhawatiran tentang nasib masyarakat lokal mulai menjadi kenyataan. Megaproyek ini paling berdampak pada suku adat Suku Balik dan Suku Paser yang tinggal di wilayah IKN. Sementara kampung halaman mereka berubah menjadi “kota modern” yang tidak mereka sukai, mereka “disingkirkan” dan dibiarkan menata kembali kehidupannya dari nol.

Meskipun Sri sempat berharap bahwa pembangunan IKN akan menjadi proyek pionir yang memperbaiki kebijakan untuk masyarakat adat setelahnya Sri sempat berharap pembangunan IKN dapat menjadi proyek pionir yang memperbaiki kebijakan untuk masyarakat adat setelah selama ini dipinggirkan dalam pembangunan.

“Sebenarnya ini hanya sekedar pengulangan dari modus operandi tentang bagaimana masyarakat sengaja disingkirkan dalam pembangunan itu,” kata Sri.

IKN Sebagai Magnet Ekonomi Baru

| Kawasan Inti Pembangunan IKN, (sumber: Waskita), Gambar oleh Liputan 6

Sebaliknya, pembangunan IKN juga mulai memicu geliat perekonomian di daerah sekitarnya. Selain itu, Presiden Joko Widodo mengklaim IKN akan menghasilkan “magnet ekonomi baru”.

Di sekitarnya muncul banyak bisnis baru, mulai dari rumah makan, minimarket, hotel, rumah kontrakan, bank, toko bahan bangunan, dan laundry, antara lain. Selain itu, kami bertemu dengan Musmulyadi, 55 tahun, dan istrinya, Nurmis, 50 tahun, yang datang dari ribuan kilometer dari Sumatra Barat untuk melaporkan keadaan mereka di IKN.

Mereka tertarik untuk mengambil keuntungan dari megaproyek ini.

| Nurmis dan pasangannya Musmulyadi pergi dari Sumatera Barat ke IKN untuk mengadu nasib. Gambar oleh Kompas Daerah.

Musmulyadi bekerja sebagai kuli bangunan dan ingin menjadi pemborong di proyek IKN. Nurmis ingin memulai bisnis katering untuk para pekerja IKN saat ini.Nurmis bahkan rela meninggalkan pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Painan, Sumatera Barat, untuk mengejar mimpi itu.

“Karena ada IKN ini rasanya ada peluang kehidupan. Perusahaan sudah banyak berdiri, orang sudah banyak mengontrak. Peluangnya ada di sini. Makanya saya berani nekat ke sini untuk merantau, untuk mandiri,” kata Nurmis

Kisah Warga Yang Terpaksa Meninggalkan IKN

Hamidah tidak mengira rumahnya di Desa Bumi Harapan akan digusur ketika rencana pembangunan IKN diumumkan pertama kali.

“Pas turun lapangan kedua [pengukuran oleh petugas], baru di situ kami tahu. Di situ diberi tahu, ‘bahwa rumah ibu diambil dengan sekian harga’,” kata Hamidah

Dia merasa tidak ada pilihan lain selain menolak ketika rumahnya digusur untuk pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah dan sampah terpadu IKN.

“Kalau saya ndak mau ngikut, yang sebelah-sebelah kan ikut semua. Saya bertahan, otomatis saya sendirian. Kalau kompak bertahan, otomatis saya bertahan juga,” kata Hamidah ketika ditemui di rumahnya.

| Setelah menerima ganti rugi izin lahan rumahnya, Hamidah kini tinggal di Waru, Penajam Paser Utara. Gambar oleh BBC Indonesia
Di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), terdapat sejumlah rumah kosong yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya setelah diganti rugi oleh pemerintah karena terdelineasi sebagai KIPP IKN. Gambar oleh Kompas Daerah

Ganti Rugi Yang Sepadan?

Dia menawarkan ganti rugi sebesar Rp56 juta untuk rumah kayunya pada Juli 2023. Untungnya, dia masih memiliki ladang warisan turun temurun dari orang tuanya, sehingga dia menerima ganti rugi sebesar Rp500 juta secara keseluruhan. Hamidah mengatakan dia hanya diberi waktu tiga hari untuk meninggalkan rumahnya setelah menerima pembayaran.

Dia mulai mencari rumah baru, tapi tidak mau mendekati IKN.

“Ndak nyaman lah saya. Nanti saya diangkat [digusur] lagi. Sudah digitukan rumah saya kan, ngapain saya tinggal di situ lagi,” ujarnya.

Rumah tipe 45 di sebuah kompleks kecil di Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara, menjadi pilihannya. Harganya adalah Rp240 juta.

| Surat pemberitahuan ini dipasang di semua rumah pemilik lahan yang telah dibebaskan. Gambar oleh BBC Indonesia

Sejak saat itu, kehidupan Hamidah dan keluarganya berubah. Untuk bertahan hidup, Hamidah membuka warung. Secara finansial, Hamidah merasa kehidupannya menjadi lebih baik dan lebih nyaman. Saat hujan, rumahnya tidak lagi bocor. Selain itu, dia merasa lebih nyaman di rumahnya saat ini daripada di Desa Bumi Harapan, di mana truk berkeliaran tanpa henti dan men-debug proyek bertebaran.

Dia harus meninggalkan kampung halamannya dan berjauhan dari keluarganya sebagai konsekuensi. Dia masih kembali ke Sepaku beberapa kali untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang masih hidup di sana. Selain itu, dia harus menerima kenyataan bahwa kampung halamannya telah berubah menjadi kota yang tidak dia sukai.

Dia menyatakan, “Malah kami diusir karena orang yang jauh datang.”

“Apa yang tidak merasa diusir. Kalau ndak diusir, ‘Oh kamu bangun [rumah] di situ. Pindah di situ saja rumahmu ke sebelah’. Itu tandanya ndak penghapusan, tapi kalau ini kan tandanya penghapusan,” tutur Hamidah.

Angkat Kaki Dari Tanah Sendiri

Rini, warga Desa Bumi Harapan lainnya, terpaksa pindah ke Batu Engau, Kabupaten Paser, yang berbatasan dengan Kalimantan Selatan, dari IKN. Rumah Rini sebelumnya berada di dekat kawasan inti IKN. Lahannya seluas 1.500 meter persegi diganti rugi sebesar Rp300.000 per meter persegi.

Rini sempat mencoba mencari lahan baru di sekitar IKN setelah diberi tahu harus pindah, tetapi harganya jauh lebih tinggi.

Jika saya ingat benar, harga per meter pada saat itu berkisar antara 1 juta dan 1,5 juta. Bagaimana saya bisa menetap di Sepaku? Rini mengatakan bahwa dia sedang mempertimbangkan untuk membeli tanah bahkan bukan untuk membuka bisnis.

Rini menginap di rumah adiknya selama beberapa bulan karena dia tidak tahu mau ke mana. Dia menemukan tanah di Batu Engau dengan harga yang lebih murah baru-baru ini pada bulan Oktober. Untuk menghasilkan uang, dia membeli dua hektar kebun sawit selain membangun rumah.

Rini kini tinggal jauh dari keluarganya, seperti yang dilakukan Hamidah.

“Kami harus rela jauh-jauhan,” tuturnya.

“Dibilang kecewa ya pasti iya. Di sana ada keluarga, adik, dan sebagainya. Di sini saya kayak orang asing lagi. Beradaptasi di tempat yang baru,” kata Rini.

Penyingkiran Masyarakat Adat

| Warga RT 10 Syarariyah tinggal di Desa Bumi Harapan di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim). Gambar oleh Kompas Daerah

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berpendapat bahwa ganti rugi yang tidak sepadan itu merupakan penyingkiran secara masyarakat tidak langsung, terutama karena tidak disertai dengan kebijakan yang mengakui mereka di IKN.

“Otomatis mereka terpaksa membeli tanah yang jauh-jauh dari lokasi IKN. Otomatis itu kan penyingkiran. Makanya kami tidak mau masyarakat adat yang sudah turun temurun di sana tersingkir dari IKN karena mereka punya tempat di situ,” kata Ketua AMAN Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk .

AMAN juga menyatakan bahwa proses ganti rugi ini sepertinya tidak memungkinkan masyarakat untuk menolak. Jika masyarakat menolak, pemerintah akan mengambil tindakan pengadilan. Meskipun sebagian besar masyarakat tidak memahami hukum, ada yang akhirnya memilih pasrah untuk menerima perjanjian itu.

Gugatan Ganti Rugi

Menurut Kompas.com, beberapa warga telah menggugat nilai ganti rugi yang ditetapkan oleh tim penilai Badan Pertanahan karena mereka merasa penilaian harga itu tidak adil. Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara pada akhirnya menolak gugatan tersebut.

Achmad Jaka Santos, sekretaris otoritas IKN, menyatakan bahwa proses ganti rugi tersebut telah memenuhi persyaratan undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

“Pemerintah itu hanya melaksanakan, jika tidak sepakat antara angka yang disiapkan oleh negara, rakyat boleh melakukan ke pengadilan. Makanya uangnya ditaruh dikonsignasi,” jelas Jaka.

“Jadi kalau bicara harga berbeda bukan berarti tidak adil. Itu semua ada aturannya. Sejauh ini, semua itu sesuai aturan, itulah yang disebut kepastian hukum. Kalau sesuai keinginan masing-masing, ya tidak akan ketemu,” sambungnya.

Selain itu, Jaka menyatakan bahwa akan ada kawasan tertentu yang dimaksudkan untuk “pengakuan eksistensi masyarakat adat, serta tempat pembuktian pemberdayaan masyarakat adat.”

Sampai saat ini, otoritas Otorita masih sangat terbatas.

“Ada nanti Insya Allah ada,” kata Jaka sambil mengisyaratkan bahwa komitmen itu juga tertuang dalam Undang-Undang IKN.

Ironi: Di Bawah Bayang-Bayang Kemegahan Terbentang Luka Kemiskinan Struktural

Hidup pun tidak lagi nyaman bagi mereka yang masih tinggal di sekitar IKN. Istana Negara hanya berjarak empat kilometer dari rumah Sukini. Desa Bumi Harapan, yang dulunya tenang dengan banyak tanaman hijau, telah berubah drastis sejak pembangunan gedung pemerintahan dimulai.

Karena Presiden Joko Widodo menargetkan kantor IKN mulai beroperasi pada Juli 2024, maka proyek pembangunan ini akan memakan waktu yang lama. Setelah itu, untuk pertama kalinya, upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 juga akan diadakan di sana.

Di jalan raya tepat di depan rumah Sukini, truk-truk yang mengangkut material bangunan tidak pernah berhenti melaju. Akibatnya, area itu tertutup debu.

“Setiap hari seperti ini. Capek saya melihat debu. Air minum pun tidak ada di sini bantuan. Saya sampai pakai air hujan itu, ndak ada bantuan dari IKN,” ujar Sukini.

Rumah Sukini berada di pinggir jalan, memudahkan kendaraan yang mengangkut material bangunan. Gambar oleh BBC Indonesia.

Suasana di wilayah pembangunan IKN, Gambar oleh Kompas Daerah. Realitas sehari-hari Sukini sangat berbeda dengan kemegahan IKN yang sering ditampilkan di media sosial. Tidak ada lagi “udara segar” yang dinikmati warga Desa Bumi Harapan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Agus Yudhoyono saat bermalam di IKN bersama presiden dan pejabat lainnya pada akhir Februari lalu.

| Tempat penginapan Presiden di IKN, Gambar oleh Singkat

Dinding marmer, lampu hias, dan perangkat “smart home” lainnya tidak ada di rumah Sukini, seperti yang dijelaskan dalam video yang viral beberapa waktu lalu tentang rumah menteri di IKN.

| Rumah para menteri di IKN, Gambar Balikpapan Pos

Realitas Yang Terbalik

Rumah kayu seluas dua puluh meter persegi itu adalah peninggalan suami yang meninggal, yang berasal dari suku Paser.

Sukini berbagi ruang dengan anak-anaknya di tempat ini. Sukini biasanya tidur di lantai beralas tikar karena mereka hanya memiliki satu kasur. Di salah satu sudut, ada kulkas tua yang sudah tidak berfungsi lagi.

Sukani memiliki empat anak, dan anak pertamanya sudah menikah dan tinggal bersama orang lain. Anak-anak keduanya bekerja sebagai wakar (petugas yang menjaga area proyek di malam hari) di IKN dengan upah Rp130.000 per hari. Ini adalah satu-satunya sumber pendapatan keluarga mereka setiap hari.

Anak keempatnya masih di sekolah dasar, tetapi anak ketiganya, perempuan, sudah berhenti sekolah dua tahun yang lalu. Sukani memiliki ladang di belakang rumahnya, tetapi karena dia menderita asam urat, dia tidak lagi bisa berladang. Selain itu, dia ragu bahwa kehadiran proyek IKN dapat memberi keluarganya yang berpendidikan rendah, peluang yang lebih baik.

“Anak saya yang bujang itu kan enggak sekolah, jadi ya enggak bisa kerja yang lain kan. Cuma buruh-buruh gitu saja,” tutur Sukini.

Sukini tinggal di rumah peninggalan suami yang meninggal, bersama anak-anaknya. Gambar oleh CNN Indonesia.

Sukini mengatakan dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka harus meninggalkan IKN.

Saya sebenarnya tidak ingin pindah, tetapi ke mana saya ingin pindah? Rumah hanya ada di sini, tanah. Kita ingin pindah, ke mana? Mungkin tidak memiliki rumah. Sukini menyatakan bahwa ini adalah satu-satunya barang peninggalan bapaknya. Jangan sampai kita hidup di jalanan, anak saya meminta agar kita tidak hidup di jalanan. Tidak peduli seberapa sulitnya kita. Namun, dia juga merasa tidak berdaya untuk bersaing.

“Kita mau bertahan satu saja di sini kan ndak bisa kalau ndak ada yang bertahan. Namanya pemerintah sudah. Kalau perusahaan kita bisa keras. Kalau pemerintah itu kita tidak bisa keras. Yang kuminta sesuai, itu saja, anggarannya,” ujar Sukini.

Meneropong Masa Depan IKN

Musmulyadi dan Nurmis baru saja memulai babak baru di IKN saat orang-orang yang mendekati usia pensiun memilih untuk menikmati masa tua mereka. Ketika Nurmis mendengar bahwa pemerintah akan membangun IKN di Kalimantan Timur, hal itu awalnya terjadi. Lokasinya dekat dengan rumah keluarga Musmulyadi.

“Saya tanya, ‘Mas, kalau kita merantau ke Kalimantan gimana? Coba dulu di sana, kan kata orang sudah berdiri IKN, siapa yang tahu nanti ada kemajuan, perubahan hidup kita. Walaupun anak-anak kita sudah tamat [sekolah], kan kita butuh biaya untuk tua nanti. Enggak mungkin mengeluh ke keluarga’,” kata Nurmis mengenang percakapan dengan suaminya.

Sementara Nurmis bekerja di rumah sakit, Musmulyadi bekerja sebagai kuli bangunan di Sumatera Barat dengan upah Rp200.000 per hari.

“Di sana, kalau [penghasilan] cukup memadai. Tapi rasanya tidak ada bayangan di depannya itu hidup aku indah. Makanya aku keluar dari situ, mana tahu nanti dapat rasa nyamannya,” ujar Nurmis.

| Musmulyadi seorang kuli bangunan di Sepaku, Gambar oleh BBC Indonesia.

Mereka pun berangkat ke IKN pada Januari 2024 dengan keinginan untuk mengubah nasib. Mereka menginap di rumah keluarga Musmulyadi pada awalnya. Dalam waktu kurang dari dua hari, Musmulyadi bertemu dengan penduduk setempat yang membutuhkan tukang untuk membangun rumah kontrakan, dan dia setuju untuk mempekerjakannya dengan upah sebesar Rp250.000 per hari.

Musmulyadi dan istrinya berbagi tugas saat ditemui di tengah panas matahari di Kelurahan Sepaku. Musmulyadi memasang keramik, dan Nurmis mengaduk semen. Tujuh petak kontrak telah dibangun. Masing-masing kontrak itu akan disewakan kepada pekerja dari Pulau Jawa dengan harga sewa bulanan sebesar Rp4,5 juta, seperti yang diketahui Musmulyadi.

Proses Sebagai Upaya Untuk Masa Depan

| Nurmis dan pasangannya Musmulyadi pergi dari Sumatera Barat ke IKN untuk mengadu nasib. Gambar oleh Kompas Daerah

Memang, kehadiran proyek IKN telah meningkatkan kontrak pembangunan jenis ini. Gambaran awal Musmulyadi tentang sisa. Musmulyadi menyatakan bahwa mereka berusaha menghemat untuk mengumpulkan modal, meskipun gajinya hanya selisih Rp50.000 dibandingkan di Sumatera Barat.

Dia menganggap pekerjaan ini sebagai permulaan. Dia ingin menjadi pemborong di proyek IKN di masa depan, sementara Nurmis berharap dapat membangun bisnis katering.

“Namanya kami baru datang, pasti kami dari nol dulu. Kami harus mempelajari bagaimana cara-cara di sini. Kami pelajari berapa [upah] harian di sini, berapa pekerja, berapa upah tukang, berapa upah kepala tukang, itu kita harus pelajari dulu,” kata Musmulyadi.

“Jika ibu ingin bekerja dulu setiap bulan, ikut katering di toko, itu tidak masalah. Nanti setelah punya modal, kalau bisa kami buka catering sendiri,” katanya.

Musmulyadi yang juga merasakan dampak ekonomi dari IKN, berharap megaproyek ini terus berlanjut, setidaknya hingga saat ini.

“Kalau kami sebagai masyarakat kecil, mudah-mudahan proyek IKN ini terus berlanjut. Setidaknya bisa mengurangi tingkat kemiskinan, contohnya kami juga merantau di sini tidak sampai terlantar lah,” tutur Musmulyadi.

Menurut sosiolog, ‘Masyarakat sekitar akan menjadi asing.’

Sri Murlianti, sosiolog dari Universitas Mulawarman, menyatakan bahwa kondisi masyarakat adat berbeda dengan para transmigran, yang biasanya memiliki sumber daya dan pendidikan yang lebih baik. Pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memberdayakan masyarakat adat jika mereka tidak disingkirkan dari tanah mereka.

Tidak mungkin bagi pemerintah untuk hanya bertanggung jawab secara materi dengan membayarkan ganti rugi atas aset mereka dan membiarkan mereka bangkit dari nol. Mereka terbiasa hidup dari tanah dan ladang, tidak bekerja di sektor resmi, dan hanya segelintir dari mereka yang memiliki pendidikan tinggi.

Sri mengatakan, “Tahun 2019 itu saya catat tidak sampai lima orang yang sampai perguruan tinggi dan satu orang yang sarjana baru.Tetapi yang paling banyak itu SMP atau tidak lulus SMP sebenarnya.”

Dengan kenyataan seperti itu, masyarakat asli akhirnya mengalami keadaan yang “serba salah”. Meskipun ada [kebijakan] yang mengakui beasiswa untuk anak-anak asli setelah itu, itu mungkin baru dimulai. Menurutnya, kita bisa membayangkan jika ibu kota tiba-tiba datang.

Klaim bahwa IKN akan menjadi “kota hijau, modern, dan inklusif” bertentangan dengan kenyataan, menurut Sri. Sri mengatakan, “Saya kira kota ini akan menjadi tempat yang sangat ekslusif bagi sebagian orang, bahkan sekitar masyarakat akan menjadi asing.”

Mengulang Perampasan Lama, Menggali Potensi IKN untuk Kesejahteraan Bersama

Menurut Sri, sejak awal, pembangunan IKN telah mencakup hak-hak masyarakat sekitar, terutama masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser. Industri ekstraktif seperti kayu dan sawit yang berkembang pesat sejak tahun 60-an telah mendorong mereka.

Itu sebabnya kebanyakan masyarakat adat tidak memiliki sertifikat; yang mereka miliki hanyalah surat segel tanah. Banyak tanah yang tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan saat mengurus legalitas tanah. Sri menyatakan bahwa masalah itu telah berlangsung selama bertahun-tahun dan belum pernah benar-benar terselesaikan.

“Jadi ketidakadilan itu bukan hanya saat IKN. IKN hanya melanjutkan prosedur perampasan yang sebenarnya sudah berlangsung berkali-kali sejak industri kayu marak, sebelum menjadi perkebunan eukaliptus,” kata Sri.

|Peta Wilayah IKN, Gambar oleh Kompas.id.

Hak-hak masyarakat adat atas tanah dan ladang belum diakui oleh pemerintah sejak awal gagasan IKN. Meskipun pemerintah mengklaim akan membayar ganti rugi yang wajar, Sri mengatakan sulit berharap hak-hak masyarakat dapat dipenuhi tanpa pengakuan atas tanah itu.

Sejak gagasan IKN muncul hingga kini dibangun, pemerintah pun belum mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan ladang mereka. Tanpa mengakui atas tanah itu pun, Sri mengatakan sulit berharap hak-hak masyarakat dapat dipenuhi, meski pemerintah mengeklaim akan mengganti rugi secara layak.

“Layak itu dengan ukuran apa? Karena tanah mereka tidak pernah diakui sebagai hak milik yang sah. Jadi ganti rugi yang layak, lalu kalau cuma dihargai sebagai segel kan cuma diganti tanam tumbuh,” ujar Sri.

“Kalau kita hanya melihat IKN itu sebagai bangunan modern, orang-orang akan terpana, tapi kalau orang mengikuti proses dari awal menangis lah.”

“Tadinya saya punya harapan IKN itu akan menjadi proyek percontohan pertama pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kebijakan terhadap suku-suku asli di Indonesia yang sudah lama terepresi oleh proses pembangunan sejak zaman Orde Baru, tapi kenyataannya ini lebih buruk dari zaman Orde Baru menurut saya,” paparnya .

Perspektif Jangka Panjang: Mengukur Keberhasilan IKN di Tahun 2045

| Achmad Jaka Santos Adwijaya, sekretaris otoritas IKN, target keberhasilan pembangunan IKN baru akan tersedia pada tahun 2045. Gambar oleh BBC Indonesia.

Selain itu, IKN sedang menyiapkan program pemberdayaan untuk masyarakat lokal, salah satunya “memajukan pendidikan setempat”, kata Achmad Jaka Santos Adwijaya, sekretaris otoritas IKN.

Meskipun banyak masyarakat adat yang tertinggal, apakah dia memiliki keturunan, umur anaknya berapa dan di mana sekolahnya? “

Jaka menyatakan bahwa hasil akan terlihat dalam lima, sepuluh, atau dua puluh tahun ke depan jika sekolah-sekolah di sekitar IKN ini memperbaiki kualitas, kurikulum, kualitas guru, dan infrastrukturnya. Sejauh ini, sebagian masyarakat lokal juga dipekerjakan untuk proyek IKN berdasarkan tingkat pendidikan mereka.

Jika seseorang lulusan SD tidak dapat menjadi PNS, apa yang dapat dia lakukan? Jaka mengatakan, “Orang-orang yang pelatihannya tidak bisa mengoperasikan eskavator sekarang sudah banyak yang bisa.”

Dia menyatakan bahwa membangun dan memberdayakan masyarakat di IKN membutuhkan waktu yang panjang. Jadi kita tidak berbicara tentang ketika semua harus disulap pada tahun 2024, KIPP menjadi bagus, dan orang-orangnya langsung pintar.

Jaka mengatakan, “Jika kita mengukur keberhasilan Otorita, keberhasilan pembangunan IKN itu bukan sekarang, tetapi 2045.”

 

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *