
Geograph.id– Di tengah tantangan pengelolaan sampah di Kota Batu, Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, berupaya mandiri mengatasi permasalahan tersebut melalui pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R). Langkah ini diambil sebagai respons atas penutupan sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tlekung pada tahun 2023, yang memaksa desa-desa di sekitarnya untuk mencari solusi alternatif dalam menangani sampah.
Langkah Awal Menuju Kemandirian
Di tengah keresahan akibat tumpukan sampah yang menebar bau tak sedap, warga Desa Tlekung tak tinggal diam. Di balik bukit-bukit tenang di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, berdirilah sebuah fasilitas sederhana namun penuh semangat kolektif. Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) Desa Tlekung menjadi alternatif pengelolaan sampah setempat. Bukan bangunan kokoh dengan teknologi canggih, melainkan hasil gotong royong warga yang resah, peduli, dan berani ambil tanggung jawab atas lingkungannya sendiri.
Sugianto Jambul, Ketua RW 06 yang juga bagian dari Tim Peduli Lingkungan Desa Tlekung, menceritakan bagaimana TPS3R ini hadir dari keresahan warga. “Kami (Tim Peduli Lingkungan) rembukan sama dari Pemerintah Kota agar bagaimana caranya TPA tidak lagi menimbulkan bau,” ujarnya dalam wawancara. Inisiatif ini muncul seiring dengan pembatasan pengiriman sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tlekung. Kebijakan itu sempat membuat warga kelimpungan karena tumpukan sampah menebarkan aroma tak sedap di sekitar permukiman.
Masalahnya bukan hanya soal bau. Kapasitas pembakaran di TPA Tlekung hanya mampu menangani 3-4 dump truk sampah per hari. Kenyataannya, volume yang masuk bisa mencapai 125 ton, terutama di akhir pekan dan hari-hari besar ketika arus wisatawan meningkat. Desa Tlekung pun tak bisa terus mengandalkan sistem yang sudah jenuh. Maka, dimulailah pembangunan TPS mandiri, berawal dari bambu dan terpal seadanya, dengan alat dan dana yang jauh dari kata ideal.
Namun waktu, semangat, dan kebersamaan menjadikan fasilitas ini berkembang. Bangunan TPS yang kini berdiri memang belum sepenuhnya rampung, tetapi cukup layak untuk menjadi tempat pemilahan dan pengolahan sampah mandiri. Letaknya dipilih jauh dari pemukiman warga untuk meminimalkan polusi bau maupun asap.
Alur Pengelolaan Sampah di TPS3R Tlekung
Setiap subuh, tiga petugas mulai menyusuri gang dan jalan desa untuk mengumpulkan sampah rumah tangga. Sekitar pukul 07.30 pagi, tujuh petugas lainnya mulai memilah dan mengolah. Prinsip mereka sederhana, sampah hari ini harus selesai hari ini juga. Disiplin itu tak hanya soal rutinitas, tapi bentuk tanggung jawab sosial terhadap lingkungan.
Sistem pengolahan sampah di TPS3R Desa Tlekung masih mengandalkan cara manual, namun dilakukan dengan penuh ketelatenan. Sampah organik seperti sisa sayuran, daun kering, dan limbah dapur terlebih dahulu dipilah dari jenis sampah lainnya. Setelah dipisahkan, sampah organik tersebut dijemur di bawah paparan sinar matahari selama beberapa hari untuk mengurangi kadar air. Proses selanjutnya adalah pencacahan menggunakan mesin agar menjadi ukuran yang lebih kecil dan lebih mudah terurai. Sampah yang telah melalui proses ini kemudian dikomposkan, dan hasil komposnya dimanfaatkan oleh petani sekitar bahkan pernah dibeli oleh Dinas Pertanian setempat.
Sementara itu, sampah anorganik seperti kardus, kertas, dan logam disetorkan ke pengepul guna membantu menutup biaya operasional harian. Adapun sampah residu seperti pampers dan plastik kemasan dibakar secara manual menggunakan mesin incinerator, karena bangunan TPS belum memiliki akses listrik. Meskipun belum sempurna, sistem ini cukup efektif untuk meredam krisis penumpukan sampah di Desa Tlekung.
Dalam upaya meningkatkan efektivitas pengelolaan sampah, tim pengelola TPS3R Desa Tlekung juga melakukan studi banding ke beberapa TPA antara lain di Banyumas, Jogja, dan Bali. Kunjungan mereka membuka wawasan baru akan praktik pengelolaan sampah yang lebih modern dan berkelanjutan. Meski keterbatasan anggaran dan infrastruktur masih menjadi tantangan, mereka berkomitmen untuk mulai menerapkan inovasi-inovasi tersebut secara perlahan dan bertahap.
Keterlibatan Masyarakat dan Edukasi
Pemerintah Desa Tlekung telah mengedukasi warga tentang pentingnya memilah sampah sejak dari rumah. Upaya ini bertujuan untuk memaksimalkan peran TPS3R dalam mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA. Jambul mengakui diperlukan proses yang dilalui cukup lama untuk mencapai kesadaran kolektif dalam memisahkan jenis sampah. Dengan perlahan tapi pasti, ia menyebutkan bahwa sudah 75% warganya memisahkan sampah organik dan non-organik sebelum diangkut petugas. Suatu langkah kecil yang membantu meringankan beban petugas di lapangan.
Tak hanya dikerjakan oleh petugas, gerakan peduli sampah di Desa Tlekung juga menggema hingga ke ruang-ruang ibadah. Jamaah masjid setempat turut ambil peran dalam menyuarakan pentingnya pemilahan sampah sejak dari rumah. Melalui pengajian, khutbah Jumat, hingga kegiatan rutin keagamaan lainnya, mereka menyelipkan edukasi seputar pemisahan sampah organik dan anorganik kepada masyarakat.
Menuju Pengelolaan Sampah Berkelanjutan
Lebih dari sekadar TPS, tempat ini adalah simbol perlawanan terhadap ketergantungan dan ketidakberdayaan. Di sinilah warga Desa Tlekung membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil, dari subuh-subuh yang sunyi namun penuh dedikasi. Karena bagi mereka, menjaga lingkungan bukan semata tugas pemerintah, melainkan kewajiban bersama.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, upaya Desa Tlekung dalam mengelola sampah secara mandiri melalui TPS3R merupakan langkah positif menuju pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan dukungan pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, diharapkan TPS3R dapat berfungsi optimal dan menjadi contoh bagi desa-desa lain dalam mengatasi permasalahan sampah.