
Geograph.id– Wafer kaleng, permen berlapis alumunium, dan toples biskuit menjadi suguhan klasik di hampir setiap rumah saat Lebaran tiba. Tak ketinggalan minuman bersoda dalam kaleng, yang disajikan dingin demi menyambut tamu dengan kesan spesial. Namun, di balik keramahan dan kemeriahan itu, menggununglah jejak-jejak sampah yang diam-diam menambah beban bumi. Satu atau dua kaleng mungkin tampak sepele, tapi bagaimana jika jutaan rumah tangga melakukan hal yang sama? Apakah tradisi suguhan Lebaran harus terus dilanggengkan dengan mengorbankan keberlanjutan bumi?
Suguhan Kalengan Pelengkap Lebaran
Setiap menjelang Lebaran, hampir semua rumah menyulap meja tamu mereka menjadi etalase jajanan. Dari wafer kaleng warna-warni, biskuit dalam toples plastik besar, hingga aneka permen yang dibungkus alumunium mengilap. Semua itu dianggap simbol keramahan, penghormatan, dan tentu saja tradisi. Wafer kaleng bukan sekadar kudapan, tapi sudah menjelma menjadi bagian dari identitas Hari Raya.
Selain suguhan makanan, minuman kaleng seperti soda dalam kemasan logam juga menjadi andalan saat menyambut tamu. Kebiasaan menyajikan makanan dan minuman dalam kemasan kaleng sudah menjadi budaya tak tertulis saat Lebaran. Selain praktis, kemasan ini juga memberi kesan “wah” dan lebih higienis.
Namun, budaya konsumsi instan ini menyisakan satu konsekuensi besar, limbah anorganik yang sulit terurai. Konsumsi massal produk ini hanya memberi kepuasan sesaat tapi meninggalkan dampak panjang. Banyak minuman kalengan juga dibungkus dengan stiker plastik atau lapisan campuran yang menyulitkan daur ulang.
Berdasarkan data Sustainable Waste Indonesia, volume sampah selama periode Lebaran meningkat hingga 30% dibanding hari biasa, dengan kemasan makanan dan minuman instan menjadi penyumbang utama. Kaleng berbahan logam, meskipun bisa didaur ulang, sering berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) karena proses pemilahannya yang tidak optimal di rumah tangga.
Ketika perayaan selesai dan suasana kembali hening, yang tersisa adalah tumpukan kemasan. Kaleng kosong yang memakan ruang. Bungkus plastik yang tercecer. Dan toples bekas biskuit yang terlalu bagus untuk dibuang, tapi terlalu banyak untuk digunakan kembali.
Masalah Sistemik Pengolahan Kaleng
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume sampah rumah tangga di Indonesia melonjak tajam sekitar 10–20% selama periode Lebaran. Sebagian besar berasal dari limbah kemasan makanan baik makanan instan, hampers, maupun suguhan tamu seperti wafer dan kue kering dalam kemasan mewah.
Kaleng logam dan plastik yang digunakan untuk mengemas makanan ringan ini memerlukan proses produksi energi tinggi dan nyaris tidak terurai secara alami. Bahkan jika dibuang dengan benar, tidak semuanya bisa didaur ulang secara efisien karena terbentur sistem pemilahan sampah yang masih buruk. Hasilnya, tumpukan kaleng dan plastik mendekam di TPA, menambah jejak karbon dan memperparah krisis sampah nasional.
Berbeda dengan bungkus plastik yang bisa dilipat, kaleng adalah jenis sampah yang memakan ruang lebih besar. Ketika tidak dihancurkan sebelum dibuang, kaleng mempertahankan bentuk aslinya selama bertahun-tahun di TPA. Di beberapa wilayah, kaleng bahkan dibakar bersama sampah lain, melepaskan zat-zat logam berat dan gas berbahaya ke udara, memperparah pencemaran udara lokal.
Selain itu, proses pembuatan kaleng sendiri tidaklah ramah lingkungan. Produksi alumunium, salah satu bahan utama kaleng, membutuhkan energi tinggi dan menyisakan jejak karbon yang besar, termasuk emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.
Estetika Mengalahkan Etika
Kemasan produk Lebaran kerap dibuat semenarik mungkin demi tampilan. Warna emas yang mengkilap, desain mewah, hingga bentuk kaleng unik seperti tabung besar. Tapi di balik daya tarik visual itu, sangat sedikit perhatian diberikan pada aspek keberlanjutan.
Alih-alih mengutamakan kemasan ramah lingkungan, produsen justru berlomba-lomba menciptakan tampilan mencolok. Padahal, sebagian besar kemasan tersebut hanya digunakan sekali kemudian dibuang. Praktik ini mendorong budaya konsumsi berlebih yang tidak hanya tidak efisien, tetapi juga merugikan bumi.
Daur Ulang Kaleng? Gampang di Ucap, Sulit di Akses
Banyak yang beranggapan bahwa kaleng logam mudah didaur ulang. Kenyataannya, proses daur ulang membutuhkan pemilahan yang ketat dan infrastruktur yang memadai. Dua hal yang belum merata di banyak daerah di Indonesia. Bahkan di kota besar sekalipun, masih banyak masyarakat yang mencampur sampah organik dan anorganik dalam satu tempat, membuat proses daur ulang jadi tidak mungkin dilakukan.
Selain itu, logam berlapis cat atau plastik di bagian dalam kaleng, seperti yang banyak digunakan dalam kemasan makanan ringan, tidak selalu bisa diolah ulang dengan mudah. Alhasil, upaya ‘niat baik’ menyimpan dan mengumpulkan kaleng bekas sering kali tidak berakhir menjadi solusi nyata.
Suguhan yang Tidak Sekadar Manis di Lidah
Tradisi bukan alasan untuk mengabaikan dampak lingkungan. Masyarakat bisa mulai mempertimbangkan alternatif lain yang lebih ramah bumi. Misalnya, menyajikan makanan buatan sendiri dalam toples kaca isi ulang, menggunakan wadah daur ulang yang bisa digunakan bertahun-tahun, atau membeli dari produsen lokal yang mengedepankan kemasan minim sampah.
Lebaran seharusnya menjadi momentum untuk saling berbagi dan merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menahan hawa nafsu. Namun jika setelah itu justru kita meninggalkan jejak-jejak destruktif terhadap bumi, untuk apa semua pengendalian diri yang sudah dilakukan? Mungkin sudah saatnya kita memperluas makna “kemenangan” yang tak hanya menang atas diri sendiri, tapi juga menang atas ego konsumtif yang diam-diam merusak lingkungan.
Kita tentu ingin merayakan Lebaran dengan penuh kehangatan, membagikan kebahagiaan lewat suguhan manis di meja. Tapi mari kita sadari bahwa manis di lidah tak harus berarti pahit bagi lingkungan. Karena sejatinya, keramahan tidak hanya ditunjukkan kepada tamu yang datang, tapi juga pada bumi yang menjadi rumah bagi kita semua.