
Geograph.id – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat secara resmi mengajukan gugatan uji formil terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) atau UU Konservasi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kelompok masyarakat sipil menilai regulasi baru tersebut justru membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang selama ini berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan.
Keterbukaan Proses UU Konservasi Dipertanyakan di Mahkamah Konstitusi

Dalam sidang uji materil perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024 yang digelar Selasa (6/5/2025) lalu, terungkap bahwa proses pembentukan UU KSDAHE dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan. Sidang-sidang pembahasan RUU ini sebagian besar dilakukan secara tertutup. Naskah akademik juga tidak pernah dibuka untuk publik atau ditelaah oleh para ahli. Tidak ada perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang hadir dalam sidang tersebut. Sementara pemerintah diwakili oleh Bambang Hendroyono dan Rinekso Soekmadi.
“Dari sekitar dua puluh kali pertemuan, cuma dua yang dibuka untuk umum. Selebihnya berlangsung tertutup. Hal ini diakui sendiri oleh pemerintah di sidang MK, bahkan diperkuat juga oleh saksi dari pihak Pemohon,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan HAM dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dikutip dari Teras.id.
Dalam persidangan, hakim MK Saldi Isra mengkritik inkonsistensi keterangan saksi dari pihak pemerintah. “Peristiwa itu, kan, sudah Pak Bambang lalui, kok dicek lagi? Kata Pak Bambang diserahkan. Kata Pak Rinekso tidak. Ini kita catat saja, ya,” pungkas Saldi, melansir dari Mongabay.
Kata Warga Sipil
Masyarakat sipil turut hadir di ruang sidang, antara lain AMAN, WALHI, KIARA, dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong dari Manggarai, NTT, Mikael Ane. Para pemohon menilai UU KSDAHE melanggar asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masalah utamanya menyangkut asas kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta keterbukaan sebagaimana tercantum dalam UU 13/2022 tentang pembentukan peraturan perundang‑undangan.
Lasti Faradilla Noor dari International Congress and Convention Association (ICCA) Indonesia juga menyoroti fakta bahwa masukan masyarakat dalam bentuk Daftar Inventaris Masalah (DIM) tidak diakomodasi. “Untuk apa kami dihadirkan dan dilibatkan jika tidak ada maknanya, karena pemerintah sendiri bilang bahwa DIM hanya bisa disusun oleh pembentuk undang,” kritiknya, dilansir dari Teras.id.
Selain prosedural, UU KSDAHE juga dinilai bermasalah secara substansi. Salah satunya adalah Pasal 8 ayat (4) dan (5) yang mewajibkan pemegang hak atas tanah di kawasan preservasi untuk menyerahkan haknya jika menolak melakukan kegiatan konservasi. Ketentuan ini disertai imbalan berupa ganti rugi. Hal ini dinilai berpotensi memaksa masyarakat adat menyerahkan tanah adatnya. Alih-alih menjadi payung hukum bagi konservasi, malah berbalik menyerang.
Para pemohon meminta MK menyatakan UU KSDAHE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka juga meminta agar UU No. 5/1990 serta pasal-pasal tertentu dalam UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air diberlakukan kembali.