
Kangean, Sumenep, Jawa Timur — Di tengah lautan biru yang memancarkan kilauannya, ratusan nelayan dan warga Kepulauan Kangean menyalakan gelombang protes. Mereka mengepung kapal survei migas, memprotes laporan bahwa Kepala Desa setempat memihak instruksi Bupati untuk membuka jalan bagi aktivitas ekplorasi. Konflik ini menjadi refleksi tajam antara janji pembangunan dan kenyataan yang dihadapi masyarakat pesisir.
Aksi di Balai Desa dan Laut
Pada Kamis, 2 Oktober 2025, warga Desa Kolo-Kolo, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean , menggelar demonstrasi di balai desa. Mereka menolak keras rencana eksplorasi migas yang menurut mereka tidak transparan dan berpotensi merusak laut sekitar. MediaJatim melaporkan bahwa para pengunjuk rasa menuding kepala desa memihak keputusan Bupati Sumenep untuk melanjutkan izin pertambangan.
Sebelumnya, pada 16 September 2025, sekitar 300 orang dengan 55 perahu melakukan aksi di laut, mengejar kapal yang diduga milik PT Kangean Energy Indonesia (KEI) yang melakukan survei seismik di perairan Kangean Barat. Kapal tersebut berusaha menghindar di laut lepas, namun warga mengejarnya hingga 14 mil ke barat Pulau Komerean.
Koordinator aksi, Ahmad Yani, menyebut bahwa aktivitas survei seismik di wilayah itu adalah pintu masuk untuk eksplorasi migas penuh, yang jika dibiarkan akan menghancurkan ekosistem laut dan mengikis mata pencaharian nelayan lokal. “Pengeboran bila terjadi (limbah kimia, tumpahan minyak, perubahan suhu) dampaknya akan meluas, tidak hanya ke laut, tapi ke daratan pulau kita sendiri,” katanya.
Kekhawatiran Lingkungan & Riwayat Penolakan
Kekhawatiran warga bukan tanpa dasar. Pulau Kangean telah lama menjadi lahan yang dihuni antara perusahaan migas dan masyarakat. Sejak Juni 2025, publikasi Mongabay mengungkap bahwa warga menolak survei seismik 3D oleh KEI karena khawatir proyek itu membuka ruang bagi eksploitasi migas penuh.
Selanjutnya, Anatomi Pertambangan Indonesia (API) pada Juni 2025 mendesak pencabutan izin operasi KEI di Blok Kangean, menyoroti bahwa meluasnya pulau kecil akan merusak identitas komunitas maritim dan ekologi pulau itu sendiri.
Dalam konteks ini, pemaksaan warga Kangean bukan sekedar aksi spontan, melainkan bagian dari reaksi akumulatif terhadap kebijakan yang dianggap tidak mendengar suara lokal.
Konflik Lokal & Kepemimpinan
Salah satu titik perlawanan utama adalah tuduhan keberpihakan kepala desa terhadap instruksi Bupati. Bagi sebagian warga, hal ini mencerminkan bagaimana kebijakan pusat atau kabupaten bisa menembus struktur pemerintahan desa dan melibatkan suara lokal.
Ketidakpercayaan itu semakin diperparah oleh lemahnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam proses izin dan studi lingkungan (AMDAL). Aktivis lingkungan lokal dan nasional sering menyoroti bahwa “sosialisasi” sering berubah menjadi formalitas proyek tanpa melibatkan masyarakat dalam menentukan lokasi survei, mitigasi risiko, atau hak akses laut mereka.
Taruhan Ekonomi vs Kedaulatan Laut
Di satu sisi, pemerintah dan perusahaan migas sering menjanjikan investasi, lapangan kerja, dan kontribusi terhadap ketahanan energi nasional. Di sisi lain, warga pesisir yang sehari-hari melaut melihat dampak nyata: laut yang semakin sempit ruangnya, habitat ikan berkurang, dan risiko pencemaran semakin nyata.
Nelayan menyatakan bahwa selama puluhan tahun KEI beroperasi, keuntungan besar sering dirasakan korporasi, sementara masyarakat lokal harus menghadapi batasan akses laut hingga pasokan listrik yang tidak stabil.
Konflik ini menyingkap dilema besar: pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam vs hak atas ruang hidup dan ekosistem kelestarian. Jika pemerintah memilih yang pertama tanpa mengedepankan yang kedua, maka konflik seperti di Kangean akan terus muncul sebagai luka struktural.
Titik Tekan Kebijakan & Tuntutan Warga
Dari laporan aksi dan tuntutan warga, muncul sejumlah poin utama:
- Pencabutan izin survei seismik dan eksplorasi, warga meminta agar kegiatan KEI dan GSI dihentikan total.
- Transparansi proses izin & AMDAL, masyarakat menuntut agar setiap keputusan di laut atau darat diikutsertakan dalam konsultasi publik yang bermakna.
- Jaminan ruang laut nelayan, akses melaut tidak boleh dikorbankan demi hak korporasi.
- Ganti kerugian & perbaikan saat terjadi dampak, bukan retorika, tetapi skema yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Keterlibatan lokal dalam pengawasan & implementasi, bukan hanya menerima keputusan, tetapi menjadi bagian dari pengelolaan.
- Tuntutan ini bukanlah hal baru, mereka telah disuarakan berkali-kali sejak diperkuatnya mahasiswa Kangean yang menerobos rapat DPRD Sumenep di Yogyakarta, menolak Survei Seismik migas (Juli 2025).
- detikcom
Perspektif Hukum & Ancaman Ekologis
Blok Kangean berada di gugusan pulau kecil. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil memiliki perlindungan khusus terhadap aktivitas yang merusak lingkungan.
Namun izin-izin sering diberikan melalui interpretasi longgar atau dukungan dari pejabat daerah. Aktivitas seismik, pengeboran, dan pembangunan fasilitas pendukung (pipa, stasiun produksi) berpotensi mencemari laut, meningkatkan sedimentasi, dan merusak terumbu karang serta zona penangkapan ikan.
Beberapa pengamat menyebut bahwa jika terjadi tumpahan minyak atau kebocoran pipa, dampaknya bisa meluas ke laut di sekitarnya dan memicu migrasi ikan, menurunnya kualitas udara, dan kerusakan jangka panjang terhadap ekosistem laut di Kepulauan Madura dan sekitarnya.
API menyebutkan bahwa KEI pernah merusak zona tangkapan lokal saat beroperasi di Pagerungan, dan kini dorongan ekspansi ke Kangean Barat memberi sinyal bahwa beban risiko akan semakin melebar.
Konflik Tak Bisa Diabaikan
Demonstrasi warga Desa Kolo-Kolo dan aksi yang dikirimkan oleh para nelayan menjadi simbol kuat bahwa konflik di Kangean bukan sekadar konflik lokal, ia adalah pertaruhan nilai antara pembangunan dan kelestarian, antara janji negara dan realitas masyarakat pesisir.
Keputusan-keputusan yang diambil hari ini, mengenai izin, regulasi, dan partisipasi masyarakat – akan menjadi penanda apakah Indonesia benar-benar mampu menjadikan sumber daya alam sebagai kekayaan kolektif, bukan ladang eksploitasi ekslusif.
Jika suara lokal terus diabaikan, potensi konflik akan terus membara. Laut Kangean punya cerita, bukan sekedar minyak di bawahnya.