Elbi Pieter: Sang Penjaga Sangihe, Melawan Raksasa Tambang demi Masa Depan Pulau

Gambar: Kompas Daerah, Elbi Pieter

Geograph.idElbi Pieter, seorang ibu rumah tangga berumur 55 tahun tinggal di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Ia memiliki lima orang anak. Elbi mencari nafkah bersama pasangannya dengan melaut dan berkebun. Dia mengubah hidupnya karena peristiwa pada awal tahun 2021.

Elbi menerima undangan dari PT Tambang Mas Sangihe pada saat itu. Ia baru sadar setelah menghadiri acara sosialisasi yang diadakan perusahaan itu: tanah tempat kebun dan rumahnya ternyata termasuk izin konsesi pertambangan emas.

Elbi Pieter tidak mau menyerahkan tanahnya. Dia dan warga Sangihe lainnya menggugat keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Mereka meminta pengadilan untuk membatalkan persetujuan pemerintah terhadap operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe. 

Gugatan tersebut dinyatakan menang di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung pada Januari 2023. Semua izin yang diberikan oleh Menteri ESDM kepada perusahaan emas itu dibatalkan.

Namun, keadaan di Pulau Sangihe seluas 1.012 km2 yang dikuasai oleh perusahaan tidak berubah meskipun putusan hukum telah ditetapkan.

Beberapa pekan sebelumnya, Elbi tengah berbicara di sebuah acara yang diadakan oleh kelompok masyarakat sipil.

‘Elbi Pieter: Antara Mati Tercemar atau Membangun Kehidupan Baru’

Gambar: Kompas.id

Di Manado, Elbi kalang kabut dengan berbagai permasalahan di sekitarnya, bahkan dia berpikir tentang apakah dia dan keluarganya bisa meninggalkan Sangihe dan tinggal di tempat lain.

“Kalau pindah, kami harus mencari tanah untuk membuat rumah. Lalu bagaimana anak dan cucu kami bisa sekolah? Kami harus memulai kehidupan dari awal dengan orang-orang baru di sekitar kami,” ujarnya.

“Suami saya bilang, izinkan kami memulai dari nol, semuanya. Kalau di kampung enak karena sudah membangun keakraban dengan tetangga dan saudara. Jadi hidup terasa aman dan damai,”

“Pindah butuh biaya banyak. Dari mana kami bisa mendapatkan uang itu? Kalau kami jual tanah, bagaimana masa depan anak-cucu nanti?” Imbuh Elbi.

Di Sangihe, perhatian Elbi sudah memperhatikan hal yang paling penting: makanan. Warga Sangihe mengandalkan sembako yang ditanam dan dikirim dari luar pulau. Warga juga bertani untuk menghasilkan tomat, jahe, singkong, keladi, dan merica serta mencari ikan untuk dimakan.

Sejak penambangan emas meluas di Sangihe, aktivitas melaut dan berkebun berubah. Elbi tidak mau makan ikan yang ditangkap di sekitar hutan bakau Sangihe. Laut menjadi keruh, itulah alasannya. Dia takut sianida yang dipakai penambang telah mencemari ikan.

Elbi mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah memastikan bahwa ikan itu masih aman untuk dikonsumsi. “Pemerintah tidak pernah memastikan apakah ikan itu masih aman dikonsumsi,” ujar Elbi.

“Saya tidak ingin keluarga saya menderita. Seorang ibu muda baru saja beroperasi di Manado, sebelum berangkat dia meminta dukungan doa kepada saya. Tapi satu hari setelah operasi dia meninggal,” ujarnya.

“Siapa yang tidak takut? Bukan cuma satu atau dua orang yang sudah meninggal karena penyakit benjolan. Mungkin dia punya penyakit lain, tapi saya tetap merasa takut kalau harus makan hasil laut Sangihe,” tutupnya.

‘Mencari Cahaya di Tengah Kegelapan Keluarga dan Kebun’

Gambar : Betahita

Kisah serupa di pulau kecil lainnya, datang dari penduduk pulau kecil Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, juga mengalami masalah serupa. Namun, nikel adalah komoditas paling populer di Wawonii saat industri mobil listrik muncul sebagai bagian dari ‘gerakan hijau’.

Di Wawonii mendapati keadaan yang serius. Sumber air Wawonii menjadi keruh. Selain itu, penduduk mengatakan bahwa kebun yang selama ini memberikan pasokan makanan dan pendapatan tidak lagi produktif setelah penambangan dilakukan.

Warga Desa Dompo-Dompo Jaya, Yamir, mengatakan bahwa hasil panen jambu mete keluarganya tahun ini hanya 270 kilogram. Dia mengatakan keluarganya pernah mengumpulkan lebih dari satu ton jambu mete pada tahun-tahun sebelumnya. Yamir mengatakan bahwa debu pertambangan menutup bunga pohon jambu mete di pangkalnya. Akibatnya, tanaman itu tidak mengalami pertumbuhan yang wajar.

“Di laut permasalahan pun sama. Sempat hujan deras pada Maret 2023, warna air bukan lagi kotor, tapi berlumpur,“ ujar Yamir.

“Endapan lumpur itu menutup karang, padahal karang itu tempat berkembang biaknya ikan, yang dianggap sebagai nelayan tradisional,” ujarnya.

Hubungan kekerabatan yang retak karena aktivitas penambangan membuat Yamir terpukul paling banyak. Orang Wawonii berbeda pendapat: beberapa mendukung perusahaan, yang lain menentangnya.

Sistem gotong-royong kami sangat kuat pada saat itu. Masyarakat akan datang sendirian ke acara apa pun, seperti hajatan atau kegiatan lain yang mengumpulkan orang. Yamir mengatakan bahwa kebiasaan berubah sejak perusahaan datang. 

“Dahulu sistem gotong-royong kami sangat kuat. Apapun pekerjaan, misalnya hajatan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan banyak orang, tanpa diundang pun masyarakat akan datang dengan sendirinya. Semenjak perusahaan datang, kebiasaan itu berubah, “kata Yamir.

“Saya sangat sedih. Ada sebuah keluarga yang bahkan sampai mengeluarkan anak kandung dari kartu keluarga. Itu nyata. Ada yang menceraikan gara-gara persoalan ini,” ungkapnya.

‘Sudah Jatuh Tertimpa Tangga’

Gambar: BBC

Di luar pertambangan, peningkatan kualitas udara laut yang disebabkan oleh proses perubahan iklim membuat penduduk pulau kecil saat ini lebih rentan.

Penelitian dari berbagai negara, termasuk yang dilakukan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), menemukan fakta-fakta tersebut.

IPCC mengatakan pulau-pulau kecil berpotensi kehilangan daya yang diperlukan untuk bertahan hidup, berdasarkan prediksi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius.

IPCC menyatakan bahwa selain hilangnya risiko keanekaragaman hayati, penduduk pulau kecil juga terancam krisis air bersih, penurunan kesehatan, dan kehancuran tradisi asli.

Dalam sebuah penelitian akademis yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Universitas Hasanuddin dan Universitas Nasional Australia, para peneliti, termasuk Profesor Budy Resosudarmo, menemukan bahwa masyarakat pulau kecil juga sangat rentan karena ketahanan pangan mereka sangat sensitif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

“Kekayaan ragam pangan pokok lokal membuat masyarakat Sangihe seharusnya tidak bergantung pada satu jenis makanan pokok,” kata penulis penelitian kolaboratif lainnya yang diterbitkan di Jurnal Pangan.

Para peneliti artikel tersebut menemukan total 34 jenis pangan lokal, salah satunya adalah daluga, yang termasuk dalam kategori umbi-umbian.

Namun, Elbi Pieter mengatakan bahwa tidak mungkin dia dan penduduk Sangihe beralih ke makanan alternatif seperti daluga.

“Kami biasa makan daluga sebagai cemilan. Setelah makan nasi, barulah kami makan daluga. Itu tidak bisa mengganti bahan makanan seperti beras atau sagu,” ujarnya.

”Daluga memang seperti talas. Tapi tidak mungkin setiap hari makan itu. Anak-anak lebih suka beras dan sagu,” ujar Elbi.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *