Jakarta (31/08/2025) – Kemarahan rakyat Indonesia kembali meledak. Sejak akhir Agustus, ribuan mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online turun ke jalan, memprotes kebijakan DPR yang menyetujui kenaikan tunjangan fantastis bagi anggotanya. Keputusan itu dianggap mencolok, di tengah stagnasi upah dan mahalnya biaya hidup.
Namun kemarahan publik tidak berhenti pada soal tunjangan. Tragedi di Jakarta pada 28 Agustus mengubah arah demonstrasi. Seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat melintas di kawasan Pejompongan. Nyawa yang melayang di tengah hiruk pikuk demonstrasi membuat aksi protes berubah dari sekadar isu gaji elite menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan negara.
Elite yang Melenggang Pergi
Ketika ribuan orang dipukul mundur oleh gas air mata, sebagian anggota dewan justru terlihat pergi ke luar negeri. Langkah itu menambah bara kemarahan publik yang merasa ditinggalkan.
Di saat yang sama, sebuah video viral memperlihatkan tiga orang pria (dari dalam gedung pemerintahan) duduk santai sambil makan mie instan, menonton ribuan demonstran di luar. Salah satu dari mereka merekam dengan ponsel, seakan menyaksikan tontonan jalanan. Bagi banyak orang, rekaman itu adalah simbol nyata dari jurang antara rakyat dan elite: yang di bawah berjuang, yang di atas menertawakan.
Api dari Jakarta Menjalar ke Daerah
Tragedi Affan Kurniawan menjadi percikan yang menjalar ke seluruh negeri. Dalam dua hari, gelombang demonstrasi meluas:
- Makassar: Gedung DPRD dibakar, tiga orang meninggal dunia.
- Cirebon, Pekalongan, NTB: Gedung-gedung DPRD dirusak dan dibakar.
- Jakarta: Bentrokan berulang di depan DPR, ribuan mahasiswa dan ojol bergabung.
Presiden Prabowo Subianto membatalkan kunjungan luar negeri ke Tiongkok dan tetap berada di dalam negeri. Sementara itu, pasar keuangan berguncang: indeks saham anjlok, rupiah melemah ke level terendah dalam sebulan.
Algoritma vs Aparat
Demonstrasi kali ini punya wajah baru: jalan raya dan media sosial menyatu sebagai medan perlawanan.
Video aparat menyerang demonstran, rekaman “mie instan” dari gedung pemerintahan, hingga orasi mahasiswa tersebar luas di TikTok, Instagram, dan X.
Pemerintah sampai meminta TikTok membatasi siaran langsung, khawatir misinformasi dan provokasi. Tetapi, upaya membungkam justru membuat narasi lain muncul: “demo zaman now, algoritma melawan aparat.”
Jurang yang Semakin Lebar
Di satu sisi, rakyat bersatu menuntut keadilan: mahasiswa, buruh, ojol, hingga pelajar. Di sisi lain, wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan aspirasi justru sibuk melancong ke luar negeri atau bersantai menonton dari jendela.
Kontras inilah yang membuat gelombang protes semakin besar. Isunya bukan lagi sekadar tunjangan, tapi soal empati yang hilang, tentang elite yang semakin jauh dari rakyatnya.
Pertanyaan yang Menggantung
Kini, Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah gelombang protes ini akan reda sebagai siklus kemarahan sesaat, atau menjadi titik balik bagi demokrasi yang lebih sehat?
Asap gas air mata di Jakarta memang perlahan memudar. Tetapi di layar ponsel, video Affan Kurniawan dan rekaman tiga pria dengan mie instan terus beredar, menjadi pengingat bahwa jurang antara rakyat dan elite masih menganga lebar.
Dan dari jalanan hingga jagat digital, suara rakyat terus menggema: “Kami ada, apakah kalian melihat?”