Geograph.id– Kasus pemagaran laut di pesisir Kabupaten Tangerang, terus menjadi sorotan publik seiring dengan berlanjutnya proses penyelidikan dan penindakan dari berbagai pihak berwenang. Kasus yang bermula dari temuan pagar laut sepanjang hampir dua kilometer berdiri secara ilegal. Pembangunan pagar laut menghambat aktivitas nelayan tradisional setempat. Proyek pemagaran tersebut berdiri di atas wilayah perairan yang seharusnya menjadi ruang publik dan zona penangkapan ikan bagi masyarakat pesisir.
Penyidikan yang dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya unsur korupsi atau kerugian negara dalam proyek tersebut. Hal ini disampaikan setelah mereka berkonsultasi dengan BPK dan menilai bahwa tidak ada indikasi kerugian finansial bagi negara. Meskipun ada unsur pemalsuan dokumen dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah (SHGB dan SHM). Pandangan ini menuai kritik karena dinilai terlalu menyederhanakan permasalahan yang berdampak langsung pada masyarakat dan lingkungan pesisir.
“Melihat posisi kasus tersebut fakta yang dominan adalah terkait pemalsuan dokumen dimana tidak menyebabkan kerugian negara terhadap keuangan negara ataupun perekonomian negara,” jelas Direktur Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro di Mabes Polri Kamis (10/4/2025) yang dikutip dari laman tempo.co. Lebih lanjut, Djuhandhani menjelaskan dengan mengacu pada keputusan MK No 25/PUU-XIV/2016, tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata.
Kejagung Serahkan Berkas Kasus Pagar Laut
Sementara itu, Kejaksaan Agung justru meminta agar penyidikan dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kejagung menduga ada praktik suap dan gratifikasi serta penyalahgunaan jabatan dalam proses penerbitan sertifikat tanah di wilayah perairan tersebut. Mereka bahkan mengembalikan berkas perkara ke Bareskrim pada (24/3/2025) agar dapat dilengkapi dengan pasal-pasal terkait korupsi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan berkas perkara belum diperbaiki oleh penyidik kepolisian sesuai arahan JPU.
“Karena setelah petunjuknya JPU dari Pidum itu diserahkan, termasuk SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), ini bukan tindak pidana umum, tapi pidana khusus, sidiklah tipikor,” terang Harli yang dikutip dari laman rm.id.
Bareskrim sendiri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Kepala Desa Kohod Arsin, Sekretaris Desa Ujang Karta, serta dua pihak penerima kuasa. Keempatnya diduga berperan dalam pemalsuan dokumen kepemilikan tanah yang menjadi dasar hukum pembangunan pagar laut tersebut. Keabsahan terhadap 58 sertifikat tanah yang terbit di area itu juga tengah dikaji ulang karena kuat dugaan dokumen tersebut tidak sah.
Perbedaan pandangan antara dua lembaga penegak hukum kini menjadi sorotan publik. Perkembangan terbaru kasus ini mencerminkan tarik ulur kepentingan antara penegakan hukum, perlindungan ruang laut, dan hak masyarakat pesisir. Pemerintah dan aparat penegak hukum didesak untuk bersikap transparan dan berpihak pada kepentingan publik agar ruang laut tetap menjadi milik bersama, bukan dimonopoli untuk kepentingan pribadi maupun korporasi.