
Geograph.id – Gaya hidup vegan makin digemari anak muda karena dinilai lebih sehat dan ramah lingkungan. Tapi benarkah semudah itu menyelamatkan bumi lewat isi piring?
Gen Z dikenal sebagai generasi yang vokal soal krisis iklim. Mereka tak hanya turun ke jalan dan ramai di media sosial, tapi juga mulai mengubah gaya hidup dari hal-hal kecil, termasuk soal makanan. Tren vegetarian dan vegan pun kian populer di kalangan anak muda.
Vegan sendiri merujuk pada gaya hidup yang menghindari semua bentuk konsumsi dan eksploitasi terhadap hewan. Dalam konteks makanan, vegan berarti tidak mengonsumsi produk hewani sama sekali, termasuk daging, ikan, susu, dan berbagai olahan yang berasal dari hewan. Bagi banyak dari mereka, ini bukan cuma soal hidup sehat, tapi juga bentuk kepedulian terhadap bumi.
Makan Tanpa Daging, Emisi Berkurang?
Menurut laporan Pew Research Center, Gen Z menunjukkan kepedulian terhadap isu lingkungan yang jauh lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Salah satu bentuk konkretnya? Mengurangi konsumsi daging atau bahkan sepenuhnya beralih ke pola makan berbasis tanaman.
Secara logis, keputusan ini memang masuk akal. Produksi makanan nabati cenderung lebih hemat sumber daya dan menghasilkan emisi lebih sedikit dibandingkan peternakan hewan. Dalam studi Environmental Research Letters, disebutkan bahwa gaya hidup vegan dan ovo-lakto vegetarian bisa menurunkan emisi masing-masing hingga 50% dan 35% dibandingkan diet biasa.
Tak hanya itu, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru menyebutkan bahwa sektor pertanian dan penggunaan lahan menyumbang emisi terbesar ketiga di dunia, setelah sektor energi dan industri. Bahkan, daging sendiri menyumbang hampir 60% dari emisi gas rumah kaca global yang berasal dari produksi pangan. Jadi, secara logika, mengurangi daging = mengurangi emisi.
Sistem Pangan Lebih Kompleks Ketimbang Pilihan Menu
Sains masih terus berkembang dan diskursus soal hubungan antara pola makan dan perubahan iklim juga belum berhenti. Meskipun banyak penelitian mendukung diet nabati sebagai solusi, kenyataannya tidak selalu begitu hitam-putih.
Frank Mitloehner, ilmuwan dari University of California, mengatakan bahwa daging sering dikaitkan secara tidak proporsional dengan emisi perubahan iklim. Padahal, sistem pangan secara keseluruhan-lah yang lebih menentukan.
Lagi pula, banyak produk vegan hari ini tidak serta-merta bebas masalah. Alpukat dan quinoa, misalnya, adalah bahan populer dalam menu-menu sehat. Meski begitu, keduanya sering diimpor dari negara-negara yang jauh, membutuhkan pengangkutan panjang dan air dalam jumlah besar. Jadi, meskipun berbasis tanaman, jejak karbonnya bisa saja lebih besar dari makanan lokal non-vegan.
Ketika Gaya Hidup Vegan Bukan Jawaban Tunggal
Sebagian besar penelitian tentang manfaat diet nabati berasal dari negara-negara berpenghasilan tinggi. Sementara di banyak negara berkembang seperti Indonesia, tantangannya bisa jauh berbeda. Tidak semua orang punya akses ke makanan nabati berkualitas tinggi, apalagi yang diimpor dan mahal. Belum lagi, ketersediaan lahan, budaya makan, dan faktor ekonomi juga ikut bermain. Artinya, solusi yang cocok di satu tempat belum tentu berhasil di tempat lain.
Pola makan vegan atau vegetarian bisa menjadi langkah awal yang baik untuk menjaga bumi. Tapi, gaya hidup ini bukan satu-satunya solusi. Keseimbangan lingkungan bergantung pada berbagai faktor, mulai dari produksi pangan, kebijakan, hingga konsumsi individu. Gaya hidup vegan bisa membantu, asal dibarengi kesadaran dan kebijakan yang tepat. Pada akhirnya, menyelamatkan planet ini bukan cuma tentang jadi vegan, tapi tentang jadi manusia yang lebih sadar.