Bukan Kolam Susu Hanya Lautan Lumpur, Mengingat Tragedi Lumpur Lapindo

Geograph.id – Tragedi semburan Lumpur Lapindo yang terjadi pada 19 tahun lalu berawal dari aktivitas pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas Inc.Mengetahui ledakan pertama terjadi pada 29 Mei 2006 dan masih mengeluarkan ledakannya bahkan hingga saat ini. Semburan ini telah menenggelamkan desa Siring dan Jatirejo yang berada di kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. 

Pihak Lapindo Brantas memiliki dua teori penyebab terjadinya semburan. Teori pertama semburan lumpur adalah karena adanya kesalahan prosedur pengeboran. Teori kedua penyebab diketahuinya semburan lumpur adalah karena sesuatu yang belum dan hanya kebetulan terjadi pada saat yang sama saat ada aktivitas pengeboran. Menurut banyak pihak, penyebab terjadinya semburan lumpur adalah karena adanya kesalahan dalam prosedur pengeboran. 

Awal Mula Tragedi

PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji 1 pada 18 Mei 2006 untuk melakukan kegiatan eksplorasi gas. Rencana awalnya sumur tersebut akan mencapai kedalaman hingga 8.500 kaki atau sekitar 2.590 meter. Kedalaman tersebut bertujuan untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang injeksi bor ( casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi hilangnya potensi sirkulasi (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Berdasarkan Siaran Pers Lapindo kepada wartawan (15 Juni 2006), PT Lapindo Brantas “sudah” memasang casing 30 inci pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inci pada 1.195 kaki, casing (liner) 16 inci pada 2.385 kaki, dan casing 13 3/8 inci pada 3.580 kaki. Ketika Lapindo menembus lapisan bumi dari kedalaman 3.580 kaki sampai ke 9.297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9 5/8 inci yang direncanakan akan dipasang tepat di batas kedalaman antara formasi Kalibeng Bawah dengan formasi Kujung (8.500 kaki).

Mata bor menyentuh batu gamping atau formasi Klitik pada kedalaman 9.297 kaki, namun Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (berlubang-lubang). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau sirkulasi loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Habisnya lumpur yang di permukaan mengakibatkan formasi lumpur Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor yang tengah berusaha ditarik terjepit sehingga harus dipotong. Operasi pengeboran dihentikan sesuai dengan prosedur standar. Perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pengeboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. 

Kegagalan prosedur terjadi kemungkinan disebabkan oleh fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan penerimaan di permukaan (surface casing) 13 3/8 inci. Pada kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (celah alami) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur karena BOP sudah tertutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi dan berhasil. Inilah mengapa Surface Blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Semburan lumpur panas mulai terjadi pada 29 Mei 2006 pukul 05.30 WIB. Titik suhu berkisar 150 meter dari organisasi. Warga pun mencium bau gas yang menyengat dari semburan tersebut.

“dari rumah saya yang agak jauh dari lokasi pengeboran aja baunya masih menyengat” ujar salah satu warga yang menjadi korban Lumpur Lapindo.

Jumlah lumpur yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik per hari. Jumlah ini dinilai tidak mungkin keluar dari lubang hasil “pengeboran” selebar 30 cm. Karena pendapat dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, maka dibuatlah tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.

Sejak tahun 2006 hingga kini, semburan Lumpur Lapindo telah menggenangi 19 desa di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Porong dengan luas wilayah yang terdampak mencapai 1.143,3 hektare.

Dalam Konferensi dan Pameran Internasional AAPG 2008 yang dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) yang diselenggarakan oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa Bantul 2006 sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara ) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pengeboran.

Semburan lumpur ini tentu membawa dampak negatif yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Hingga Mei 2009, PT Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun. Total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Masih banyak lagi kerugian lain yang dirasakan masyarakat. Bahkan 17 orang dilaporkan meninggal karena bencana ini.

“Saya kehilangan banyak hal, mulai dari materiil sampai pekerjaan saya” Ujar salah satu warga yang menjadi korban Lumpur Lapindo.

“Dari awal proyek ini sudah mendapat banyak persetujuan dari masyarakat dan tokoh agama setempat, namun akhirnya tetap bisa dijalankan” Tambahnya.

Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp 11,27 triliun selama 12 sejak tahun 2006 hingga 2017 untuk penanggulangan bencana. Namun, jumlah tersebut masih belum dapat menuntaskan penanganan ganti rugi. Hal ini karena masih ada warga dan pengusaha yang belum mendapatkan ganti rugi. Pemberian ganti rugi dilakukan dengan cara dicicil kepada setiap korban. 

“Setiap orang berbeda masa pelunasan ganti ruginya, tapi rata-rata 9 tahunan baru lunas” Ujar salah satu korban.

Penanganan Lapindo Sampai Sekarang

Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoarjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50.000 meter kubik per hari menjadi 126.000 meter kubik per hari, untuk memberikan waktu tambahan untuk mengupayakan penguatan semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoarjo.

Keputusan ini pernah mendapat penolakan dari berbagai pihak, antara lain Walhi dan ITS. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektare di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen di sepanjang pantai .

Dampak lumpur itu akan menyebabkan kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektar di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.

Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari pengendapan lumpur lalu membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen udara, sisa bahan mengendap. Kalau udara bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tidak perlu diperlebar, dan tekanan di tanggul bisa dikurangi. Namun sampai tahun 2009 ternyata teori itu tidak bisa membuktikan adanya dampak tersebut. Meski begitu terlihat bahwa lumpur panas dapat mencemari udara.

Bahkan saat ini pengendapan lumpur yang sangat banyak di laut sudah menjadi sebuah pulau yang dikenal dengan nama Pulau Lusi (Lumpur Sidoarjo). Semburan setinggi lebih dari 1 meter masih bisa dilihat sampai sekarang di area pusat semburan. Aroma tidak sedap dari lumpur juga masih sering tercium dari jalan pantura Surabaya-Malang.

Tersangka

Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan tiga belas tersangka yakni:

  1. Edi Sutriono selaku Manajer Pengeboran PT Energi Mega Persada, Tbk.
  2. Nur Rochmat Sawolo selaku Vice President Drilling Share Services PT Energi Mega Persada, Tbk.
  3. Rahenod selaku Supervisor Pengeboran PT Medici Citra Nusa.
  4. Slamet BK selaku Supervisor Pengeboran PT Medici Citra Nusa.
  5. Subie selaku Supervisor Pengeboran PT Medici Citra Nusa.
  6. Slamet Riyanto selaku Project Manager PT Medici Citra Nusa.
  7. Yenny Nawawi selaku Dirut PT Medici Citra Nusa.
  8. Sulaiman bin HM Ali selaku Rig Superintendent PT Tiga Musim Mas Jaya.
  9. Sardianto selaku Toolpusher PT Tiga Musim Mas Jaya.
  10. Lilik Marsudi selaku Driller PT Tiga Musim Mas Jaya.
  11. Willem Hunila selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
  12. Imam Pria Agustino selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc.
  13. Aswan Pinayungan Siregar selaku mantan General Manager Lapindo Brantas, Inc.

Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa Timur mengatakan bahwa UU pencemaran ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup.

Namun perkara pidana tersebut telah dihentikan oleh penyidik Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa dalam perkara perdatanya gugatan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal. Selain itu, adanya perbedaan pendapat para ahli. Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama ahli tambahan, para ahli terkemuka Indonesia dan luar negeri yang tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung fakta kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, namun ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur (tidak ditanggapi).

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *