Garis Depan Perlawanan: Kisah Panjang Perjuangan Rakyat Melawan Industri Ekstraktif di Pesisir dan Pulau Kecil

Eksploitasi tambang di sulawesi utara
Gambar: Tribun Sultra

Geograph.id – Perusahaan nikel mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta pulau-pulau kecil dan pesisir untuk ditambang. Pegiat lingkungan mengatakan keputusan itu harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk menghentikan penambangan di seluruh pulau kecil di Indonesia.

Ketua majelis hakim konstitusi Suhartoyo membacakan keputusannya di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta pada Kamis (21/03). Dalam keputusannya, dia menolak permohonan untuk semuanya. “Menolak permohonan permohonan untuk semuanya,” ujarnya.

MK menyatakan bahwa pertambangan berpotensi memperparah kerusakan ekosistem pulau kecil dan pesisir. Menurut undang-undang, pulau kecil adalah pulau dengan luas tidak lebih dari 2.000 km2.

Menurut MK , aktivitas penambangan dapat berdampak pada ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap keanekaragaman flora dan fauna, sehingga berpotensi menghilangkan peluang ekowisata yang dapat bermanfaat bagi kehidupan flora dan fauna dan kehidupan masyarakat.

Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa bumi, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu juga disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang bermaksud melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum.

“Kewajiban ini kemudian diturunkan dalam bentuk peraturan-undangan sebagai instrumen hukum,” ujar majelis hakim.

Majelis hakim menyatakan bahwa alat tersebut tidak hanya digunakan untuk penindakan, “untuk mencegah, melindungi, dan menghormati yang merujuk pada prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan.”

PT Gema Kreasi Perdana (GKP)

Pihak pemohon, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), sebelumnya meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K UU 1/2014 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

PT GKP meminta penjelasan MK mengizinkan penambangan di pulau pesisir dan pulau kecil. PT GKP memiliki izin penambangan di Pulau Wawonii di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.

Gambar: Tempo Foto

Dalam keputusannya, MK menyatakan bahwa dalil pemohon (PT GKP) tidak dapat dipertimbangkan lagi karena tidak ada hubungan antara Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 35 huruf K UU PWP3K.

Menurut putusan MK, penambangan dapat merusak lingkungan dan masyarakat karena kerentanan pulau-pulau kecil dan pesisir.

Dalam keputusannya, MK menyatakan bahwa kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terjadi hingga saat ini telah merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat.

“Terbukti kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terjadi hingga saat ini, telah merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat,” pertimbangan MK dalam putusannya.

Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil (TAPaK) menyatakan bahwa keputusan MK “harus dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menghentikan penambangan di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia” sebagai tanggapan atas keputusan tersebut.

TPaK mengatakan, “Putusan MK hari ini menunjukkan semangat perjuangan lingkungan, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menjaga kelestarian ekologisnya.”

TPaK mengklaim bahwa keputusan ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010, yang memberikan empat hak konstitusional kepada masyarakat pesisir dan pulau kecil.

Penduduk Pulau Wawonii

Gambar: Tempo

Wilman, penduduk Pulau Wawonii, menganggap keputusan MK sebagai “kemenangan bagi kita semua”.

Menurut rilis TAPaK yang diterima pada hari Kamis (21/03), dia mengatakan, “Harapannya PT GKP bisa meninggalkan Pulau Wawonii sesegera mungkin. Selain itu, kami mendesak kembali MK untuk mengabulkan kasasi terkait IPPKH agar PT GKP berhenti beroperasi.”

Setelah dirilis, TAPaK kemudian meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan evaluasi dan menghentikan penambangan secara keseluruhan di pulau-pulau kecil tersebut.

Anggota TapaK dan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, menyatakan, “Jika pemerintah tidak bisa melakukannya, seluruh masyarakat di pesisir dan pulau kecil harus bersatu untuk menghentikan dan mengeluarkan tambang dari ruang hidup mereka.”

Akibat industri pertambangan, lingkungan ratusan ribu penduduk yang tinggal di 34 pulau kecil di Indonesia mengalami kerusakan. Mereka kini tidak memiliki air bersih lagi, kebun mereka tergusur dan kehilangan kesuburan, dan ikatan keluarga mereka juga hancur.

Sementara pemerintah mengklaim bahwa penambangan akan meningkatkan ekonomi, warga pulau-pulau kecil mengalami banyak kerusakan karena kehadiran tambang.

Seorang penduduk pulau kecil mengatakan

“kemiskinan membuat mereka tidak punya modal untuk keluar dan pindah dari pulau yang sudah tercemar”. Yang berarti hakim konstitusi akan menentukan masa depan keluarganya.

Menurut data Jaringan Anti Tambang (Jatam), hingga Desember 2023. Pemerintah telah memberikan 218 izin usaha pertambangan di 34 pulau kecil dengan total 274.549 hektare.

Selain Wawonii, tambang telah mengubah iklim dan sumber air bersih di beberapa tempat lain. Ini termasuk Pulau Sangihe di Sulawesi Utara; Pulau Gag di Papua Barat; Pulau Bunyu di Kalimantan Utara; dan Pulau Gebe, Pulau Gee, dan Pulau Paka di Maluku Utara.

‘Mahkamah Konstitusi Dihadapkan di Persimpangan Jalan: Memilih Antara Pusat dan Daerah’

Gambar: Ekuatorial

PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) adalah perusahaan yang menggugat MK tentang pertambangan di pulau kecil. Korporasi ini menginduk pada Harita Group. Pemiliknya, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, yang menurut Forbes Real Time Billionaires adalah orang terkaya ke-10 di Indonesia.

Pada April 2023, pemimpin PT GKP memberi tahu BBC Indonesia bahwa mereka beroperasi di Wawonii dengan izin pinjam pakai kawasan hutan yang mereka miliki.

Mereka menolak merusak lingkungan atau mengambil tanah warga. Mereka juga mengklaim bahwa itu membantu perekonomian Wawonii.

Namun, pada bulan September 2023, izin pinjam pakai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibatalkan oleh PTUN Jakarta.

Dalam waktu yang sama, dua gugatan yang diajukan oleh warga Wawonii terhadap Perda 2/2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Konawe Kepulauan 2021–2041 juga dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

Dua keputusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak boleh ada aktivitas penambangan di Pulau Wawonii.

Gambar: Antara

PT GKP kemudian datang ke MK untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dalam rangka perkara hukum ini. Regulasi pengaturan pengelolaan pulau-pulau kecil dan pesisir.

PT GKP bergantung pada keputusan Mahkamah Agung tentang Pulau Wawonii. Menurut Mahkamah Agung, dua pasal dalam keputusan itu menyatakan bahwa penambangan sumber daya mineral di pulau kecil dilarang tanpa syarat.

PT GKP menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah Agung tidak tepat. Oleh karena itu, PT GKP menyatakan bahwa seluruh perusahaan tambang harus menutup operasinya di pulau kecil. Mereka percaya bahwa, meskipun telah membayar sejumlah utang kepada pemerintah, korporasi akan mengalami kerugian.

‘Bagaimana Tanggapan DPR?’

Pemerintah dan DPR telah memberikan komentar mereka tentang gugatan ini selama proses sidang di Mahkamah Konstitusi.

Anggota Fraksi Gerindra Wihadi Wiyanto menyampaikan pendapat DPR pada sidang tanggal 5 Desember 2023.

Meskipun pulau kecil dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Wihadi mengakui bahwa industrialisasi di pulau kecil “seringkali memarjinalkan penduduk setempat”. Dia mengatakan bahwa sebagian besar penduduknya relatif miskin.

Namun Wihadi menyatakan bahwa aktivitas penambangan tidak boleh terjadi di pulau kecil sama sekali. Penafsirannya terhadap istilah “diprioritaskan” yang disebutkan dalam ayat (2) Pasal 23 PT GKP mendorongnya untuk mencapai kesimpulan ini. Pasal tersebut mengungkapkan,

“pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih dari kepentingan berikut: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan lestari; pertanian organik; dan peternakan.”

Wihadi menyatakan, “Secara gramatika, kata ‘diprioritaskan’ dalam pasal tersebut diartikan dalam KBBI sebagai diutamakan atau didahulukan dari yang lain. Oleh karena itu, kegiatan yang diprioritaskan harus didahulukan dibandingkan kegiatan lain selain kegiatan yang diprioritaskan.”

“Oleh karena itu, kata “diprioritaskan” tidak dapat diartikan sebagai larangan mutlak untuk kegiatan lain selain kegiatan yang dianggap prioritas. Dalam hal ini, terkait dengan kegiatan pertambangan di pulau kecil,” ujar Wihadi.

Menurut Wihadi, penambangan di pulau kecil dapat dilakukan jika perusahaan memenuhi beberapa persyaratan, seperti memiliki izin dan tidak mencemari lingkungan.

Victor Gustaf Manoppo, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menyampaikan pernyataan pemerintah pada sidang tanggal 12 September 2023, yang serupa dengan pandangan DPR ini.

Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf k harus dibaca dalam konteks Pasal 2 huruf a undang-undang yang sama, kata Victor.

“Yang jelas, pasal itu mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan tujuan melindungi, mengobservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan menyuburkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ekosistemnya secara berkelanjutan.” Ujarnya.

Share: