
Geograph.id– Tuhan menganugerahi Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah. Dari bentangan hutan tropis di Kalimantan hingga surga bawah laut di Raja Ampat, keindahan yang tak bisa dibantah oleh netra setiap insan yang menyaksikannya. Namun, di balik pesona yang memikat mata, alam Indonesia terus berjalan menuju ke arah eksploitasi yang tiada habisnya dilakukan manusia. Kekayaan alam yang seharusnya diwariskan untuk generasi mendatang kini perlahan “dijual” atas nama pembangunan dan investasi. Dengan perlahan tapi pasti, menggerogoti kelestariannya.
Hutan yang Hilang, Udara yang Tercemar
Indonesia adalah rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia. Namun, setiap tahunnya, jutaan hektar hutan hilang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan proyek infrastruktur skala besar. Global Forest Watch mencatat bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 10 juta hektar tutupan pohon sejak tahun 2001. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia kini berubah menjadi lahan industri yang menghasilkan asap dan limbah.
Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada masyarakat adat yang telah lama hidup berdampingan dengan alam. Mereka kehilangan tanah leluhur, sumber pangan, dan mata pencaharian. Suara mereka sering kali tenggelam dalam gemuruh alat berat yang menggusur rumah mereka demi kepentingan korporasi.
Selain itu, hilangnya hutan juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Laju deforestasi yang semakin cepat juga meningkatkan emisi karbon dioksida yang memperparah pemanasan global. Banjir dan tanah longsor yang semakin sering terjadi di berbagai daerah merupakan konsekuensi nyata dari rusaknya ekosistem hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga alami.
Laut yang Dikuras, Ekosistem yang Terancam
Tidak hanya daratan yang dieksploitasi, lautan Indonesia pun mengalami ancaman serupa. Izin penangkapan ikan dalam skala industri dan eksploitasi sumber daya laut semakin meningkat. Banyak nelayan tradisional kehilangan sumber penghidupan karena persaingan dengan kapal-kapal besar yang menangkap ikan dalam jumlah besar tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Selain itu, proyek reklamasi yang agresif telah menghilangkan banyak pesisir alami, menghancurkan habitat mangrove, dan mengganggu populasi biota laut.
Polusi plastik juga menjadi permasalahan serius. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, dengan jutaan ton limbah plastik berakhir di lautan setiap tahunnya. Sampah ini tidak hanya mencemari pantai dan ekosistem laut, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup spesies laut yang tidak sengaja mengonsumsinya.
Proyek yang Mengorbankan Alam
Di balik rusaknya alam Indonesia, ada kebijakan-kebijakan yang justru mempercepat degradasi lingkungan. Berbagai proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol, bendungan, dan tambang, sering kali mengabaikan analisis dampak lingkungan yang seharusnya menjadi pertimbangan utama. Kebijakan Omnibus Law yang disahkan pada tahun 2020 bahkan mempermudah perizinan bagi investor, termasuk mereka yang beroperasi di sektor ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan.
Salah satu contoh nyata adalah proyek tambang emas di Wabu, Papua. Wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati ini kini terancam oleh eksploitasi besar-besaran. Sementara itu, masyarakat setempat yang selama ini bergantung pada tanah mereka harus berhadapan dengan penggusuran lahan dan pencemaran lingkungan yang tak lagi dapat terhindarkan.
Selain itu, perluasan industri sawit juga terus terjadi, meskipun dampaknya terhadap deforestasi dan konflik agraria semakin nyata. Ribuan hektar hutan di Sumatra dan Kalimantan telah berubah menjadi perkebunan sawit, mengusir satwa liar seperti orangutan dan harimau Sumatra dari habitat aslinya. Ironisnya, banyak perusahaan mengklaim bahwa mereka menerapkan praktik ramah lingkungan, padahal faktanya, eksploitasi terus terjadi tanpa pengawasan yang ketat.
Adakah Harapan?
Meski demikian, di tengah eksploitasi yang semakin masif, masih ada harapan. Gerakan masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan komunitas adat terus berjuang mempertahankan tanah mereka. Upaya konservasi berbasis masyarakat mulai bermunculan, menawarkan alternatif berkelanjutan bagi pembangunan yang ramah lingkungan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi seberapa kaya Indonesia akan sumber daya alam, tetapi seberapa lama kekayaan ini dapat bertahan. Jika eksploitasi terus dilakukan tanpa kendali, bukan tidak mungkin anak-cucu kita hanya akan melihat keindahan Indonesia dari lembaran foto sejarah. Alam yang dulunya megah kini perlahan dijual tanpa kepastian bisa kembali.