Krisis Lingkungan Meningkat, Peran Pemerintah Dipertanyakan

Ilustrasi bumi rusak. Gambar: Pinterest

Geograph.id – Indonesia masih dihantui oleh masalah krisis lingkungan. Fakta bahwa hutan terus menyusut, pencemaran udara yang meningkat, dan bencana iklim yang semakin sering terjadi menunjukkan bahwa Bumi sedang menghadapi masa sulit. Sayangnya, penanggulangan yang dilakukan pemerintah dianggap kurang efektif dan tidak menyentuh akar masalah.

 

Ketika Alam Menjadi Krisis Lingkungan

Indonesia telah menghadapi sejumlah krisis lingkungan dalam beberapa tahun terakhir.  Kerusakan lingkungan telah menjadi kenyataan saat ini, bukan lagi masalah masa depan. Banjir besar di Jabodetabek, kebakaran hutan di Kalimantan dan Riau, dan kekeringan panjang di Nusa Tenggara adalah buktinya.

Perubahan iklim juga menjadi lebih nyata.  Musim ini sulit diprediksi, suhu udara meningkat drastis, dan curah hujan tidak dapat diprediksi.  Situasi ini memengaruhi masyarakat secara keseluruhan, terutama kelompok rentan seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat.

 

Krisis Lingkungan Masih Didominasi Rencana Tanpa Implementasi

Pemerintah Indonesia telah merencanakan sejumlah program pelestarian lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan, restorasi gambut, dan pengurangan emisi karbon. Namun, banyak dari program ini tidak berjalan dengan baik dan tidak ada pengawasan yang memadai di lapangan.

Di Kalimantan Timur, wilayah hutan lindung seperti Berau dan Kutai Timur telah dibuka untuk tambang batu bara dan kelapa sawit. Hal yang sama juga terjadi di Papua, terutama di Pegunungan Bintang dan sekitar Danau Sentani, di mana aktivitas tambang dan alih fungsi lahan terus merusak wilayah konservasi tersebut.

Sayangnya, banyak pelanggaran belum diproses secara menyeluruh, menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan nasional.

“Banyak kebijakan hanya bagus di atas kertas, tetapi masalahnya bukan pada kurangnya program, tapi pada kurangnya komitmen dan kontrol,” ujar Rina, peneliti kebijakan lingkungan dari Yogyakarta.

 

Konservasi Lewat Kearifan Lokal

Sebaliknya, cara hidup yang selaras dengan alam telah lama dipraktikkan oleh komunitas adat dan lokal.  Di wilayah Baduy, masyarakat menggunakan sistem adat yang ketat untuk menjaga hutan. Di Papua, masyarakat setempat mengelola kawasan sagu secara lestari.

Sayangnya, mereka sering terpinggirkan.  Masyarakat adat seringkali tidak didengarkan saat proyek pembangunan dimulai.  Namun, mereka dapat berkontribusi pada konservasi jangka panjang jika mereka terlibat dalam pengambilan keputusan.

Hutan Sagu Kampung Yoboi Papua. Gambar: visual.republica.co.id

 

Gerakan Akar Rumput yang Terus Tumbuh

Gerakan masyarakat sipil berkembang di tengah kekecewaan pemerintah.  Pelajar, komunitas lokal, dan organisasi lingkungan aktif mendukung inisiatif hijau, seperti penanaman pohon, bersih-bersih pantai, dan kampanye digital.

Salah satu contohnya adalah komunitas Hijau Bersama di Makassar yang secara teratur mengadakan pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah.  Program “Majalengka Menanam” di Majalengka mendorong pesantren dan warga desa untuk berbagi tanah.

Gerakan seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak tinggal diam; namun, upaya mereka akan terbatas tanpa dukungan kebijakan yang kuat.

 

Penanaman 1.000 Pohon di Kalimantan Selatan. Gambar: Parepos

 

Harapan Masih Ada, Tapi Waktu Tak Banyak!

Indonesia masih memiliki peluang untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Namun, untuk melakukannya, pemerintah harus melakukan perubahan besar dalam persepsinya terhadap masalah lingkungan. Isu lingkungan harus dipandang sebagai prioritas utama, bukan hanya sebagai pelengkap pembangunan.

Bukan hanya janji tahunan, perlindungan hutan, transisi energi bersih, dan pelibatan masyarakat harus menjadi agenda harian.  Karena bumi tidak akan berhenti menjerit jika tidak segera bertindak.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *