Geograph.id – Pada Rabu (3/4/2024) pagi, di depan Patung Arjuna Wijaya (Patung Kuda) di Jakarta, terlihat miniatur kapal berwarna biru dengan corong hitam bernama KM Derita Nelayan. Seseorang terlihat melakukan aksi teatrikal sebagai awak kapal yang terjebak di dalam jaring. Di sekitar kapal, sejumlah aktivis berdiri dengan poster bertuliskan “Lindungi Pelaut Perikanan Indonesia” lalu “Seafood Segar, Tapi Nelayan & Awak Kapal Perikanan Gak Makmur?”, dan “Segera Ratifikasi Konvensi ILO K-188!”
Selain di Jakarta, pendakian damai juga dilakukan di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, dan Kota Bitung, Sulawesi Utara. Aksi damai dilakukan di depan kantor Gubernur Provinsi Aceh dan DPRD masing-masing kota.
Tim 9 terdiri dari orang-orang informal dari berbagai latar belakang. Termasuk serikat pekerja, asosiasi perikanan, perusahaan perekrut awak kapal, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Mereka memulai aksi damai di tiga kota menjelang Hari Nelayan Nasional pada 6 April mendatang.
Aksi damai tersebut mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, yang dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional dan menunjukkan kepedulian terhadap nelayan di Indonesia, terutama mereka yang bekerja di industri perikanan.
Syofyan, Koordinator Tim 9, mengatakan bahwa Hari Nelayan Nasional mendatang adalah kesempatan yang tepat untuk terus memperjuangkan kesejahteraan nelayan. Terutama mereka yang bekerja sebagai awak kapal perikanan domestik atau migran.
“Selain tidak dilindungi jaminan sosial, mereka juga bekerja tanpa aturan standar upah minimum. Semuanya diperparah dengan sistem bagi hasil yang tidak adil bagi nelayan, khususnya perikanan domestik dan migran. Bertepatan Hari Nelayan Nasional tahun ini, kami mendesak Presiden Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi ILO 188 agar standar pelindung nelayan dan awak kapal di Indonesia lebih jelas dan lebih baik,” ujar Syofyan.
Meskipun jargon “negara maritim” sering digunakan oleh anggota Tim 9, Fikerman Saragih, salah satu perwakilan Tim 9, juga menekankan banyaknya masalah penting yang dihadapi nelayan Indonesia.
“Aksi”
Pertama, kata Fikerman, tidak adanya jaminan perlindungan atas wilayah nelayan kecil dan tradisional yang diambil suatu negara. Akibatnya, nelayan kecil bersaing dengan nelayan besar dan/atau industri. Kedua, tidak banyak perempuan nelayan yang diakui sebagai individu. Namun, pengakuan ini diperlukan untuk meningkatkan perlindungan terhadap mereka. Ketiga, perlindungan dan ekologi di wilayah pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil tidak menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah saat ini. Tetapi lebih fokus pada jaminan dan kepastian hukum untuk investasi.
“Tim 9 mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi K-188 serta menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Dengan diratifikasinya K-188 dan implementasi UU 7/2016, pemerintah sudah maju satu langkah untuk melindungi nelayan dan AKP, serta menerapkan pelindungan hak asasi manusia dan mendidik hak-hak pekerja perikanan sebagai pejuang apresiasi protein bangsa,” ujarnya.
Sihar Silalahi, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa Greenpeace Indonesia melihat beberapa masalah penting. Masalah ini mempengaruhi ekosistem ruang hidup nelayan dan harus menjadi perhatian nasional. Salah satu jenis penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Jika tidak ditangani secara serius, dapat menyebabkan penangkapan ikan yang berlebihan, yang akan berdampak pada kehidupan nelayan.
Pentingnya pentingnya membuka banyak informasi, yang selama ini biasanya hanya dimiliki oleh pemerintah. Salah satunya tentang sistem pemantauan kapal (VMS) yang sulit diakses oleh publik. Selain itu, tidak banyak informasi tentang kejahatan perikanan yang terjadi sebelumnya, dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku yang belum dipublikasikan.
“Informasi mengenai kepemilikan setiap kapal perikanan juga tidak bersifat publik, sehingga pengawasan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas keberadaan kapal yang melakukan aktivitas penangkapan ilegal masih minim. Hal-hal inilah yang sangat berdampak bagi kehidupan nelayan di Indonesia,” tambah Sihar.