
Geograph.id – Salju abadi yang eksklusif terdapat di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua, kini menghadapi ancaman kepunahan. Puncak Jaya, yang merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut.
Puncak ini memiliki tutupan es atau “salju abadi” yang sangat unik mengingat Indonesia tidak mengalami musim salju. Temperatur ekstrem yang mencapai rata-rata -19 derajat Celsius di puncak inilah yang memungkinkan fenomena ini terjadi.
Namun, seiring perubahan iklim dan pemanasan global telah menyebabkan tutupan es di Puncak Jaya mencair dengan cepat. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tutupan es di Puncak Jaya telah menyusut hingga 98% dari luas awalnya.
Salju mencair dengan cepat dengan laju pencairan sekitar 2,5 meter per tahun. Para ilmuwan memprediksi bahwa salju abadi akan benar-benar hilang dalam beberapa tahun ke depan. Diprediksi paling cepat pada tahun 2024 dan paling lambat pada tahun 2026.
Pencairan salju abadi ini berdampak besar, tidak hanya terhadap keindahan alam Papua, tetapi juga pada kehidupan masyarakat setempat. Saat ini, luas tutupan es di Puncak Jaya hanya sekitar 0,23 km persegi, sangat jauh berkurang dari 19,3 km persegi pada tahun 1850.
Penyebab Cairnya Salju Di Puncak Jaya
Penyebab utama pencairan es adalah perubahan iklim dan pemanasan global, yang diperparah oleh fenomena El Niño yang menyebabkan kekeringan dan suhu panas ekstrem di musim kemarau.
Dampak dari pencairan es di Puncak Jaya meliputi hilangnya daya tarik wisata yang unik, gangguan pada sumber air bagi masyarakat setempat yang bergantung pada gletser, gangguan keseimbangan ekosistem di Pegunungan Cartenz, dan kontribusi terhadap kenaikan permukaan laut global.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, luas area salju abadi di Puncak Jaya mengalami penurunan drastis. Pada tahun 2010, ketebalan es mencapai 32 meter, namun lapisan es terus berkurang seiring dengan perubahan iklim.
Menurut BMKG dan pemodelan iklim CORDEX-SEA, tutupan es di Puncak Jaya diperkirakan akan hilang pada 2026. Risiko ini diperbesar oleh faktor El Niño, yang menyebabkan suhu bumi semakin hangat.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat bahwa suhu rata-rata global pada awal Juni 2023 telah mencapai 1,5 derajat Celsius lebih panas dibandingkan suhu pada masa pra-industri. Kondisi ini menegaskan urgensi untuk menangani perubahan iklim guna menjaga fenomena unik salju abadi dan ekosistem yang bergantung padanya.
Meskipun ancaman pencairan es semakin nyata, upaya masih dapat dilakukan untuk memperlambat proses ini. Langkah-langkah tersebut termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca melalui penggunaan energi terbarukan dan transportasi publik.
Penanaman pohon untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer juga dapat membantu memperlambat pencairan. Serta penelitian dan pemantauan kondisi salju abadi untuk memahami dampak perubahan iklim dan mencari solusi yang tepat.
Sebagai masyarakat Indonesia, menjaga kelestarian alam termasuk salju abadi di Puncak Jaya adalah tanggung jawab kita. Dengan melakukan upaya-upaya kecil, kita dapat membantu memperlambat laju pencairan es dan menjaga keindahan alam Indonesia untuk generasi mendatang.