Potret Kelam di Balik Gawai

Potret salah satu pekerja anak di pertambangan kobalt Kongo. Gambar: X
Potret salah satu pekerja anak di pertambangan kobalt Kongo. Gambar: X

Geograph.id– Setiap tahun, jutaan orang di dunia mengganti ponsel mereka demi fitur baru yang lebih canggih. Namun, di balik layar cemerlang dan bodi ramping gawai terbaru itu, tersimpan kisah pilu dari tanah-tanah jauh. Inilah kisah tentang anak-anak yang menghirup racun dari limbah elektronik dan para pekerja tambang yang hidup dalam bayang-bayang perbudakan modern di Kongo.

Ledakan E-Waste

Tren global menunjukkan bahwa rata-rata pengguna mengganti ponsel setiap 18–24 bulan. Riset Global E-Waste Monitor 2020 menyebutkan bahwa lebih dari 53,6 juta metrik ton limbah elektronik dihasilkan secara global pada tahun itu saja. Di Indonesia, tren ini diperparah oleh gempuran rasa gengsi yang menganggap bahwa tren tersebut merupakan kebutuhan primer. Merek-merek besar berlomba merilis seri anyar dalam waktu berdekatan. 

Di balik setiap peluncuran, tentunya permintaan terhadap logam langka turut melonjak. Ironisnya, hanya 17,4% dari jumlah tersebut yang berhasil didaur ulang secara formal. Sisanya? Mengalir ke negara-negara berkembang dan dikelola secara informal. Limbah elektronik sering kali berakhir di tangan-tangan kecil yang tak begitu paham betapa berbahayanya logam-logam beracun seperti timbal, merkuri, dan kadmium.

Di Indonesia, India, dan Ghana, limbah elektronik sering dikelola secara informal oleh masyarakat marjinal. Mereka membakar sirkuit untuk mengekstraksi tembaga atau membongkar baterai bekas tanpa pelindung guna mencari pundi-pundi tambahan. Anak-anak yang terpapar pekerjaan ini berisiko tinggi mengalami gangguan saraf, gangguan pernapasan, dan kerusakan organ.

Perbudakan Tambang Kobalt di Kongo

Tren mengganti ponsel bukan hanya berdampak pada roda ekonomi, tetapi menciptakan permintaan global terhadap bahan baku langka, dengan konsekuensi yang mengejutkan. Sebelum menjadi barang mewah yang terpajang di etalase, pembuatan smartphone membutuhkan bahan seperti kobalt, tantalum, dan emas untuk komponen baterai dan mikroprosesor. Sebagian besar kobalt dunia, sekitar 70%, berasal dari Republik Demokratik Kongo. Di sana, ribuan anak-anak bekerja di tambang-tambang ilegal, tanpa perlindungan dan keselamatan kerja, hanya demi memenuhi kebutuhan industri teknologi global. 

Laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch menunjukkan bahwa milisi bersenjata menguasai tambang-tambang, memaksa warga sipil untuk bekerja dengan imbalan minim, sering di bawah ancaman kekerasan, bekerja dalam kondisi yang tak manusiawi, bahkan menahan keluarga mereka sebagai jaminan. Human Rights Watch dan Amnesty International telah berulang kali melaporkan eksploitasi anak-anak dan perbudakan modern dalam rantai pasok industri elektronik, termasuk di Kongo.  Semakin tinggi permintaan, semakin besar pula tekanan terhadap tambang-tambang ini, yang berarti semakin banyak manusia yang jadi korban eksploitasi.

Kerusakan tak berhenti di sisi kemanusiaan. Penambangan logam langka meninggalkan jejak ekologis yang besar. Penambangan kobalt di Kongo juga telah menyebabkan pencemaran tanah dan air di desa-desa sekitarnya. Air minum menjadi beracun, dan tanah tidak lagi subur untuk pertanian. Bahkan, logam berat dari limbah tambang terdeteksi dalam tubuh warga, memicu gangguan kesehatan jangka panjang.

Apa yang Bisa Kamu Lakukan?

Gadget yang kita gunakan sehari-hari mungkin terlihat mewah dan modern, tapi nyatanya produk itu datang dengan membawa jejak darah dan luka. Proses pembuatannya bisa jadi ditopang oleh penderitaan orang lain di belahan dunia yang tak kita lihat.

Meskipun banyak perusahaan teknologi mengklaim mematuhi standar “conflict-free minerals”, rantai pasok logam sangat sulit dilacak. Banyak bahan baku dicampur sebelum mencapai smelter, menyamarkan asal-usulnya. Dalam proses ini, logam dari tambang yang dikerjakan oleh anak-anak atau buruh paksa bisa saja lolos tanpa terdeteksi, dan akhirnya menjadi bagian dari perangkat yang kita genggam.

Kesadaran konsumen jadi kunci. Kamu bisa memulainya dari keputusan kecil. Memilih untuk tidak sering berganti perangkat, memperbaiki alih-alih mengganti dan berpartisipasi dalam program daur ulang resmi bisa menjadi langkah awal. Mengedepankan teknologi yang bertanggung jawab bukan hanya pilihan bijak, tapi bentuk solidaritas terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan planet ini.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *