Tren Fast Fashion: Gaya Kekinian, Dampaknya Berkepanjangan

Ilustrasi orang yang gemar berbelanja produk fast fashion. Gambar: pluxee.co.id

Geograph.id – Gaya berpakaian kini menjadi bagian dari ekspresi diri yang makin digandrungi oleh banyak kalangan, terutama oleh generasi muda. Namun, di balik banyaknya baju murah dengan model kekinian, tren fast fashion justru memunculkan krisis global seperti ledakan limbah tekstil yang merusak lingkungan dan menambah beban bagi bumi.

Tren Fast Fashion yang menjadi Sampah Massal

Tren fast fashion merujuk pada sistem produksi pakaian dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat demi mengikuti tren mode yang sangat cepat berubah. Setiap minggu, toko-toko ritel bisa mengganti koleksi mereka, membuat orang tergoda membeli lebih banyak pakaian yang hanya dikenakan beberapa kali sebelum akhirnya tidak terpakai atau bahkan dibuang.

Menurut data United Nations Environment Programme (UNEP), industri fashion menyumbang 92 juta ton limbah tekstil setiap tahun. Ini setara dengan satu truk pakaian yang dibuang ke tempat sampah setiap detik. Selain itu, industri ini menyumbang sekitar 10% emisi karbon global, lebih besar dari gabungan emisi penerbangan dan pelayaran internasional.

Dampak Tren Fast Fashion di Indonesia

Indonesia juga merasakan dampak dari tren fast fashion ini. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, hingga Bandung menjadi pusat konsumsi tren fast fashion. Banyak masyarakat yang membeli pakaian murah dari merek global maupun e-commerce luar negeri. Sayangnya, kebanyakan pakaian tersebut berakhir menjadi sampah karena kualitasnya yang rendah dan tren yang dengan cepat berubah.

Di beberapa daerah seperti Bekasi, Tangerang, dan Sidoarjo, tempat pembuangan akhir kini mulai dipenuhi dengan sampah tekstil. Tak hanya mengganggu estetika lingkungan, pakaian yang dibuang sembarangan juga menyulitkan proses daur ulang karena mengandung campuran bahan sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik.

Ancaman Mikroplastik dari Serat Sintetis

Tak banyak yang tahu, sebagian besar pakaian fast fashion terbuat dari serat sintetis yang mengandung plastik. Ketika dicuci, pakaian ini melepaskan mikroplastik yang kemudian mengalir ke saluran air dan mencemari sungai serta laut. Mikroplastik ini berisiko masuk ke tubuh manusia lewat air minum atau makanan laut, dan dalam jangka panjang bisa berdampak pada kesehatan.

Menyingkirkan Pakaian Lokal

Selain ancaman lingkungan, tren fast fashion juga memukul keberlangsungan pengrajin lokal. Di Pekalongan misalnya, banyak produsen batik tradisional yang kehilangan pelanggan karena masyarakat lebih memilih pakaian murah yang diproduksi secara massal. Padahal, produk lokal biasanya lebih ramah lingkungan dan mendukung ekonomi kerakyatan.

Menuju Gaya Hidup Berkelanjutan

Solusi dari krisis ini dimulai dari perubahan perilaku konsumen. Mulailah dengan membeli pakaian yang benar-benar dibutuhkan, memilih bahan yang tahan lama, serta menghindari kebiasaan membeli karena diskon atau tren semata. Mendukung produk lokal dan kegiatan tukar pakaian (thrifting) juga bisa menjadi pilihan bijak.

Membeli baju mungkin terdengar seperti hal yang sepele, tetapi di balik setiap pilihan pakaian yang kita buat, ada dampak besar bagi lingkungan. Industri fast fashion menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar, menguras sumber daya alam, dan menyumbang emisi karbon yang tinggi. Saat kita membeli pakaian secara impulsif hanya karena tren atau diskon, kita tanpa sadar mendukung siklus produksi yang tidak berkelanjutan. Namun, dengan lebih bijak dalam berpakaian seperti memilih pakaian berkualitas yang tahan lama, membeli dari merek yang ramah lingkungan, atau memanfaatkan kembali pakaian lama kita bisa ikut mengurangi beban bagi bumi yang kita tinggali.  

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *